tirto.id - Nilai ekspor Indonesia Juni 2024 sebesar 20,84 miliar dolar AS, turun 6,65 persen dibanding Mei 2024 yang sebesar 22,33 miliar dolar AS. Pada saat yang sama, total impor Indonesia juga anjlok 4,89 persen menjadi 18,45 miliar dolar AS.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menilai turunnya kinerja ekspor dan impor nasional menjadi pertanda bahwa perekonomian Indonesia sedang melemah.
“Jadi memang ada pelambatan di berbagai sisi, dan situasi ini diperburuk oleh kebijakan fiskal,” katanya kepada Tirto, Selasa (16/7/2024).
Kebijakan fiskal yang dimaksud Bhima, salah satunya adalah guyuran bantuan sosial (bansos) yang sebelumnya dilakukan, baik oleh pemerintah maupun para calon anggota legislatif pada masa pemilu.
Selepas pemilu, pemerintah cenderung mengerem pemberian bansos untuk masyarakat, bahkan narasi pembatasan subsidi dan jaring pengaman sosial lainnya juga semakin kencang.
Pada saat yang sama, masyarakat kelas menengah juga semakin tertekan, sebagai imbas dari kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 11 persen sejak April 2022 lalu. Selain itu, pemerintah juga sudah memperkirakan defisit APBN 2024 sebesar 2,7 persen, naik dari yang disepakati sebelumnya yakni sebesar 2,29 persen.
“Jadi banyak indikator yang menunjukkan kita harus waspada terhadap perekonomian ini setidaknya 6 bulan ke depan,” imbuh Bhima.
Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Mohammad Faisal, mengatakan ketimbang kinerja ekspor dan impor bulan Juni, ekonomi Indonesia yang sedang tidak baik-baik saja lebih nampak dari ekspor kumulatif nasional. Periode Januari-Juni 2024, ekspor nasional sebesar 125,09 miliar dolar AS, turun 2,76 persen dibanding periode yang sama tahun 2023.
Sedangkan secara kumulatif, impor Indonesia naik tipis sebesar 0,84 persen menjadi 109,64 miliar dolar AS.
“Jadi ada indikasi kalau impor melemah, ini memang mengindikasikan ekonomi dalam negeri itu relatif lebih lemah dibandingkan periode yang sama tahun yang lalu. Apalagi jika kita melihat pertumbuhan yang mengalami kontraksi adalah bukan di barang-barang konsumsi, tapi di barang-barang produksi,” tutur Faisal saat dihubungi Tirto, Selasa (16/7/2024).
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), selama Januari-Juni 2024, hanya golongan barang modal yang mengalami penurunan senilai 74,6 juta dolar AS atau 0,39 persen. Sementara golongan barang konsumsi dan bahan baku/ penolong naik masing-masing senilai 655,4 juta dolar AS (6,71 persen) dan 333,2 juta dolar AS (0,42 persen).
Sementara jika dilihat dari peranannya selama Januari-Juni 2024, golongan bahan baku/penolong mendominasi dengan nilai impor 80.392,5 juta dolar AS (73,32 persen), diikuti oleh barang modal 18.819,4 juta dolar AS (17,17 persen) dan barang konsumsi 10.429,9 juta dolar AS (9,51 persen).
“Kalau seandainya impor bahan baku, bahan penolong itu mengalami pelemahan pertumbuhanannya, berarti pertumbuhan produksi dalam negeri cenderung melemah karena industri kita masih banyak tergantung pada barang-barang impor. Dari sisi bahan baku, bahan penolongnya,” jelas dia.
Sedangkan dari sisi ekspor, pelemahan akan berdampak terhadap produksi yang berorientasi pada pasar ekspor. Kondisi ini pun akan berimbas pada tingkat penyerapan tenaga kerja hingga tingkat upah.
“Nah ini yang bisa dikatakan secara umum, apakah ekonomi Indonesia mengalami pelemahan? Kalau dari ekspor impor saja ada kecenderungan pelemahan secara marginal, tapi kita untuk menyimpulkan itu juga melek indikator yang lain, selain ekspor impor,” lanjut Faisal.
Indikator lain yang dimaksudnya adalah konsumsi rumah tangga, yang pada kuartal I 2024 hanya tumbuh 4,91 persen, lebih rendah dari masa pra pandemi Covid-19 yang dapat tumbuh di kisaran 5 persen.
Menurut Faisal, pertumbuhan ini tergolong terbatas, karena pada kuartal I 2024 terdapat momentum-momentum besar mulai dari Pemilu 2024 hingga Ramadan dan Lebaran.
“Sudah lewat pemilu, sudah lewat juga masa bulan Ramadan dan Lebaran yang biasanya tingkat konsumsinya tinggi, nah ini berarti indikasi. Ditambah lagi indikasi pelemahan, ditambah lagi indikasi ekspor impor yang seperti sekarang. Jadi, memang ada kecenderungan pelemahan secara marginal,” imbuh Faisal.
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Irfan Teguh Pribadi