tirto.id - Pemerintahan Joko Widodo kembali melakukan sistem holding di BUMN. Terbaru adalah holding industri pertahanan Defend ID yang presmiannya dihadiri Jokowi pada Rabu (20/4/2022). Holding ini terdiri atas LEN Industri sebagai induk holding yang digabung dengan PT Pindad, PT PAL, PT Dahana, dan PT Dirgantara Indonesia.
Dalam acara yang berlangsung di Surabaya, Jawa Timur itu, Jokowi meminta agar Indonesia bisa segera mandiri dalam sektor industri pertahanan. Ia menilai percepatan penting dilakukan agar Indonesia bisa menjaga kedaulatan dalam menghadapi masalah pertahanan.
“Kita memang harus segera membangun kemandirian industri pertahanan, mendorong industri pertahanan dalam negeri agar sepenuhnya siap memasuki era persaingan baru dan mampu memenuhi kebutuhan pertahanan pokok untuk menjaga kedaulatan kita, kedaulatan negara kita, kedaulatan NKRI,” kata Jokowi saat sambutan di peluncuran Defense ID.
Jokowi juga ingin agar ekosistem industri pertahanan bisa tumbuh dan membaik. Ia ingin kerja sama di bidang internasional juga diperkuat sekaligus berinovasi untuk pengembangan industri pertahanan Indonesia.
“Jadi semuanya ajak, tapi tetap mayoritas kita. Sehingga juga agar pasar kita lebih membesar. Terus berinovasi mencari cara dan mencari terobosan. Baik itu terobosan di bidang SDM, bahan baku, produk, proses bisnis dan operasionalnya," tutur Jokowi.
“Semuanya. Semuanya harus excellent, yang terbaik," tegas Jokowi.
Jokowi mengaku sudah lama menantikan kehadiran holding industri pertahanan. Ia beralasan, holding akan membuat industri pertahanan Indonesia terkonsolidasi, ekosistem semakin kuat dan bisa bersaing secara sehat dan menguntungkan.
Jokowi juga berharap agar tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) produk industri pertahanan Indonesia bisa semakin tinggi. Ia ingin TKDN bisa tembus 100 persen di industri pertahanan.
“Saya minta TKDN produk-produk pertahanan unggulan terus ditingkatkan dari angka yang telah dicapai saat ini yaitu 41 persen agar bisa terus naik dan meningkat dan nanti pada akhirnya 100 persen,” kata Jokowi.
Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto di lokasi yang sama mengatakan, keanggotaan holding BUMN industri pertahanan yang diluncurkan terdiri atas lima perusahaan BUMN, yaitu: PT LEN Industri (induk Defend ID), PT Pindad, PT Dirgantara Indonesia, PT PAL Indonesia, dan PT Dahana.
“Diharapkan dengan adanya holding BUMN Industri Pertahanan (Defend ID) ini akan meningkatkan TKDN menjadi 50 persen untuk teknologi-teknologi kunci dan akan menjadi industri 50 besar di dunia dalam bidang industri pertahanan pada tahun 2024,” ucap Prabowo.
Kejar Efisiensi dari High Cost Industri Pertahanan
Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Eko Listiyanto menilai, langkah holding Defend ID tengah mencontoh konsep startup dewasa ini agar BUMN yang ada tidak bergerak secara parsial. Pemerintah, kata Eko, ingin agar Industri pertahanan Indonesia bisa lebih optimal dengan konsep holding.
“Di zaman sebelum-sebelumnya, mereka pisah-pisah. Kapal cari kontrak sendiri, pesawat cari sendiri, senjata cari sendiri. Nah mungkin harapannya dari holding itu bisa ada sistem yang saling mengisi di antara industri pertahanan ini. Ini, kan, kalau bisa dimanajemen dengan baik, kan, sebetulnya memang punya potensi untuk bisa lebih menggeliat industri ini," kata Eko kepada reporter Tirto, Kamis (21/4/2022).
Eko menilai, aksi holding tidak lepas dari target Kementerian BUMN dalam menata perusahaan BUMN yang cukup banyak. Konsep holding akan lebih aman daripada merger karena holding tidak akan mengganggu organisasi dibandingkan merger yang berpotensi menghapus sejumlah jabatan.
Selain itu, kata Eko, pemerintah juga melihat ada sejumlah kesuksesan dalam aksi holding pemerintah seperti holding BUMN di bidang semen maupun bidang UMKM.
Lalu, mengapa 5 BUMN perlu di-holding dalam konsep Industri pertahanan Defend ID? Eko menduga ada alasan lain di luar target Kementerian BUMN. Holding industri pertahanan penting untuk efisiensi. Ia mengingatkan industi pertahanan adalah industri high cost. Dana yang dikeluarkan besar karena mencari inovasi baru dalam perkembangan pertahanan. Ia mencontohkan bagaimana penemuan radar hingga teknologi GPS sebelum digunakan di masyarakat.
“Jadi proses-proses invention penemuannya biasanya memang distimulasi dari industri pertahanan karena di situ istilahnya mau di-support dana besar itu cukup beralasan. Memang dari sisi pertahanan apalagi kalau bicara konteks sekarang geopolitiknya panas lagi," kata Eko.
Eko menambahkan, “Jadi mungkin ada concern juga dari presiden supaya ke depan industri pertahanan kita itu memang tidak sangat bergantung dari negara lain walaupun ini tentu upaya yang istilahnya kalau secara ekonomi masih cukup berat untuk bisa mencapai itu, tapi memang harus diupayakan.”
Eko melihat bahwa upaya holding dilakukan pemerintah untuk skenario produksi dari hulu ke hilir secara berkesinambungan. Hal ini dilakukan oleh Korea Selatan yang sebelumnya hanya berbisnis di bidang produksi kapal kemudian bergeliat di bidang lain seperti semikonduktor setelah mempelajari teknologi dan mengembangkan teknologi sendiri dengan bantuan perusahaan-perusahaan dalam negeri.
“Memang arahnya seperti itu, kan eranya juga kolaborasi, kalau dulu itu agak berbeda, persaingan. Jadi dikompetisikan antar-BUMN, ya yang menang yang efisien. Sekarang berbeda. Mereka dikolaborasikan, saling mengisi, kira-kira begitu ruang-ruang dari kelebihan BUMN ini," tutur Eko.
“Cuma memang industri kita belum sekuat negara lain, itu yang mungkin challenge-nya di situ apakah cukup mampu untuk katakanlah mungkin di internal bisa dengan aturan dan regulais itu disatuin bisa. Di-holding bisa, tapi nanti dalam praktiknya challenge juga berbeda karena, kan, ini jadi gedeholding ini nanti. Kan, bicara aset nambah, tapi juga kalau aset nambah itu income-nya harus lebih gede supaya labanya lebih gede. Kalau asetnya nambah, laba nggak gede, ya nanti banyak aset tidur. Artinya gak produktif,” kata Eko.
Ambisi yang Penuh Tantangan
Co-Founder Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi menyambut positif kehadiran Defend ID sebagai holding pertahanan Indonesia. Menurut Fahmi, kehadiran Defend ID akan membuat arah pengembangan industri pertahanan akan menjadi lebih mudah.
Bagi Fahmi, langkah ini wajar karena pemerintah sudah melakukan holding di bidang lain, seperti holding di perusahaan pariwisata lewat PT ITDC hingga semen lewat PT Semen Indonesia. Akan tetapi, penyampaian Jokowi untuk punya TKDN 100 persen masih sekadar mimpi yang sulit terealisasi.
“Ini, kan, lebih mudah jadinya (untuk pengembangan industry pertahanan). Cuma itu tadi kalau dikatakan terus supaya kita kemudian berharap TKDN 100 persen, kemudian itu sulit dicapai karena pertama kita industri hulunya gak ada," kata Fahmi kepada reporter Tirto.
Pernyataan Fahmi bukan tanpa alasan. Angka TKDN 100 persen adalah salah satu tantangan terbesar karena Indonesia tidak memiliki industri produksi besi/baja skala besar. Ia mencontohkan Amerika Serikat kuat dalam industri alat utama sistem senjata (alutsista) karena punya industri baja yang kuat.
“Industri besi yang memproduksi logam khusus kita nggak punya, padahal negara-negara industry, terutama negara-negara produsen alutsista rata-rata punya industri baja yang kuat. Amerika misalnya itu ditopang industri besi yang luar biasa, maka bisa jadi leading di industri pertahanan," kata Fahmi.
Masalah kedua adalah operasional. Jika secara bisnis sudah terintegrasi, apakah perusahaan perlu melakukan penyesuaian lagi dengan visi BUMN, visi pertahanan Indonesia, dan visi pengembangan industri pertahanan dalam negeri.
Sebagai contoh, Indonesia menargetkan kehadiran holding bisa mempercepat kemandirian alutsista. Pertanyaannya, apakah holding bisa memenuhi target tersebut dan bisa berkoordinasi dengan stakeholder yang ada? Ia mengingatkan, stakeholder dalam holding bukan hanya Kementerian Pertahanan, Kementerian BUMN dan perusahaan, tapi ada Komite Kebijakan Industri Pertahanan yang juga menjadi bagian dari Kemenhan.
“Kemudian di sisi lain soal keekonomian. Artinya apakah dapat dipastikan alutsista yang mandiri itu lebih ekonomis atau lebih efisien daripada kita impor misalnya. Karena kan kita istilahnya pemain baru, produksi gak banyak," kata Fahmi.
Fahmi menambahkan, “Apakah bisa disamakan dengan misalnya produsen lain yang produksi lebih besar, lebih banyak. Apakah kompetitif atau nggak. Kan gitu. lebih efisien apa nggak?" kata Fahmi mempertanyakan.
Poin krusial lain adalah masalah teknologi. Fahmi menyoalkan komitmen pemerintahsoal pengembangan teknologi dalam negeri demi mengejar kemandirian alutsista secara utuh, baik industri maupun pengembangan teknologi. Ia bertanya apakah definisi mandiri industri pertahanan dalam negeri juga sama dengan berdiri membuat teknologi sendiri dalam membangun industri pertahanan lokal.
“Kalau teknologi dari luar berarti lisensi, artinya kita cuma jadi tukang rakit, tukang jahit gitu loh. Tukang jahit ya, kan, gak semua bisa dijahit sendiri, TKDN gimana?" kata Fahmi.
Sementara itu, peneliti Imparsial, Hussein Ahmad menilai, pembentukan holding Defend ID krusial bagi industri pertahanan Indonesia. Sebab, perusahaan yang tergabung di Defend ID sebelumnya kerap tidak sinkron dalam pengembangan industri pertahanan. Contoh, LEN mengembangkan teknologi elektronika tidak mampu menyediakan perlengkapan yang dibutuhkan Pindad saat membuat persenjataan.
“Defend ID menjadi penting untuk mensinkronkan itu, holding ini sebagai penjembatan lah untuk supaya industri strategis ini, industri pertahanan ini, ada saling tukar informasi, transfer of knowledge dan lain sebagainya. Itu menjadi penting Defend ID posisinya," kata Hussein.
Ia mengatakan, kualitas alutsista Indonesia kini sudah baik. Di tingkat ASEAN, Indonesia berada di bawah Singapura dalam pengembangan alutsista. Selain itu, Pindad mampu mengekspor munisi hingga senjata laras panjang. Kemudian, PAL juga berhasil mengekspor kapal model KRI Banjarmasin ke Filipina.
Namun, kata Hussein, Indonesia punya dua tantangan besar sehingga keberadaan Defend ID menjadi penting. Pertama, Indonesia minim dana riset dan tidak memiliki kemampuan pengembangan industri pertahanan. Hussein menuturkan, banyak industri pertahanan mengeluarkan dana besar-besaran untuk riset.
Indonesia, kata Hussein, tidak memiliki kemampuan untuk riset karena pemerintah enggan mengucurkan dana untuk riset pertahanan. Ia lantas mengungkit kasus Panser Anoa produksi Pindad. Sepengetahuan Hussein, Pindad membeli cetak biru Panser Anoa lalu diproduksi oleh Pindad.
Kedua, kata Hussein, adalah minimnya keinginan TNI sebagai pengguna alutsista Indonesia untuk menggunakan alutsista produksi BUMN pertahanan. TNI lebih suka belanja alutsista asing padahal tidak sedikit negara memproduksi alutsista mereka hingga akhirnya diakui karena telah battle proven atau terbukti efektif di pertempuran.
Ia mencontohkan bagaimana sejumlah negara melirik drone buatan Turki yang sebelumnya bukan negara dengan industri pertahanan besar. Hal itu mulai terjadi ketika drone buatan mereka terbukti bisa digunakan dalam perang Ukraina.
“Jadi dua masalah tadi. Pertama soal suntikan dana dari pemerintah. Kedua adalah soal komitmen untuk barangnya dibeli oleh angkatan bersenjata kita," kata Hussein.
Di saat yang sama, Hussein juga menilai ambisi Jokowi agar Indonesia bisa menjadi industri pertahanan dengan 100 persen TKDN adalah hal yang sulit terealisasi. Ia beralasan, setiap negara pasti butuh barang lain dalam pengembangan industri pertahanan.
“Yang namanya dalam industri termasuk industri pertahanan kan nggak mungkin semua barang itu 100 persen TKDN. Itu pasti baja impor dari mana, itu membutuhkan support dari seluruh industri, tidak hanya dalam pertahanan," tegas Hussein.
Ia mengaitkan dengan upaya Amerika dalam pengembangan pesawat F-35. Kala itu, Amerika tidak hanya melibatkan industri pertahanan dalam pengembangan teknologi pesawat, tapi juga melibatkan industri lain seperti metal dalam pengembangan alutsista. Oleh karena itu, tidak sedikit pengembangan alutsista berbasis konsorsium.
“Tapi saya suka semangatnya Pak Jokowi, apresiasi semangat 100 persen TKDN dalam produk-produk unggulan meski itu tidak mungkin," kata Hussein.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz