tirto.id - Presiden Joko Widodo (Jokowi) menekankan kembali urgensi transisi energi dan pentingnya upaya keberlanjutan dalam menyelesaikan masalah iklim. Jokowi juga mengingatkan, upaya menyelesaikan masalah iklim tidak boleh mengorbankan kepentingan rakyat kecil.
Mantan Wali Kota Solo itu mendorong pendekatan kolaboratif antara negara maju dan negara berkembang untuk mencapai emisi nol bersih pada 2050 bagi banyak negara di dunia dan 2060 bagi Indonesia. Ia menerangkan, masalah iklim juga harus diselesaikan dengan pendekatan kemanusiaan.
"Karena ekonomi hijau bukan hanya tentang perlindungan lingkungan. Bukan hanya itu. Tapi juga tentang bagaimana menciptakan kesejahteraan bagi rakyat, kesejahteraan yang berkelanjutan bagi rakyat," tegas Jokowi, saat membuka acara Indonesia International Sustainability Forum (ISF), di Jakarta Convention Center (JCC) Senayan, Jakarta, Kamis (5/9/2024).
Selain itu, mantan Gubernur Jakarta itu juga menekankan bahwa masalah iklim tak akan bisa selesai selama dunia masih berupa menyelesaikannya dengan pendekatan ekonomi, apalagi masing-masing negara juga hanya menghitung keuntungan mementingkan egosentrisnya sendiri-sendiri.
"Saya ingin menyampaikan soal betapa berbahayanya perubahan iklim, soal betapa mendesaknya transisi energi, soal betapa pentingnya keberlanjutan," ujar dia.
Pada kesempatan ini, Jokowi juga meminta negara-negara di dunia untuk tidak meragukan komitmen Indonesia dalam mencapai net zero emission dan berkontribusi bagi penciptaan dunia yang lebih hijau. Komitmen itu terlihat dari telah dibangunnya Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Agung yang memiliki kapasitas 192 megawatt (MW) dan menjadikannya sebagai pembangkit listrik tenaga surya terbesar di Asia Tenggara serta ketiga di dunia.
Pada saat yang sama, Indonesia juga memiliki potensi energi mencapai lebih dari 3.600 gigawatt dan luas tutupan hutan sebesar 3,3 juta hektar yang mampu menyerap karbon 8-12 kali lebih baik dibandingkan hutan hujan tropis.
"Ini yang banyak orang tidak tahu. Indonesia memiliki kawasan industri hijau seluas 13.000 hektare. Ini juga salah satu yang terbesar di dunia," imbuhnya.
Akan tetapi, semua potensi itu tidak akan memberi dampak signifikan bagi percepatan penanganan dampak perubahan iklim selama negara maju tidak berani berinvestasi di Indonesia. Selain itu, potensi jumbo itu juga hanya bisa dimaksimalkan ketika ada riset dan teknologi dibuka secara luas.
"Dan selama pendanaan tidak diberikan dalam skema yang meringankan negara berkembang. Ketiga hal itu penting menjadi catatan kita semuanya. Dan Indonesia sangat terbuka bermitra dengan siapapun untuk memaksimalkan potensi bagi dunia yang lebih hijau, untuk memberikan akses energi hijau yang berkeadilan, untuk mendorong pertumbuhan ekonomi inklusif dan berkelanjutan," tutur suami Iriana Widodo itu.
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Andrian Pratama Taher