Menuju konten utama

Cerita Angkringan Wayang Uwuh Pak Is: Berkreasi Lewat Sampah

Pak Is tak menghilangkan otentisitas sampah dalam karyanya. Misal, material dengan bekas kardus makan, wayang hanya akan diwarnai pada satu sisi.

Cerita Angkringan Wayang Uwuh Pak Is: Berkreasi Lewat Sampah
Iskandar Hardjodimuljo berbincang-bincang dengan pengunjung Angkringan Wayang Uwuh. tirto.id/Siti Fatimah

tirto.id - Matahari masih terik, usai saya meliput Depo Pengok, Kelurahan Demangan, Kemantren Gondokusuman, Kota Yogyakarta. Depo tersebut dibentangi spanduk bertuliskan “Dilarang Membuang Sampah di Sini! Selama Belum Ada Aturan Kesepakatan DLH dengan Warga Terdampak (Warga Pengok).”

Aksi yang dilakukan oleh Warga Pengok itu, jadi bukti betapa sampah dipandang sebagai masalah oleh masyarakat umum. Namun, ketika berkendara dengan sepeda motor sekitar 1 menit ke arah timur, saya menjumpai pemandangan yang berbeda.

Juga ada semacam spanduk, didominasi oleh warna coklat, membentang tulisan “Angkringan Wayang Uwuh” yang tertancap pada pagar sebuah rumah. Tidak biasa, pagar rumah ini dihiasi susunan limbah kayu dan juntaian daun kelor.

Memasuki pelaratan, pandangan saya diteduhkan oleh dua pohon besar di muka rumah limasan yang konon sudah berdiri sejak zaman Belanda. Tengah halaman, berdiri pohon sawo. Sementara lainnya, pohon mangga, iyup meneduhi gerobak angkringan dengan rupa yang mencolok. Pemiliknya, Iskandar Hardjodimuljo atau akrab disapa Pak Is.

Menu utama angkringan ini, adalah sampah. Tepatnya wedang uwuh. Dalam bahasa Jawa, uwuh berarti sampah. Sementara gerobak angkringannya, penuhi warna warni gambar wayang.

Menemani wedangan, Pak Is juga menyediakan kudapan. Tapi yang istimewa, angkringan ini menyediakan pula buku-buku untuk dibaca sembari menikmati semilir angin di pelataran rumah yang teduh. Literasi yang tersedia beragam, mulai dari buku yang memuat informasi kebudayaan sampai agama.

Jika tidak melakukan keduanya, membaca atau bersantap, Pak Is pasti melarutkan pengunjung angkringan dengan obrolan yang 'penuh daging'. Jadi, angkringan, selain jadi media usaha juga dijadikannya sebagai ruang cair untuk menebar pemahamannya terkait budaya dan lingkungan.

“Saya, mau pameran ke Prancis pertengahan bulan depan,” ujar Pak Is membuka obrolan kami beberapa hari lalu.

Pak Is memang bukan pedagang angkringan biasa. Dia senang disebut pelaku usaha mikro kecil menengah (UMKM), tapi dia juga giat sebagai seniman berbasis budaya dan lingkungan. Salah satu buah karya Pak Is yang diakui, adalah wayang uwuh.

“Saya itu, kemarin diajak demo ke DLH Kota Yogyakarta, itu loh 10 rumah dari sini. Tapi saya enggak mau," ujar bapak dari dua orang anak ini.

"Lah, di sini (di rumahnya) sampah enggak jadi masalah," kata dia menambahkan kemudian tersenyum.

Iskandar Hardjodimuljo

Iskandar Hardjodimuljo tengah serius menyelesaikan wayang uwuh dari plastik berkas karyanya.. tirto.id/Siti Fatimah

Pak Is menunjuk tempat penampungan sampah miliknya yang ternyata hanya menampung sampah organik. Material itu, nantinya dia olah menjadi pupuk. Sementara sampah plastik dan kertas, dijadikannya media untuk berkreasi.

Pak Is pun tidak menghilangkan otentisitas sampah dalam karyanya. Misalnya, untuk material dengan bekas kardus makan, wayang hanya akan diwarnai pada satu sisi. Sedangkan sisi sebelahnya dibiarkan asli cetakan dari kardus makan.

Sementara untuk wayang yang menggunakan limbah plastik, Pak Is tetap menampilkan lekuk dan lipatan yang ada. Sehingga hanya dipotong dan diupayakan untuk dapat berbentuk lembaran, tapi tidak halus.

Bukan main-main, wayang uwuh karya Pak Is bahkan sudah menancap ke berbagai belahan dunia. Antara lain jadi koleksi museum di Belanda, “Kalau enggak salah di museum etnografi,” kata dia.

Selain itu, wayang uwuh juga dikoleksi oleh pembeli asal Amerika, Jepang, Cina, dan Australia. Bahkan, wayang uwuh juga terpajang di Bangkok Art Center. “Saya pernah diundang oleh Pemerintah Thailand pada 2017, di sana saya memberikan workshop wayang uwuh dan lukis kaca," bebernya.

“Ya yang paling dekat, nanti wayang uwuh saya akan dipamerkan di Prancis bersamaan dengan layangan berbentuk wayang yang saya buat,” kata dia menambahkan.

Pria kelahiran 1962 ini menjabarkan bahwa eksistensi yang diperolehnya merupakan buah dari keteguhan dalam menjaga budaya dan lingkungan. Wayang kulit bahkan telah diakui UNESCO pada 2003 sebagai Warisan Budaya Tak Benda Manusia. Penggunaan material sampah, kemudian menjadi nilai tambah karya Pak Is untuk dihargai. Utamanya oleh negara-negara yang sadar akan pentingnya menjaga kelestarian lingkungan dan iklim global.

“Dengan wayang, saya yakin dan percaya diri. Saya enggak merasa minder dengan bangsa mana pun,” kata lulusan Akuntansi Institute Teknologi Bandung (ITB) itu.

Termasuk dengan layangan buatan Pak Is yang nantinya akan terbang di Prancis. Setidaknya ada sebanyak 25 layangan karya Pak Is yang dibawa ke negara yang baru saja menggelar Olimpiade 2024 itu.

Layangan yang dibawa terdiri dari berbagai bentuk dan ukuran. Layangan utama yang akan diterbangkan memiliki tinggi sekitar 4,3 meter. Pak Is bilang, layangan ini mengusung citra Kisah Betara Gana atau Sang Hyang Ganesha yang merupakan ahli ilmu pengetahuan.

“Batara Gana atau Sang Hyang Ganesha menjadi dewa simbol pengetahuan serta pendidikan. Bahkan ada salah satu perguruan tinggi di Indonesia yang memakai lambang Betara Ganesha,” kata dia.

Layangan Karya Iskandar

Layangan karya Iskandar Hardjodimuljo yang akan diterbangkan dalam festival layangan di Prancis. (FOTO/Dokumentasi Iskandar Hardjodimuljo)

Betara Gana atau Betada Ganesha pada layangan karya Pak Is memiliki ciri khusus. Dia selalu menggunakan warna-warna mencolok untuk diterapkan pada wayang. Dengan begitu, wayang tampil apik dengan warna-warninya yang memikat.

“Untuk catnya saya pakai akrilik yang kualitasnya memang bagus. Jadi tidak gampang rusak,” jelasnya.

Penerbangan layangan wayang pada malam hari, kata Pak Is, spesial. Sebab wayang, sesuai dengan tradisinya di Indonesia, pentas saat malam hari.

“Nanti layangan ini akan diterbangkan pada saat malam hari dengan tata cahaya khusus,” kata dia.

Maka cerita wayang sebagai simbol dari sifat manusia, kata Pak Is, sedikit banyak akan tersampaikan. "Wayang adalah bayang-bayang kita," ujarnya.

Lebih lanjut dijelaskan Pak is, intinya para penonton wayang diminta untuk memilih suri tauladan. "Maka cerita yang baik ambillah, yang jelek tinggalkan. Tetapi kalau mengambil atau tetap selalu mengumbar angkara murka (dikuasai nafsu) ya risiko tanggung sendiri di akhirat,” kata dia kemudian tertawa.

Pak Is, angkringan, wayang, dan uwuh memang satu kesatuan. Buah pikirnya menakjubkan, sehingga menyenangkan untuk diskusi dengannya sembari menyeruput minuman tradisional atau wedangan.

Dalam upaya menyebar pendidikan budaya, Pak Is, juga selalu sedia untuk diminta jadi pemateri. Biasanya, dia menggelar workshop di pelataran rumahnya, jalan Bimasakti No 29, Kelurahan Demangan, Kemantren Gondokusuman, Kota Yogyakarta.

“Saya suka, 'meracuni' pemikiran generasi muda dengan pendidikan dan kebudayaan,” kata dia.

Mengolah Sampah, Bernilai Ekonomi

Buah pikir Pak Is, mendapat tanggapan positif dari Kepala Dinas Perindustrian Koperasi Usaha Kecil dan Menegah (Disperinkop UKM) Kota Yogyakarta, Tri Karyadi Riyanto Raharjo. Pria yang akrab disapa Totok ini menyatakan, mengemukanya wayang uwuh, satu momentum dengan Pemkot Yogyakarta yang tengah galak melakukan penanganan sampah.

“Ketika masalah di Kota Yogyakarta adalah sampah. Kemudian berpikir bagaimana sampah dapat dikelola untuk memiliki nilai lebih,” kata dia saat dihubungi pada Jumat (23/8/2024).

Totok melihat langkah Pak Is menyasar berbagai dimensi. Bukan hanya mengentaskan permasalahan sampah, karya Pak Is pun bernilai ekonomi. Ditambah lagi, karyanya berbasis budaya.

“Yang dibidik adalah spirit mengolah sampah jadi bernilai ekonomi, Pak Iskandar itu aset yang luar biasa untuk dikembangkan dan diapresiasi. Itu memunculkan nilai seni yang tinggi,” kata dia.

Potensi ini, kata Totok, harus mendapat pengarahan tepat. Sebagai seorang yang berkecimpung di bidang industri, Totok ingin adanya pengarahan terhadap segmen pasar Pak Is.

“Sehingga ketika mengembangkan wayang itu, siapa pasar yang akan dibidik, turis, domestik, atau anak-anak. Harus dipikirkan juga. Harus ada arahan,” kata dia.

Totok berharap Pak Is dapat membagikan ilmunya. Sehingga tercipta sentra produksi yang khas. Jika berkenan, kata dia, Pak Is dapat membagikan ilmunya ke kematren lain terkait pengolahan sampah dari hulu yang berdaya ekonomi.

Akan tetapi, dia menegaskan, agar tiap wilayah memiliki ciri khasnya masing-masing. “Jadi harus ada berbagai macam varian. Ini akan memperteguh Kota Yogyakarta sebagai kota kreatif,” kata dia.

Selain itu, Totok menegaskan pentingnya ada manajemen yang baik. Sebab dia tidak ingin, pengembangan pengelolaan sampah justru menimbulkan timbunan baru. Artinya, ada klaim bahwa material yang digunakan adalah sampah. Padahal sesungguhnya yang digunakan adalah material non-limbah.

“Jangan sampai, ketika ini booming membuat velue dari sampah memiliki aspek ekonomi, malah menggunakan barang seolah-olah sampah kemudian dibuat bernilai lebih,” kata dia berpesan.

Layangan Karya Iskandar

Layangan karya Iskandar Hardjodimuljo yang akan diterbangkan dalam festival layangan di Prancis. (FOTO/Dokumentasi Iskandar Hardjodimuljo)

Baca juga artikel terkait SAMPAH atau tulisan lainnya dari Siti Fatimah

tirto.id - News
Kontributor: Siti Fatimah
Penulis: Siti Fatimah
Editor: Abdul Aziz