tirto.id - Pidato kenegaraan terakhir Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Sidang Tahunan MPR RI Jumat (16/8/2024) beberapa waktu lalu, secara singkat menyinggung transformasi ekonomi hijau. Kepala negara itu menyampaikan, bahwa dunia mulai mengarahkan masa depannya ke ekonomi hijau.
Indonesia pun, kata Jokowi, tak ingin kehilangan momentum tersebut. Terlebih Tanah Air memiliki potensi besar di sektor energi hijau yaitu sekitar kurang lebih 3.600 Gigawatt (GW), baik dari energi air, angin, matahari, panas bumi, gelombang laut, dan bioenergi.
Jika menilik Buku II Nota Keuangan beserta RAPBN Tahun Anggaran 2025, transformasi ekonomi hijau masuk dalam strategi jangka menengah yang diarahkan menuju pertumbuhan ekonomi inklusif dan berkelanjutan.
Oleh karena itu, arah kebijakan jangka menengah akan ditempuh dengan mengoptimalkan berbagai dukungan fiskal untuk kegiatan-kegiatan mendukung pencapaian pembangunan ekonomi hijau.
“[Diantaranya] seperti pengembangan energi terbarukan, penanganan sampah, serta upaya mencegah dan mengurangi kerusakan hutan,” tulis Buku II Nota Keuangan, sebagaimana dikutip Tirto, Selasa (20/8/2024).
Untuk mengoptimalkan dukungan fiskal tersebut, pemerintah akan mendorong BUMN dan swasta untuk berperan lebih banyak dalam upaya pencapaian pembangunan ekonomi hijau melalui skema pembiayaan kreatif.
Keterbatasan kapasitas fiskal harus bisa ditutupi dengan sumber-sumber pendanaan non-APBN, baik yang bersumber dari swasta, internasional, lembaga internasional, atau sumber lain yang relevan.
Sejalan dengan itu, pemerintah juga akan mempercepat penyelesaian inisiatif dalam rangka mendukung pencapaian pembangunan ekonomi hijau. Skema pasar karbon, pajak karbon, dan Energy Transition Mechanism (ETM) menjadi beberapa inisiatif yang saat ini tengah difinalisasi.
Inisiatif-inisiatif baru yang mungkin muncul juga akan memberikan dorongan tambahan dalam upaya pencapaian pembangunan ekonomi hijau.
Beberapa arah kebijakan jangka menengah di atas, tentu saja selaras dengan presiden dan wakil presiden terpilih, yakni Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka dalam mewujudkan ekonomi hijau.
Berkaca pada dokumen program kerja Prabowo-Gibran, keduanya ingin mengakselerasi rencana dekarbonisasi untuk mencapai target net zero emission pada 2060 atau lebih cepat.
Prabowo-Gibran juga ingin mengembangkan ekosistem yang terus mengakselerasi pemanfaatan dan pengembangan sumber daya alam yang berkaitan dengan carbon sink dan carbon offset untuk mengakselerasi target net zero emission dan memanfaatkan kesempatan dari ekonomi hijau.
Mereka juga ingin melanjutkan program mempensiunkan pembangkit listrik tenaga uap (coal-fired power plant retirement) dengan berdasarkan pada asas keadilan dan keberimbangan serta melanjutkan program biodiesel dan bio-avtur dari kelapa sawit.
Prabowo-Gibran juga akan mengembangkan bioetanol dari singkong dan tebu, sekaligus menuju kemandirian komoditas gula, serta mengembangkan sumber energi hijau alternatif, terutama energi air, angin, matahari, dan panas bumi.
"Dengan tekad untuk meneruskan kebijakan energi yang telah digulirkan oleh Presiden Jokowi, pemerintahan Prabowo-Gibran tentu akan melanjutkan upaya yang ada [menuju ekonomi hijau]," ujar Direktur Eksekutif Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia METI, Yudha Permana Jayadikarta, kepada Tirto, Selasa (20/8/2024).
Yudha mengatakan dalam masa transisi energi, isu utamanya adalah bukan lagi penghentian penggunaan energi fosil, tetapi bagaimana mengurangi emisi karbon yang dihasilkan dari berbagai aktivitas ekonomi. Maka, sektor industri menjadi salah satu yang paling krusial dalam upaya ini.
"Sektor energi menjadi prioritas utama dalam upaya reduksi emisi karbon secara akseleratif," ujarnya.
Pada 2030, sektor ini diproyeksikan menyumbang 59 persen dari total emisi karbon nasional. Bila ditambah dengan emisi yang dihasilkan dari berbagai aktivitas ekonomi lainnya, kontribusi emisi karbon dari sektor energi bisa melonjak hingga lebih dari 70 persen pada 2030.
Oleh karena itu, kata Yudha, transisi dari energi fosil menuju energi terbarukan adalah keharusan untuk mengurangi emisi karbon. Pemerintah, bersama para pemangku kepentingan, tengah berusaha memastikan transisi energi berjalan lancar.
Hingga 2024, pemerintahan Jokowi telah melakukan berbagai upaya mitigasi, termasuk efisiensi energi, peningkatan bauran energi baru terbarukan (EBT), dan penggunaan teknologi pembangkit bersih.
Dalam jangka menengah hingga 2030, pemerintah memiliki sejumlah skenario, seperti meningkatkan efisiensi penggunaan energi, mempercepat adopsi energi terbarukan, dan memperkuat kebijakan energi rendah karbon. Misalnya, meningkatkan jumlah pembangkit energi terbarukan sesuai rencana usaha penyediaan tenaga listrik (RUPTL) PT PLN, dan memperluas penggunaan PLTS atap.
Pemerintah juga berencana membangun pembangkit energi bersih, seperti teknologi coal clean pada PLTU batubara, serta pembangkit listrik tenaga gas alam.
Kebijakan lainnya mencakup peningkatan penggunaan bahan bakar rendah karbon, seperti peralihan BBM ke gas alam dan jaringan gas kota.
"Jika semua skenario ini berhasil, pengurangan emisi karbon sektor energi pada 2030 bisa mencapai 358 juta ton karbon dioksida," jelas dia.
Bentuk Badan Baru Untuk Kurangi Emisi Karbon
Sebagai loncatan awal untuk mengawali komitmennya, Prabowo-Gibran sendiri berencana membentuk Badan Pengelola Pengendali Perubahan Iklim dan Tata Niaga Karbon (BP3I-TNK) setelah dilantik pada Oktober 2024.
Gagasan pembentukan BP3I-TNK berasal dari Ketua Tim Ekonomi Presiden dan Wakil Presiden RI Terpilih, Prabowo-Gibran Periode 2024-2029, Burhanuddin Abdullah.
Menurut Burhanuddin, badan ini nantinya bakal bertugas mengarahkan, mengelola, dan mengawasi pengendalian iklim yang berkelanjutan serta mewujudkan kedaulatan karbon dengan memanfaatkan teknologi blockchain.
Pembuatan badan ini juga selaras dengan pilar kedua 8 Misi Asta Cita Prabowo, yakni mendorong kemandirian bangsa melalui ekonomi hijau.
“Pembentukan badan ini juga menjadi salah satu upaya pemerintah baru untuk memenuhi komitmen Indonesia dalam mengurangi emisi karbon,” ujar Burhanuddin dalam keterangannya.
Komitmen mengurangi emisi karbon ini menjadi penting, karena sampai saat ini Indonesia masih menghadapi tantangan pembiayaan dalam rangka memenuhi target penurunan emisi karbon pada 2030.
Untuk mencapai target sebesar 29 persen (dengan usaha sendiri) dan 41 persen (dengan dukungan internasional), dibutuhkan pembiayaan mencapai Rp4.000–Rp5.000 triliun dan Rp15 ribu triliun untuk mencapai net zero emission pada 2060 atau lebih cepat.
Namun, untuk menutup gap pembiayaan tersebut, pemerintahan Prabowo-Gibran ke depan dinilai perlu melakukan strategi pendanaan berkelanjutan.
Menurut Peneliti Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), Gurnadi Ridwan, salah satu hal bisa dilakukan pemerintah adalah dengan kebijakan kendaraan listrik (electric vehicle-EV). Kebijakan ini harus dibarengi dengan inisiatif pemerintah dalam meningkatkan pendapatan dan pendanaan lebih hijau.
Kebijakan pemerintah untuk mendorong penggunaan kendaraan listrik (EV) ini sejatinya bertujuan menggantikan kendaraan berbahan bakar fosil menjadi lebih ramah lingkungan. Tapi, di sisi lain jika dilihat di tingkat daerah pada 2024, persentase Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB) justru berkontribusi sebesar 12 persen dari total pajak daerah secara nasional.
"Jika terjadi pengalihan kendaraan berbahan bakar fosil ke listrik, tentu akan menggerus salah satu sumber pendapatan daerah. Tapi hal ini perlu menjadi pertimbangan untuk mencari sumber pendapatan baru," jelas Gurnadi dalam keterangan risetnya kepada Tirto, Selasa (20/8/2024).
Peneliti FITRA, Gulfino Guevarra, menambahkan strategi pembiayaan berkelanjutan lainnya dengan kembali menerbitkan Surat Berharga Negara (SBN) untuk isu lingkungan hidup dan sosial serta menerbitkan Republic of Indonesia Green Bond dan Green Sukuk Framework.
Hingga 2024 sendiri, pemerintah mengklaim telah berhasil menerbitkan Green Sukuk baik yang dipasarkan di pasar internasional maupun domestik sebesar 6,6 miliar dolar AS melalui bookbuilding Global Sukuk, dan Rp35,75 triliun melalui bookbuilding domestik serta Rp28,97 triliun melalui lelang.
"Dalam Nota Keuangan dan RAPBN 2025 juga disebutkan bahwa SDGs Framework yang ada saat ini dimungkinkan pemerintah menerbitkan sukuk dengan tema sosial, green maupun instrumen tematik seperti Blue Sukuk/Bonds maupun tema lainnya," jelas dia.
Oleh karenanya, ia mendorong agar tata kelola dan efektivitas pembiayaan hijau, seperti Green Sukuk atau Green Bond, berdampak positif pada sektor ekonomi dan pencapaian target penurunan emisi GRK.
Pemerintah juga perlu mengukur berbagai risiko kebijakan pembiayaan untuk memastikan APBN dapat dikelola secara berkelanjutan, dengan mendorong transparansi dan akuntabilitas.
Masukan & Hal Perlu Diperhatikan Prabowo-Gibran
Di luar dari pembiayaan berkelanjutan, Yudha Permana menekankan bahwa salah satu fokus utama yang perlu diperhatikan oleh pemerintahan Prabowo-Gibran ke depan adalah pengembangan investasi hijau.
Pasalnya, investasi hijau merupakan kunci untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan pada 2030 dan mencapai emisi nol pada 2050.
"Sayangnya, hingga saat ini, perencanaan khusus mengenai investasi hijau di tingkat daerah masih minim," kata dia.
Ketidakpastian dalam perizinan dan regulasi, serta kekurangan peraturan khusus tentang investasi hijau, menurutnya masih menjadi tantangan.
Data dari Prospek Transisi Energi Indonesia (IETO) menunjukkan bahwa realisasi investasi hijau untuk energi terbarukan belum memenuhi target yang diharapkan.
Pemerintah daerah, kata Yudha, sejauh ini juga belum menyusun perencanaan terperinci untuk investasi hijau. Perencanaan tersebut masih digabung dalam dokumen umum seperti Rencana Pembangunan Jangka Panjang dan Menengah Daerah (RPJPD/RPJMD).
Dalam hal anggaran, alokasi khusus untuk investasi hijau juga belum terlihat, dengan anggaran tersebut seringkali tersirat dalam program lain. Namun, Jawa Tengah menurut Yudha, menjadi contoh positif dengan skema kemitraan untuk pembiayaan transisi energi.
Sementara di tingkat pusat sendiri, perencanaan untuk investasi hijau masih terbatas pada regulasi yang ada, seperti Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2012 dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Industri Hijau, serta Kesepakatan Paris 2015.
Anggaran khusus untuk implementasi investasi hijau pun belum tersedia dan saat ini bergantung pada anggaran kementerian dan lembaga melalui APBN dan sumber lainnya.
"Kami telah mengidentifikasi beberapa faktor kunci untuk mendukung investasi hijau, termasuk dukungan politik dari pimpinan daerah, ketersediaan sumber daya alam, dan dukungan dari pimpinan perusahaan," jelas dia.
Untuk itu, Yudha sendiri merekomendasikan agar peta jalan investasi hijau dimasukkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang dan Menengah Nasional (RPJPN dan RPJMN). Selain itu, Rancangan Undang-Undang (RUU) Perubahan Iklim dan RUU Masyarakat Adat juga harus menjadi prioritas dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas).
Dengan berhasilnya penerapan ekonomi hijau di Indonesia, maka diharapkan akan terjadi penurunan emisi hingga hampir 100 miliar ton CO2e. Di sisi ekonomi, ekonomi hijau dapat memberikan kontribusi signifikan terhadap pertumbuhan produk domestik bruto, dengan rata-rata pertumbuhan 6,1-5,5 persen per tahun hingga 2050.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Bayu Septianto