tirto.id - PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) atau ID Food tengah mengkaji alternatif susu ikan untuk pemenuhan kebutuhan susu dalam Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang diinisiasi oleh presiden terpilih, Prabowo Subianto. Jika susu ikan dapat diproduksi secara masal, maka produk tersebut diharapkan dapat menjadi salah satu pengganti susu sapi.
Alternatif ini dirasa perlu, mengingat Indonesia sendiri belum bisa memenuhi kebutuhan susu sapi dalam negeri secara mandiri. Dalam laporan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia bertajuk Narasi Tunggal Sapi Perah pada Maret 2024, selama periode 2017-2020 produksi susu segar nasional masih minim, jauh di bawah level konsumsinya.
Pada 2017, Indonesia hanya memproduksi 918,24 ribu ton susu segar, sedangkan total konsumsi atau permintaannya mencapai 4,27 juta ton. Untuk menutupi kekurangan pasokan tersebut, pada 2017 Indonesia mengimpor susu segar sekitar 3,36 juta ton.
Jika dihitung persentasenya, selama 2017-2020 produksi susu segar Indonesia hanya mencukupi sekitar 21-22 persen dari kebutuhan konsumsi nasional. Artinya sekitar 77-78 persen kebutuhan susu nasional dipenuhi melalui impor.
“Mungkin ada produk-produk alternatif sebagai pengganti susu dari sapi. Misalnya susu dari ikan, kan, ada juga. Saya belum tahu persisnya bagaimana, tapi dari ikan. Ini pernah disampaikan juga dari beberapa tokoh masyarakat,” ujar Direktur Utama ID Food, Sis Apik Wijayanto, saat ditemui awak media usai Rapat Kerja dengan Komisi IV DPR RI di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (4/9/2024).
Dia mengatakan, susu ikan akan menjadi alternatif sembari pemerintah menyiapkan peternakan jumbo (mega farm) sapi perah. Karena untuk menyiapkan agar mega farm dapat beroperasi secara mumpuni dan menghasilkan susu untuk pemenuhan dalam program ambisius Prabowo, dibutuhkan waktu setidaknya tiga sampai empat tahun.
Meski membutuhkan waktu lama, untuk memenuhi kebutuhan susu dalam Program MBG, pemerintah akan terlebih dulu mencari pasokan dari peternak-peternak sapi lokal. Setelah dikalkulasi dan ternyata tak cukup, baru pemerintah akan mengambil alternatif lain termasuk kebutuhan dari luar negeri, yakni melalui importasi susu dalam bentuk bubuk (powder).
"Utamanya adalah pemenuhan dari lokal dulu. Kemudian kalau ada produk alternatif yang bisa kita pakai [susu ikan] ya, mungkin ini kewenangannya ada di Badan Gizi [Nasional], bukan di saya,” kata dia.
Indonesia sebenarnya sudah memiliki produk inovatif karya anak bangsa, yaitu susu ikan. Produk tersebut menjadi pertama di Indonesia dan berasal dari Kabupaten Indramayu. Peluncuran susu ikan dilaksanakan pada kegiatan ‘Merdeka Protein’ oleh Menteri Koperasi, Teten Masduki, dan Bupati Indramayu, Nina Agustina, di Pabrik HPI Plant Kecamatan Kandanghaur, pada 2023 lalu.
Hanya saja produk ini bukan susu yang benar-benar dihasilkan ikan. Susu ikan adalah produk diversifikasi pangan, khususnya di bidang perikanan. Ikan diproses melalui teknologi modern sehingga dapat menghasilkan Hidrolisat Protein Ikan (HPI). Nantinya akan menjadi bahan baku susu ikan.
HPI dikembangkan Berikan Bahari Indonesia, salah satu Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) binaan KKP yang berbasis di Indramayu. HPI kemudian diolah lebih lanjut sehingga menghasilkan produk minuman berprotein tinggi. Maka, sebenarnya ini lebih tepat jika disebut sebagai minuman protein dengan bahan dasar ikan.
Peneliti Institute For Demagraphic andPoverty Studies (IDEAS), Nuri Ikawati, menilai secara keseluruhan, penggunaan susu ikan dalam skala besar untuk program nasional seperti ini bisa saja menjadi alternatif untuk dilakukan. Namun, perlu diingat juga bahwa tidak bisa diwujudkan dalam waktu dekat karena harus juga mempertimbangkan banyak hal.
“Mungkin bisa dilakukan, tetapi akan memerlukan waktu, investasi dalam teknologi dan riset, serta dukungan infrastruktur,” kata Nuri kepada Tirto, Selasa (10/9/2024).
Selain itu, keberhasilan program ini, kata Nuri, juga akan sangat bergantung pada penerimaan masyarakat dan kemampuan sektor perikanan serta industri pangan untuk memenuhi kebutuhan dalam skala besar secara berkelanjutan.
Perlu Dikaji Secara Serius
Nuri melanjutkan, pemilihan alternatif pangan untuk program makan siang bergizi harus dikaji secara serius, baik dari segi gizi maupun ketersediaan produksi dalam negeri. Dia berharap sebelum susu ikan benar-benar diimplementasikan sebagai bagian dari program nasional, perlu ada kajian mendalam dari segi gizi.
Misalnya bagaimana keseimbangan nutrisi yang ditawarkan oleh susu ikan harus sebanding dengan susu sapi, terutama dalam hal kandungan kalsium, protein, dan vitamin D. Lebih jauh, perlu diperhatikan pula penerimaan masyarakat terhadap susu ikan, baik dari segi rasa maupun budaya pangan.
“Alih-alih terlalu fokus pada satu jenis pangan, pemerintah harus lebih mengkaji pada sumberdaya lokal yang tersedia di berbagai daerah sehingga bisa menjamin asas keberlanjutan,” kata dia.
Susu ikan sendiri sebenarnya memiliki kandungan Eicosapentaenoic Acid (EPA) dan Docosahexaenoic Acid (DHA) yang tinggi. EPA DHA merupakan jenis asam lemak Omega-3 yang tidak bisa diproduksi tubuh dan hanya bisa didapatkan dari makanan, salah satunya ikan.
Dalam hal kesehatan, EPA DHA bermanfaat menyehatkan sistem kardiovaskular. Seperti mendukung fungsi jantung dan mencegah peradangan. EPA DHA juga berperan penting dalam perkembangan janin, mengoptimalkan fungsi kognitif anak, hingga meningkatkan daya tahan tubuh.
Selain itu, susu ikan diklaim bebas alergen sehingga aman dikonsumsi siapa saja. Susu ikan juga mudah dicerna tubuh dan memiliki tingkat penyerapan protein hingga 96 persen. Protein dikenal sebagai salah satu zat gizi yang berperan penting dalam kesehatan. Protein berfungsi sebagai sumber energi, meningkatkan imunitas tubuh, hingga mendukung pemeliharaan jaringan tubuh secara keseluruhan.
Ketua Dewan Persusuan Nasional, Teguh Boediyana, mengatakan, alternatif susu ikan memang menjadi kewenangan pemerintah nantinya untuk memutuskan bahan pangan apa yang digunakan. Namun, alangkah baiknya, kata dia, pemerintah mengkaji ulang penggunaan susu ikan sebagai alternatif pengganti susu sapi.
“Saya justru baru sekarang dengar ada susu ikan. Kalau ada rencana susu ikan sebagai alternatif, itu adalah otoritas pemerintah. Tapi, program makan bergizi ini sangat strategis. Jadi seharusnya dihindari hal yang kurang pasti,” tegas dia kepada Tirto.
Periset Center of Reform on Economic (CORE), Eliza Mardian, menambahkan, di luar dari susu ikan pelengkap nutrisi seperti susu sapi pun perlu dicarikan alternatifnya. Mengingat tingginya tingkat prevalensi intoleransi laktosa di Indonesia. Pada anak usia 3-5 tahun, tingkat intoleransi laktosa sebesar 21,3 persen, usia 6-11 tahun sebesar 57,8 persen, dan pada anak usia 12-14 tahun sebesar 73 persen (Hegar dan Widodo A, 2015).
“Alternatifnya bisa dengan susu kedelai, susu kambing dari peternak lokal atau bisa juga coconutmilk [bukan santan],” ujar Eliza, kepada Tirto, Selasa (10/9/2024).
Sebetulnya, kata Eliza banyak pilihan-pilihan kebijakan yang tersedia. Namun, kata dia, ini semua kembali ke tujuan dan kepentingan, mana yang didahulukan oleh pemerintah. Apakah ini menjadi kebijakan populis semata, menguntungkan segelintir pihak namun memberatkan neraca perdagangan Indonesia.
“Atau akan dijadikan sebagai program untuk melakukan transformasi pangan yang dapat mengakselerasi pertumbuhan ekonomi dari akar rumput, menciptakan lapangan kerja baru, dan meningkatkan produktivitas nasional,” ujar dia.
Jadi Momentum Benahi Tata Kelola Pangan
Lebih lanjut, Eliza melihat kondisi tata kelola pangan Indonesia sebenarnya masih carut marut, bahkan belum diperbaiki hingga ke akar persoalan. Karena untuk bisa mengembangkan peternakan sapi pedaging dan sapi perah itu memerlukan investasi yang besar, belum lagi kesiapan dari Sumber Daya Manusianya (SDM) serta sistem logistiknya.
Jika pemerintah ingin mengambil jalan pintas, maka investor pemodal besar yang akan berlomba-lomba untuk mengambil peranan dalam MBG ini. Sementara peternak lokal dengan segala keterbatasan modal, SDM dan teknologi tidak akan kecipratan kue ekonomi MBG yang dialokasikan sebesar Rp71 triliun.
“Padahal semestinya program MBG ini menjadi momentum untuk membenahi tata kelola pangan kita yang karut marut, membangun local supply chain yang kuat, linkage peternak/petani/nelayan lokal dengan program,” ujar dia.
Dia menambahkan, sebelum ada program MBG kebutuhan susu dalam negeri sebagian besar masih dipenuhi impor. Pemerintah sedari awal bahkan sudah mengatakan untuk mendukung MBG ini akan impor susu kemudian secara bertahap dan berjanji akan menggenjot produksi dalam negeri dengan mengimpor bakalan sapi.
“Apakah pemerintah dapat memenuhi janji tersebut? Ini yang perlu kita kawal terus dan amati,” kata Eliza.
Secara kalkulasi produksi susu sapi di Indonesia memang belum mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri. Data dari Kementerian Pertanian pada 2023, kebutuhan susu di Indonesia mencapai 4,3 juta ton, sedangkan produksi susu hanya mencapai 948 ribu ton atau hanya 22 persen saja dari kebutuhan.
Artinya sebagian besar kebutuhan susu Indonesia masih dipenuhi melalui impor, dengan produksi lokal yang hanya menyumbang sebagian kecil dari total kebutuhan. Dengan keterbatasan ini, langkah mencari alternatif selain susu sapi menjadi krusial untuk menjamin keberlanjutan program tersebut.
Karena menurut IDEAS, mengandalkan impor sebagai solusi jangka panjang tentu memiliki risiko. Ketergantungan pada negara lain dalam penyediaan pangan dasar dapat menyebabkan ketidakstabilan, baik dari segi harga maupun ketersediaan.
“Oleh karena itu, penting bagi pemerintah untuk mencari alternatif lokal yang dapat diandalkan,” kata Nuri.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz