tirto.id - “Kebijakan cukai plastik dan minuman berpemanis kemungkinan kami bawa ke 2023.”
Pernyataan itu tiba-tiba dilontarkan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, Askolani dalam konferensi pers APBN Kita, Rabu (20/4/2022). Sinyal penundaan dilakukan atas dasar pertimbangan kondisi ekonomi saat ini.
Rencana memajaki kantong plastik dan minuman berpemanis bukan wacana baru. Berdasarkan catatan redaksi Tirto, gagasan dari Kementerian Keuangan ini dilempar ke publik sejak 2016.
Namun dalam perjalanannya, rencana itu timbul tenggelam, tak ada perkembangan. Rencana tersebut kemudian kembali diusulkan oleh Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati dalam rapat bersama Komisi XI DPR RI di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada 2019.
“Kami mengusulkan di dalam tarif cukai [kantong plastik] kami adalah Rp30.000 per kilogram atau tarif cukai per lembarnya Rp200 (1 kg sama dengan 150 lembar kantong plastik)" usul Sri Mulyani saat itu.
Besaran cukai diusulkan saat itu mempertimbangkan besaran cukai yang dikenakan oleh negara tetangga. Di Malaysia, misalnya, diterapkan tarif cukai sebesar Rp63.500 per kilogram kantong plastik.
Sementara di Hong Kong, diterapkan tarif sebesar Rp82.000 per kg kantong plastik dan Rp259.000 per kg kantong plastik di Filipina.
Askolani menyebutkan, sedikitnya ada tiga hal menjadi pertimbangan pemerintah dalam menjalankan rencana ekstensifikasi barang kena cukai. Selain soal kondisi perekonomian nasional, pemerintah juga mempertimbangkan kondisi pandemi COVID-19 dan kebijakan lain yang dilaksanakan tahun ini.
Ia mengatakan, penanganan COVID-19 menjadi kunci bagi pemerintah mengembangkan ekspansi kebijakan di bidang cukai. Di sisi lain, pemerintah juga selalu mempertimbangkan kebijakan fiskal lain bakal diterapkan tahun ini dan pengaruhnya terhadap perekonomian nasional.
"Jadi dapat kita sampaikan bahwa kita selalu pantau kondisi ekonomi," imbuhnya.
Pemerintah sendiri, kata Askolani, akan berhati-hati dalam memulai implementasi cukai plastik dan cukai minuman bergula dalam kemasan. Secara bersamaan, perkembangan perekonomian juga akan terus dipantau hingga akhir 2022.
"Kami akan pantau di tahun 2022 ini sampai akhir tahun, paling tidak kami prioritaskan selesaikan regulasi yang kami lakukan di lintas kementerian lembaga (KL)," jelas dia.
Bidang Kajian Akuntansi dan Perpajakan Asosiasi Emiten Indonesia, Ajib Hamdani menyebut, alasan pemerintah menunda implementasi cukai tersebut tidak bisa dibenarkan. Menurutnya, jika pertimbangannya adalah kondisi ekonomi, pemerintah harusnya konsisten tetap menerapkan cukai ini.
Berkaca pada awal April 2022, kata Ajib, pemerintah secara konsisten tetap berkukuh dalam menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 10 persen menjadi 11 persen. Padahal kondisi ekonomi saat ini belum stabil.
“Seharusnya Kemenkeu tetap konsisten mengenakan cukai ini," kata Ajib kepada reporter Tirto, Rabu (27/4/2022).
Berdasarkan data APBN Kita, pemerintah mematok target penerimaan dari kepabeanan dan cukai sebesar Rp245 triliun. Sampai dengan Maret 2022, realisasi dari penerimaan baru sebesar Rp79,3 triliun. Implementasi penerimaan cukai dan plastik ini diharapkan menopang penerimaan negara.
Pertimbangkan Tingkat Konsumsi
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira mengatakan, rencana penundaan cukai plastik dan minuman berpemanis ini harus dilihat secara objektif. Misalnya dari sisi konsumsi ada tekanan inflasi dan masih adanya penurunan daya beli.
"Belum bisa dikatakan pulih konsumsi rumah tangga khususnya untuk konsumsi makanan dan minuman itu dibandingkan pra pandemi masih cukup lemah konsumsi rumah tangga," kata Bhima dihubungi terpisah.
Bhima menyebut meskipun ada pemulihan tetapi tidak merata semua segmen, khususnya di kelas menengah. Sehingga jika implementasi cukai tersebut dilakukan khawatir justru menurunkan konsumsi rumah tangga.
"Jadi momentumnya harus mempertimbangkan kondisi makro ekonomi juga. Apalagi masyarakat sekarang sedang menghadapi kenaikan dari harga energi pangan yang sifatnya berkelanjutan bahkan sampai setelah Lebaran," jelas Bhima.
Bhima menambahkan pertimbangan lain pemerintah melakukan penundaan melihat dari sisi industri dan manufaktur. Saat ini tekanan biaya produksi tengah meningkat tajam, bahkan bahan baku untuk makanan dan minuman juga meningkat, khususnya sebagian diperoleh dari impor.
"Jadi kalau ada kenaikan cukai khawatirnya nanti bisa berpengaruh kepada offsidemargin dinikmati oleh produsen," jelasnya.
Tapi di sisi lain, kata Bhima, ketika ekonomi sudah menunjukkan tanda pemulihan, maka kebijakan cukai plastik dan minuman berpemanis ini bisa diterapkan secara perlahan. Ini perlu dilakukan, karena beban belanja kesehatan di Indonesia besar ketika masalah dari minuman berpemanis berdampak pada diabetes, gula, dan gangguan kesehatan lainnya.
Pengenaan cukai, lanjut Bhima, semata-mata tidak hanya berbicara soal penerimaan negara. Tetapi juga bagaimana mengendalikan barang negatif bagi konsumsi kesehatan masyarakat.
Ia mencontohkan, di negara-negara lain sudah lebih dulu dikenakan cukai untuk minuman berpemanis. Tujuannya agar tidak banyak masyarakat mengonsumsi minuman berpemanis. "Beban belanja kesehatan besar ketika masalah timbul dari minuman berpemanis misalnya diabetes kemudian gangguan kesehatan lainnya bisa ditekan," katanya.
Apakah Cukai Plastik Ini Efektif?
Efektif atau tidaknya cukai dalam mengendalikan dan mengurangi konsumsi kantong plastik saat ini memang diperdebatkan. Meski begitu, pengenaan cukai kantong plastik dalam pengendalian konsumsi atau peredarannya memiliki rekam jejak yang positif.
Di Inggris, misalnya, penggunaan plastik diklaim sudah menurun 80 persen pada 2017 ketika toko-toko di Inggris mulai mengenakan pajak atau biaya tambahan terhadap kantong plastik pada 2015 kepada konsumennya.
Organisasi non-pemerintah yang bergerak di bidang lingkungan, Greenpeace mengakui kebijakan perpajakan bisa membantu mengurangi konsumsi kantong plastik. Lembaga lingkungan yang berbasis di Amsterdam, Belanda, ini berharap kebijakan pajak juga bisa dikenakan di barang-barang lainnya.
"Kami tahu itu berhasil, dan kami berharap langkah-langkah perpajakan atas barang-barang lainnya juga bisa diterapkan demi mengurangi sampah plastik," tutur Tisha Brown dari Greenpeace dikutip dari Sky News.
Seperti Indonesia, Inggris juga memiliki persoalan terkait limbah plastik. Pada 2014, Inggris diketahui memproduksi limbah plastik sebanyak 300 juta ton, dan diprediksi akan meningkat dua kali lipat pada 20 tahun ke depan.
Di Indonesia, cukai juga memiliki rekam jejak positif dalam meredam peredaran barang kena cukai, salah satunya rokok. Dalam lima tahun terakhir, tren penjualan rokok terus menurun dari 352 miliar batang pada 2014, menjadi 332 miliar batang pada 2018.
Selain bisa mengurangi konsumsi, cukai juga menjadi salah satu sumber pemasukan negara. Pemerintah bahkan memperkirakan besaran pemasukan dari cukai kantong plastik itu, yakni sekitar Rp500 miliar.
Target tersebut terbilang kecil jika dibandingkan dengan produksi kantong plastik selama ini yang mencapai 9,85 miliar lembar kantong plastik, menurut KLHK. Namun, apabila dihitung lagi, potensi pemasukan sebenarnya bisa mencapai triliunan rupiah dengan asumsi 1 kg sama dengan 150 lembar kantong plastik.
Jika dihitung berdasarkan asumsi itu, maka Indonesia diperkirakan memproduksi 65,66 juta kg kantong plastik per tahun. Jika tarif cukai Rp30.000 per kg, maka potensi pemasukan sesungguhnya mencapai Rp1,96 triliun per tahun.
Potensi pemasukan ini tentu sangat besar, dan bisa digunakan untuk kepentingan lingkungan. Mulai dari pengadaan tempat sampah di jalanan, menambah petugas kebersihan, bahkan bisa dipakai untuk membangun pabrik daur ulang.
Meski demikian, kebijakan tarif cukai kantong plastik juga bisa membawa dampak negatif. Salah satunya adalah menaikkan tingkat inflasi. Menurut perhitungan Kemenkeu, cukai kantong plastik diperkirakan dapat menyumbang inflasi hingga 0,04 persen.
Dunia usaha juga berpotensi terkena dampak cukai kantong plastik, terutama sektor makanan dan minuman. Menurut Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (Gapmmi), cukai bisa mengerek harga jual makanan dan minuman.
"Kami pasti keberatan, meski itu kantong plastik. Bagaimanapun, kantong plastik itu sebagai pembungkus makanan atau minuman. Pasti ada pengaruhnya," ujar Sribugo Suratmo, Wakil Ketua Gapmmi kepada Tirto.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz