Menuju konten utama

Pajak Karbon Ditunda, Pemerintah Tak Serius Atasi Perubahan Iklim?

Keputusan menunda pemberlakuan pajak karbon sangat disayangkan apalagi pemerintah berkoar-koar ke negara lain per 1 April 2022 mulai diberlakukan.

Pajak Karbon Ditunda, Pemerintah Tak Serius Atasi Perubahan Iklim?
Area pemukiman di sekitar PLTU Suralaya (3/6/2021). Warga Suralaya, Cilegon, Banten mengalami berbagai masalah kesehatan dan kegagalan panen akibat polusi udara dan debu batubara yang dihasilkan oleh PLTU Suralaya. (tirto/Bhagavad Sambadha)

tirto.id - Komitmen pemerintah dalam mengatasi perubahan iklim patut dipertanyakan. Ini setelah Kementerian Keuangan memutuskan untuk menunda penerapan pajak karbon yang diatur dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Dari semula 1 April 2022, bergeser tiga bulan menjadi 1 Juli 2022.

Pajak karbon merupakan instrumen fiskal yang disiapkan pemerintah untuk membiayai pengendalian perubahan iklim sebagai agenda prioritas pembangunan. Indonesia, bahkan menjadi salah satu negara yang akan mengimplementasikannya terlebih dahulu.

Namun, ketidaksiapan pemerintah dalam mengimplementasikan pajak karbon semakin terlihat. Hal ini tercermin dari beberapa aturan teknis pelaksanaan belum rampung. Mulai tarif dan dasar pengenaan, cara penghitungan, pemungutan, pembayaran atau penyetoran, pelaporan, serta peta jalan pajak karbon.

Sementara aturan lain seperti Batas Atas Emisi untuk subsektor PLTU dan tata cara penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon pada pembangkit tenaga listrik, masih digodok dan akan ditetapkan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

“Ini memang sangat disayangkan apalagi kita berkoar-koar ke negara lain bahwa kita 1 April akan mulai pajak karbon, tapi ternyata ditunda," kata Direktur Executive Energy Watch, Mamit Setiawan saat menanggapi penundaan tersebut, kepada Tirto, Kamis (7/4/2022).

Mamit menilai, pada saat kebijakan ini disusun, pemerintah tidak memperhitungkan secara optimal mengenai sinkronisasi dengan peraturan-peraturan lain. Sehingga ini menjadi persoalan baru yang kemudian membuat pemerintah mengambil pertimbangan untuk menunda.

"Jadi sangat disayangkan sekali menurut saya ketika akhirnya ini tidak jadi satu komitmen yang bisa dilakukan, meskipun memang disampaikan Juli akan mulai diberlakukan," jelasnya.

Dia menyebut, langkah terburu-buru pemerintah dalam pengenaan pajak karbon seolah-olah hanya tidak ingin kalah dengan pengusaha bergerak di energi fosil. Untuk membuktikan itu, maka pemerintah memutuskan untuk mengimplementasikan pajak karbon. Tapi, di sisi lain tidak memikirkan aturan teknisnya.

"Untuk menghadapi energi yang lebih bersih saya kira harus diterapkan diberlakukan dan aturan detailnya juga benar-benar dipersiapkan teknisnya seperti apa dilakukan," kata Mamit.

Pengamat Ekonomi Energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Fahmy Radhi melihat, komitmen pemerintah dalam perubahan iklim memang tidak begitu terlihat. Apalagi penerapan pajak karbon terkesan terpaksa, setelah Presiden Joko Widodo terus mengemukakan tentang transmisi energi bersih terbarukan (EBT).

“Kemudian [Menteri Keuangan] Sri Mulyani menekan mempunyai carbon tax meskipun dia belum siap dan begitu belum bernafsu [untuk diimplementasikan]" katanya.

Fahmy mengatakan, yang dilakukan Kementerian Keuangan saat ini justru tengah fokus kepada pengenaan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) 11 persen mulai 1 April 2022, ketimbang pajak karbon. Sebab, secara cash flow jumlah penerimaan yang masuk ke kas negara lebih besar.

“Karena nanti dia [PPN] akan kena pajak cukup tinggi. Tapi itu objek pajak karbon tidak cukup banyak dari PPN, maka Sri Mulyani sangat rasional lebih mendahulukan pajak PPN," kata dia.

Mengutip Bab VI Pasal 13 ayat 1 UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang HPP, subjek pajak karbon adalah individu dan industri yang menggunakan bahan bakar fosil seperti minyak bumi, batu bara, dan gas alam. Sedangkan yang menjadi objek dari pajak karbon adalah setiap kegiatan yang memakai bahan bakar fosil yang menimbulkan emisi karbon.

Sementara arah pengenaan pajak karbon akan memperhatikan peta jalan pasar karbon dan/atau peta jalan pajak karbon yang memuat strategi penurunan emisi karbon, sasaran sektor prioritas, keselarasan dengan pembangunan energi baru dan terbarukan serta keselarasan antar berbagai kebijakan lainnya.

“Pajak karbon itu memang dibutuhkan untuk mendorong dari sisi energi baru terbarukan. Maka dengan pajak karbon tadi pengusaha atau siapapun kemudian mau tidak mau menjalankan perubahan dari energi fosil ke EBT," ujar Fahmy.

Ke depan, Mamit Setiawan justru melihat semua yang akan berhubungan dengan karbon akan dikenakan pajak, termasuk sektor transportasi. Nantinya pemerintah akan mengukur ambang batasnya berapa lama akan dikenakan.

"Jadi saya kira memang semua sektor harusnya terdampak. Karena program karbon tax disiapkan upaya mengurangi emisi itu," jelas Mamit.

Pembelaan dari Pemerintah

Kepala Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Febrio Kacaribu mengklaim, berbagai upaya dan komitmen yang diperbarui justru menunjukkan keseriusan pemerintah dalam mengatasi dampak perubahan iklim. Pemerintah sendiri akan terus berkonsultasi dengan DPR dalam penyiapan implementasi pajak karbon ini.

"Penundaan ini dimanfaatkan pemerintah untuk menyusun berbagai aturan teknis pelaksanaan pajak karbon, kata Febrio dalam keterangan resminya.

Secara geografis, Indonesia menjadi salah satu negara paling rentan terhadap dampak perubahan iklim. Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia berkomitmen kuat untuk menanggulangi perubahan iklim.

Febrio mengatakan, upaya mengatasi dampak perubahan iklim dikelompokkan menjadi aspek mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Aspek mitigasi menekankan pada upaya menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK), sementara upaya adaptasi perubahan iklim memprioritaskan upaya menurunkan kerentanan iklim (climate vulnerability) dan meningkatkan ketahanan iklim (climate resilience).

Seluruh upaya tersebut membutuhkan dukungan dari sisi pendanaan baik melalui skema belanja pemerintah (APBN/APBD) maupun sumber-sumber pendanaan lainnya yang sesuai regulasi.

Untuk lebih mendorong penguatan kapasitas pendanaan terkait iklim, pemerintah menerbitkan Perpres Nomor 98 Tahun 2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon (NEK) yang mengatur skema carbon pricing (carbon trading dan carbon offset), pembayaran berbasis kinerja (result-based payment/RBP), pungutan atas karbon seperi pajak karbon dan PNBP, serta mekanisme lainnya.

“Oleh karena itu, kita perlu mengoptimalisasi seluruh instrumen yang ada termasuk pendanaan APBN maupun swasta", ujarnya.

Febrio menekankan, pengaturan terkait pajak karbon telah diperkuat melalui pengesahan UU HPP. Tujuan utama pengenaan pajak karbon bukan hanya menambah penerimaan APBN semata, melainkan sebagai instrumen pengendalian iklim dalam mencapai pertumbuhan ekonomi berkelanjutan sesuai prinsip pencemar membayar.

Lebih dari itu, implementasi ini juga memperkuat kokohnya pengembangan energi baru terbarukan (EBT) di Tanah Air. Hal ini sejalan dengan upaya pemerintah mencapai target penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen dengan kemampuan sendiri dan 41 persen dengan dukungan internasional pada 2030.

Sebagai tahap awal, pajak karbon akan diterapkan pada sektor PLTU batu bara dengan menggunakan mekanisme pajak berdasarkan pada batas emisi (cap and tax). Batu bara dianggap paling memungkinkan di tengah harganya semakin tinggi.

Berdasarkan data Kementerian ESDM, Harga Batubara Acuan (HBA) April 2022 menyentuh 288,40 dolar AS per ton. Selama empat bulan terakhir, grafik HBA terus menanjak. Dimulai dari Januari 2022 sebesar 158,50 dolar AS per ton, naik ke 188,38 dolar AA per ton di Februari. Selanjutnya Maret menyentuh angka 203,69 dolar AS per ton, dan terakhir di April berada di level 288,40 dolar AS per ton.

“Saya kira satu cukup tinggi batu bara, sehingga pemerintah memang memanfaatkan momentum ini," kata Fahmy Radhi.

Akan tetapi, Fahmy justru menyarankan agar sebaiknya penggunaan batu bara sebaiknya dikenakan pajak ekspornya saja, daripada pajak karbon. Karena pajak ekspor secara nilai cukup jelas dan bisa menjadi instrumen kontrol juga dalam kegiatan ekspor.

"Tapi kalau secara keseluruhan tax, pajak karbon tadi saat ini memang belum terlalu siap begitu. Dan saya mendesak juga," kata Fahmy.

Besaran Tarif Pajak Karbon

Dalam BAB VI UU HPP, pemerintah menetapkan pajak karbon sebesar Rp30.000 per ton CO2 ekuivalen. Angka ini lebih rendah dari Rancangan Undang-Undang (RUU) HPP yang sebelumnya diputuskan Rp75.000 per kilogram CO2e.

Direktur Eksekutif The PRAKARSA, Ah Maftuchan menilai, tarif yang diterapkan masih sangat rendah dibandingkan negara tetangga. Saat ini, Singapura memiliki tarif 3,71 dolar AS per ton C02e atau 0,0040 dolar AS per kilogram C02e atau sekitar Rp56,89 per kg CO2e.

“Jika kita perhatikan lebih mendalam, kebijakan ini masih belum ideal" kata Maftuchan dalam keterangan tertulisnya.

Menurut dia, pasca ratifikasi Perjanjian Paris 2015, Indonesia masih kesulitan dalam memenuhi target pengurangan emisinya. Namun, pemerintah sudah mulai melakukan pengurangan emisi karbon, salah satunya melalui peningkatan porsi bauran EBT dengan target 23 persen di 2025.

Namun, Pemerintah Indonesia dinilainya akan kesulitan jika mengejar target pengurangan emisi hanya melalui kebijakan EBT, karena hanya tersisa empat tahun untuk mengejar target bauran EBT sebesar 23 persen di 2025.

Oleh karena itu, kebijakan pajak karbon ini merupakan angin segar dalam upaya mencapai target pengurangan emisi karbon. Sayangnya, rencana pengenaan tarif pajak karbon sebesar Rp75.000 per kilogram CO2e dalam draf RUU KUP tidak terealisasi.

Sebaliknya, Mamit Setiawan justru melihat tarif yang ada sudah cukup fair dengan kondisi di Indonesia saat ini. Jangan sampai tarif terlalu tinggi justru dampaknya terhadap beban diterima konsumen. Sebab akan meningkatkan harga barang hingga produk akan dijual.

“Memang kalau orang mengatakan ini terlalu murah, karena murah sekali. Rp30 ribu buat mereka terlalu murah, tapi kan kita sesuaikan juga dengan kondisi di Indonesia. Karena itu pertimbangan disepakati bersama," ujarnya.

Tapi pada prinsipnya, harga sekarang bisa direvisi kembali jika memang dianggap terlalu murah. "Kalau mahal sepertinya tidak, tapi kalau murah bisa direvisi kembali bukan hal sulit," kata Mamit mengakhiri.

Baca juga artikel terkait PAJAK KARBON atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz