Menuju konten utama

Ironi Peternak Sapi Perah, Terjerat Pajak Hingga Gulung Tikar

Sistem perpajakan Indonesia belum ramah terhadap pelaku UMKM seperti peternak sapi perah dan pengepul susunya.

Ironi Peternak Sapi Perah, Terjerat Pajak Hingga Gulung Tikar
Peternak memindahkan susu yang telah diperah di Kampung Pasir Angin, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Kamis (8/3/2018). ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi

tirto.id - Nasib nahas menimpa Pramono, pengepul susu dari peternak sapi perah asal Kecamatan Mojosongo, Boyolali, Jawa Tengah. Pemilik Usaha Dagang (UD) Pramono itu, terpaksa harus menutup usahanya. Pilihan pahit itu harus diambil karena sudah tak mampu membayar tagihan pajak dari negara.

Pramono diwajibkan membayar pajak senilai Rp671 juta untuk tahun 2018. Usahanya pun diblokir oleh Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Boyolali dengan alasan belum memenuhi kewajiban pembayaran pajak 2018.

“Aku sudah tidak sanggup,” ujar Pramono dengan nada pasrah dalam sebuah unggahan video di media sosial Instagram.

Mulanya berawal pada 2021, ketika Kantor Pajak memeriksa pajak usaha Pramono periode 2018. Pramono saat itu ditagih pajak Rp2 miliar, yang kemudian diturunkan menjadi Rp671 juta. Meski sempat diturunkan, Pramono masih merasa berat untuk membayarnya.

“Kemudian, setelah nego-nego. Jadi [nilai pajak] Rp200 juta. Jika Rp200 juta dibayar masalah pajak 2018 selesai semua," jelasnya.

Meski telah membayar senilai Rp200 juta pada 2021, ternyata Pramono diminta lagi untuk membayar Rp110 juta. Pramono memutuskan tidak membayar tagihan tersebut karena merasa sudah memenuhi kewajiban bayarnya.

“Kemarin itu diundang untuk bayar Rp110 juta, ya saya cerita kenapa Rp200 itu katanya kan udah selesai, kenapa kok saya masih punya utang pajak?,” ujarnya mempertanyakan.

Selama bertahun-tahun, Pramono bekerja sebagai pengepul susu. Ia telah membawahi sebanyak 1.300 peternak sapi perah yang menjadi mitranya. Selama itu pula, Pramono tak pernah membebankan kepada peternak jika susunya disetorkan ditolak pabrik. Bahkan, ia turut membantu memberikan kredit tanpa bunga kepada petani binaannya.

Kabar penutupan usahanya ini membuat sejumlah petani dan peternak sapi perah resah. Melansir dari Antara, Gito (56), peternak sapi asal Dukuh Rejosari, Desa Gedangan Kecamatan Cepogo, Boyolali kaget. Sebab, ia telah menggantungkan kebutuhan hariannya lewat penjualan susu sapinya. Ia sudah menyetorkan susu sapi di UD Pramono, sejak 10 tahun lalu hingga sekarang.

Menurut Gito, setiap hari dirinya telah menyetorkan hasil perah susu sapinya rata-rata 20 liter per hari dengan harga Rp7.250 per liter.

"Petani ikut Pak Pramono karena harga pakan sapi, kedua pinjam koperasi simpan pinjam itu, bunganya 0 persen, tidak berbunga," terang Gito.

PRODUKSI SUSU SAPI PERAH MENURUN

Peternak memerah susu sapi di Kampung Kancah, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Minggu (28/1/2018). ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi

Dia mengatakan kemudahan tersebut sangat membantu para petani. Apalagi, dia mengandalkan uang penjualan susu sapi untuk harian. Dalam satu minggu, dia menerima uang hingga Rp800 ribu. Sedangkan pakan sapi dan garam, dia tidak pusing karena mengambil dari UD.

Peternak lainnya, asal Kecamatan Jatinom, Klaten, Sriyono (37), juga mengaku kaget mendengar UD Pramono ingin menutup usahanya. Sriyono sendiri menyetorkan susu sejak enam tahun terakhir. Dia memiliki empat ekor sapi perah yang menghasilkan susu rata-rata 55 liter per hari.

Dalam satu minggu ia bisa mendapatkan Rp450 ribu, masih ditambah pakan brand. Dia berharap kondisi ini, segera dapat diselesaikan. Peternak bisa menyetorkan kembali susu ke UD Pramono. Apalagi banyak peternak kecil yang bergantung pada UD itu.

Penjelasan Direktorat Jenderal Pajak

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak, Dwi Astuti, mengatakan penagihan pajak merupakan upaya menagih hak negara terhadap penunggak pajak/wajib pajak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Dalam kasus Pramono, pemblokiran rekening wajib pajak merupakan bagian dari penagihan aktif.

Dwi mengeklaim, pemblokiran rekening milik Pramono sudah didahului dengan penerbitan dan penyampaian Surat Teguran, Surat Paksa, dan Surat Perintah Melakukan Penyitaan kepada penunggak pajak/wajib pajak. Artinya, tindakan pemblokiran tersebut bukan merupakan tindakan penagihan tahap pertama karena sebelumnya telah dilakukan penagihan secara persuasif.

“Namun demikian jika sampai dengan batas waktu yang telah ditentukan penunggak pajak/wajib pajak belum melunasi tunggakan pajaknya, maka dilakukan tindakan penagihan aktif antara lain berupa pemblokiran nomor rekening,” ujar dia kepada Tirto, Senin (1/4/2024).

Lebih lanjut, Ewie mengatakan saat ini sedang dilakukan mediasi dengan melibatkan pihak ketiga yaitu Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Boyolali. Mediasi dilakukan untuk mencari solusi terbaik berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku.

“Dalam upaya penegakan hukum, DJP selalu berpegang teguh pada prosedur dan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta tidak bersikap diskriminatif dengan tetap selalu menjunjung tinggi kode etik dan nilai-nilai Kementerian Keuangan termasuk hak-hak wajib pajak,” pungkas dia.

Sistem Perpajakan Indonesia Tidak Ramah ke UMKM

Peneliti Center of Reform on Economics (CORE), Eliza Mardian, menilai kasus yang menimpa Purnomo terjadi karena sistem perpajakan Indonesia yang belum ramah terhadap Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM).

Pajak UMKM selama ini menggunakan PPh final yang 0,5 persen dari omzet bruto, bukan dari profit atau keuntungan seperti usaha besar.

“Alasan pemerintah memajaki UMKM dari omzet ini karena UMKM diasumsikan tidak memiliki catatan transaksi penjualan dan lain-lain,” ujar dia kepada Tirto, Senin (4/11/2024).

Berdasarkan asumsi itulah, menurut Eliza, pada akhirnya dipukul rata semua UMKM yang omzet per tahunnya diatas Rp4,8 miliar dikenakan PPh final UMKM 0,5 persen dari omzet. Ini tentu saja tidak adil bagi UMKM karena tidak semua UMKM antara keuntungan dan omzetnya itu seimbang.

Sebagai contoh saja, penjual pulsa. Dia menjual pulsa 10.000 dengan harga Rp12.500. Profitnya hanya Rp2.500 tapi yang dikenakan pajaknya itu keseluruhan penjualan yang Rp12.500.

“Ini kan tidak fair bagi UMKM yang modalnya besar, tapi profitnya sedikit. Sehingga kehitung omzetnya jadi gede,” ujarnya.

Di luar itu, lanjut Eliza, petugas pajak seharusnya memberikan sosialisasi perhitungan pajak untuk meningkatkan literasi pajak ke masyarakat. Kalau UMKM tiba-tiba diberikan surat penagihan dan perhitungannya yang kurang dipahami wajib pajak, ini tentu akan jadi seperti kurang baik komunikasinya

“Makanya perlu pendekatan yang lebih ramah kepada para wajib pajak dan tentu harus transparan,” ujarnya.

Menurutnya, UMKM ini tidak seperti usaha besar yang memiliki kemampuan menyewa konsultan pajak agar perhitungan pajaknya sesuai dengan penjualannya. Karena itulah petugas pajaknya yang harus sekaligus jadi konsultan yang suportif.

GERAKAN MINUM SUSU

Seorang anak meminum susu segar saat aksi gerakan minum susu di Boyolali, Jawa Tengah, Minggu (23/7). ANTARA FOTO/Aloysius Jarot Nugroho.

Momentum Pembenahan Regulasi Usaha Susu

Ketua Dewan Persusuan Nasional, Teguh Boediyana, menambahkan kasus Pramono ini seharusnya menjadi pembenahan terhadap sistem regulasi dan tata kelola terhadap susu peternak sapi perah. Maka dalam hal ini, peran koperasi sangat dibutuhkan untuk membantu para peternak sapi.

“Sekarang itu banyak yang pada akhirnya usaha perorangan seperti UD Pramono. Peternak akhirnya bergantung kepada mereka. Sebenarnya bisa dihidupkan kembali koperasi seperti zaman dulu,” ujar dia saat dihubungi Tirto, Senin (4/11/2024).

Teguh mencatat Industri Pengolahan Susu atau disingkat IPS, di Indonesia sendiri kini telah beroperasi sekitar 60 perusahaan, mulai dari yang menengah hingga besar.

Namun, tidak semua IPS menyerap Susu Segar Dalam Negeri (SSDN). Diketahui, jumlah IPS yang menyerap SSDN dengan bermacam-macam volume, yakni hanya sekitar 14 perusahaan, dan salah satunya yang paling banyak menyerap adalah lima perusahaan dari anggota AIPS (Asosiasi Industri Pengolahan Susu).

Aturan untuk semua IPS menyerap SSDN itu, sempat ada ketika zaman Orde Baru yang dipimpin Presiden Soeharto. Kemudian, dicabut oleh IMF (International Monetary Fund) pada 1998, yaitu terkait Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 2 Tahun 1985 tentang Koordinasi Pembinaan dan Pengembangan Persusuan Nasional.

Instruksi tersebut, intinya mewajibkan seluruh perusahaan pengolahan susu untuk menyerap SSDN sebesar 40 persen, dan hanya boleh impor sebanyak 60 persen. Usai Inpres Nomor 2/1985 dicabut, IMF pun mengatur semua regulasi yang dianggap mengganggu pasar. Sejak 1998 hingga 2017, tidak ada peraturan tentang persusuan atau tentang sapi perah.

Akhirnya, lahirlah Permentan (Peraturan Menteri Pertanian) Nomor 26 Tahun 2017 tentang Penyediaan dan Peredaran Susu. Beleid tersebut digadang mengatur pemenuhan kebutuhan protein hewani dan sebagai upaya untuk meningkatkan produksi susu nasional. Tapi usai direvisi, tidak ada lagi peraturan khusus dari pemerintah maupun kementerian manapun untuk meregulasi susu.

“Makanya ini jadi momentum untuk industri susu kita dan menghidupkan kembali koperasi,” kata Teguh.

Di luar dari itu, menurut Teguh, pentingnya pemerintah memberikan relaksasi atau keringanan pajak terhadap industri susu. Jangan sampai kemudian, para pengusaha susu ini keberatan akibat beban pajak yang besar.

“Ini perlu dipikirkan juga. Perlu ada relaksasi pajak,” tuturnya.

Baca juga artikel terkait UMKM atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - News
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Bayu Septianto