tirto.id - Kementerian Keuangan akan mulai menerapkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen pada awal 2025. Penyesuaian ini sesuai dengan keputusan yang telah diatur dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), yang menyatakan bahwa tarif PPN 12 persen mulai berlaku paling lambat 1 Januari 2025.
“Sudah ada undang-undangnya. Kami perlu untuk menyiapkan agar itu bisa dijalankan,” kata Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, dalam Rapat Kerja bersama Komisi XI DPR RI, di Gedung Parlemen, Jakarta Pusat, Rabu (13/11/2024).
Sri Mulyani menyadari kebijakan ini pasti akan menuai pro dan kontra. Pembahasan mengenai penyesuaian tarif PPN ini bahkan sempat berjalan alot dengan Komisi XI DPR. Salah satunya adalah mempertimbangkan kondisi daya beli masyarakat.
Namun, kata dia, penyesuaian PPN di tahun depan diperlukan agar pemerintah tetap bisa menjaga kesehatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Terlebih APBN sendiri harus merespons hal-hal yang sifatnya tidak terduga seperti saat terjadinya global financial crisis dan pandemi COVID-19 beberapa waktu lalu.
Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Fajry Akbar, mengatakan, kenaikan PPN 12 persen ini memang harus dijalankan oleh pemerintah. Pasalnya, kebijakan ini sudah masuk dalam undang-undang, sehingga tidak bisa seenaknya lagi dibatalkan atau ditunda.
Jika dibatalkan, kata Fajry, maka ada prosedur yang perlu dilakukan sesuai UU yakni disampaikan ke DPR dalam pembahasan APBN-P (revisi APBN). Meski demikian, dalam UU tidak ada ketentuan persyaratan yang jelas mengenai kondisi ekonomi yang menjadi prasyarat sehingga proses politik di DPR yang kemudian menentukan.
“Artinya, pembatalan kenaikan tarif PPN bukanlah suatu hal yang mudah,” kata dia kepada Tirto, Kamis (14/11/2024).
Apalagi, lanjut Fajry, target penerimaan pajak dalam APBN 2025 boleh dibilang cukup berat. Target penerimaan PPh, PPN, PPnBM dalam APBN 2025 naik double digit dibanding outlook 2024. Maka, wajar pemerintah butuh kebijakan yang mampu memobilisasi penerimaan dalam jangka pendek dan kenaikan tarif PPN menjadi opsi.
“Jika ada opsi alternatif yang mampu memobilisasi penerimaan dalam jangka pendek saya kira dapat dipertimbangkan. Namun, opsi alternatifnya apa? Itu yang perlu disuarakan oleh publik,” kata Fajry.
Kenaikan PPN Mencekik Kelas Menengah
Peneliti Center of Economic and Law Studies (Celios), Achmad Hanif Imaduddin, memahami PPN ini memang bisa jadi salah satu alternatif kebijakan untuk meningkatkan penerimaan negara dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Namun, di Indonesia penerapannya perlu memperhatikan konteks lain, seperti jumlah kelas menengah semakin turun dan daya beli yang semakin rendah.
Jumlah penduduk kelas menengah pada 2024 mencapai 47,85 juta jiwa atau sekitar 17,13 persen dari total populasi di Indonesia. Jumlahnya mengalami penurunan sejak periode sebelum pandemi COVID-19, di mana pada 2019 porsi penduduk kelas menengah masih ada sebesar 21,45 persen atau sekitar 57,33 juta jiwa dan menjadi 19,82 persen (53,83 juta jiwa) di 2021.
Di saat bersamaan penduduk menuju kelas menengah jumlahnya justru bertambah sebesar 137,5 juta orang atau sebesar 49,22 persen jika dibandingkan 2023. Pada 2023, jumlah penduduk menuju kelas menengah tercatat sebesar 136,92 juta jiwa atau sekitar 49,47 persen dari total populasi. Jika dibandingkan masa pra pandemi, maka jumlah masyarakat menuju kelas menengah yang sebanyak 128,85 juta jiwa atau sekitar 48,20 persen dari total populasi juga jauh lebih sedikit.
Sebab jika PPN naik, maka harga barang dan jasa juga naik. Pada akhirnya masyarakat akan lebih berhati-hati untuk mengeluarkan uangnya, alhasil konsumsi rumah tangga menurun. Dan jika konsumsi rumah tangga menurun, maka tidak akan ada perputaran ekonomi.
“Alhasil, keinginan awal untuk memutar roda ekonomi dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi, justru akan jadi bom waktu yang membahayakan kestabilan ekonomi negara,” kata dia.
Terlebih, kata Achmad, menarik untuk disoroti bahwa besaran PPN di Indonesia sudah cukup tinggi bila dibandingkan dengan negara di wilayah dan kekuatan ekonomi yang tidak jauh berbeda. Sebagai contoh, PPN di Thailand hanya 7 persen, Vietnam dan Laos 10 persen.
“Melalui perbandingan ini, bisa dibilang PPN Indonesia sudah cukup besar,” ujar dia.
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, menambahkan momentum dari pengenaan tarif baru PPN itu seharusnya bisa disesuaikan. Artinya jika kondisi perekonomian tengah melambat, penerapan tarif baru yang lebih tinggi itu berpotensi akan berdampak terhadap kemampuan konsumsi secara keseluruhan.
“Hal ini yang juga kemudian mendasari argumen kami yang masih sesuai dengan apa yang kami sampaikan sebelumnya, di mana melihat kondisi saat ini terutama sampai dengan kuartal IV awal, nampaknya kebijakan untuk tetap mengenakan PPN di 12 persen relatif kurang tepat,” jelas dia kepada Tirto, Kamis (14/11/2024).
Menurut Yusuf, beberapa leading indikator terutama yang berkaitan dengan konsumsi rumah tangga pada awal kuartal IV tahun ini, relatif masih menunjukkan indikasi pelemahan daya beli. Beberapa indikasi itu terlihat seperti pada proyeksi penjualan riil yang diproyeksikan akan relatif lebih rendah dibandingkan tahun lalu.
Kemudian data terkini Purchasing Manager’s Index (PMI) manufaktur Indonesia pada September 2024 yang masih anjlok ke zona kontraksi yakni 49,2. Kontraksi ini bahkan telah terjadi tiga bulan berturut-turut sejak Juli.
“PMI yang masih berada pada level kontraktif ini bisa menjadi indikasi terkait lemahnya permintaan,” kata Yusuf.
Karena itu, lanjut Yusuf, kebijakan tarif baru PPN ini secara otomatis akan memberikan dampak terhadap kelas menengah, akhirnya semakin menguat. Apalagi dalam rancangan kebijakan APBN di tahun depan, insentif yang secara khusus diberikan untuk kelas menengah relatif masih terbatas, sehingga tidak ada kompensasi yang kemudian didapatkan oleh kelas menengah ketika pemerintah menaikkan tarif PPN menjadi 12 persen.
Akan tetapi, perlu kita ingat juga, kata Fajry Akbar, penerimaan yang dihasilkan dari kenaikan tarif PPN 12 persen nantinya akan dikembalikan ke masyarakat melalui public expenditure. Pemerintah perlu memastikan, dari tambahan penerimaan pajak dari kenaikan tarif sebesar 12 persen akan lebih dinikmati oleh masyarakat bawah-menengah.
Pemerintah Harus Cari Instrumen Pajak Lain
Alih-alih pemerintah berfokus pada PPN, menurut Celios, pemerintah seharusnya dapat mendiskusikan instrumen perpajakan yang lebih progresif dan mendukung nilai keberlanjutan. Misalnya, pajak produksi batu bara, pajak karbon, dan pajak keuntungan mendadak atau windfall tax.
“Ketiga perpajakan tersebut tidak hanya berpotensi meningkatkan pendapatan negara, tetapi juga mendorong arah pembangunan yang lebih berkelanjutan dan pro lingkungan,” ujar Achamd.
Perhitungan Celios pada 2024, negara bisa memperoleh Rp69,75 triliun per tahun dari pajak karbon, Rp42,71 triliun dari windfall tax, dan Rp28,76 - Rp47,59 triliun dari pajak produksi batu bara. Artinya, dengan ketiga instrumen pajak ini saja, negara bisa mengantongi pemasukan tambahan sekitar Rp141,22 triliun hingga Rp160,06 triliun.
Ekonom CORE mengamini memang sebaiknya pemerintah mengambil alternatif selain menaikkan tarif PPN. Pertama, kata Yusuf, pemerintah bisa melakukan perubahan pada tarif PPh yang sifatnya lebih mengakomodasi tarif progresif dan lebih variatif antara kelompok pendapatan atas. Terlebih saat ini otoritas terkait punya kebijakan ataupun metode baru untuk menghitung pajak penghasilan melalui tarif efektif rata-rata.
“Dan saya kira seharusnya kebijakan ini, dilihat terlebih dahulu apakah kemudian efektif dan mampu dalam mendorong kenaikan setoran pajak melalui pajak penghasilan,” kata dia.
Selain itu, pemerintah juga bisa berharap pada sumber lain seperti pajak orang kaya yang saat ini menjadi diskusi di negara-negara berkembang sebagai salah satu instrumen dalam menopang penerimaan pajak secara umum. Di luar itu, ada juga instrumen pajak khusus terutama untuk aset mewah dan properti yang dikategorisasi sebagai barang mewah.
Terakhir, yang tidak kalah penting pemerintah juga bisa memberikan kompensasi ketika tetap menjalankan kebijakan tarif baru PPN 12 persen senilai dengan potensi kenaikan dari tarif tersebut. Nantinya kompensasi tersebut diberikan kepada kelompok kelas menengah ke bawah.
“Sehingga kekhawatiran dari PPN kemudian bisa memberikan dampak terhadap daya beli kelompok ini bisa sedikit diminimalisir,” kata Yusuf.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz