tirto.id - Implementasi pajak karbon di Tanah Air menjadi pekerjaan rumah bagi calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres) yang berlaga dalam Pilpres 2024. Setelah dua kali tertunda, pajak karbon yang sudah digaungkan sejak 2021 tersebut diperkirakan baru akan diberlakukan pada 2025.
Pengenaan pajak karbon telah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Sementara, ketentuan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban Wajib Pajak diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 50 Tahun 2022 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan.
Regulasi tersebut menetapkan tarif pajak karbon sebesar Rp30 per kg CO2 ekuivalen atau lebih rendah dari yang diusulkan sebesar Rp75 per kg CO2 ekuivalen.
“Karena pajak karbon itu, kan, diatur di undang-undang mengenai perpajakan 2021 yang lalu. Bagaimana itu akan diimplementasikan?" ujar Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, saat dihubungi reporter Tirto, Kamis (18/1/2024).
Fabby menuturkan, kebijakan pajak karbon saat ini harus dibenahi oleh pemimpin selanjutnya. Misalnya, apakah pajak karbon itu akan diberlakukan untuk seluruh sektor ekonomi atau apa yang menjadi prioritas dalam jangka pendek dan menengah.
“Bagaimana memastikan pajak karbon itu juga mendorong inovasi dan upaya-upaya untuk menurunkan emisi tapi juga pada saat yang bersamaan memastikan daya saing industri kita itu hal-hal yang perlu dipahami,” ucap dia.
Selain itu, desain penerapan instrumen pajak karbon juga mesti dipikirkan oleh para capres dan cawapres. Sebab, negara-negara lain sudah lebih dulu melalui proses yang cukup panjang untuk mendesain instrumen tersebut.
“Menurut saya agak ambisius dan cepat. Ekosistemnya belum terbentuk tetapi kemudian tiba-tiba pemerintah sudah buka bursa karbon. Di mana lebih banyak yang dijual sementara kewajiban untuk menurunkan emisi itu tidak menjadi mandatory,” ucap Fabby.
Meskipun Bursa Karbon Indonesia telah diluncurkan pada September 2023, pemerintah agaknya masih berhati-hati untuk seirama memberlakukan pajak karbon. Mengingat, kata Fabby, perdagangan di bursa karbon saat ini masih cukup minim sejak diluncurkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).
“Suplai banyak tidak ada demand. Kan bursa itu ada demand. Menjadi pertanyaan apa yang menjadi tujuan pembentuk bursa itu sebenarnya?” ujar dia mempertanyakan.
Dia menilai, kebijakan pajak karbon mungkin tidak dipersiapkan cukup baik oleh pemerintah. Maka, ini menjadi pekerjaan pemerintah selanjutnya untuk segera mengimplementasikan kebijakan tersebut.
“Sampai hari ini saya belum pernah mendengar pemerintah mengevaluasi dan melakukan revisi terhadap aturan yang dibuat,” pungkas dia.
Apa yang Akan Dilakukan Ketiga Paslon?
Juru bicara Timnas Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (AMIN), Irvan Pulungan, mengatakan implementasi pajak karbon memang perlu kehati-hatian. Anies dan Muhaimin alias Cak Imin sendiri melihat pajak karbon sebagai peluang dan tantangan.
“Dalam konteks peluang tentunya dia menjadikan thor of income baru atau pendanaan baru untuk aksi mitigasi perubahan iklim,” ujar dia saat dihubungi Tirto, Kamis (18/1/2023).
Bagi pasangan nomor urut satu, kata Irvan, upaya implementasi pajak karbon harus diatur perundang-undangannya dan tata kelolanya. Hal ini berkaitan dengan bagaimana ke depan proses pemungutan pajaknya melalui tata kelola yang baik.
Masalahnya, kata Irvan, tantangan saat ini juga ada banyak dari sisi penerimaan pajak. Utamanya dalam hal pajak-pajak konvensional perlu ada strategi komunikasi yang baik untuk bisa mendorong semua pihak baik yang akan menjadi wajib pajak atau penerima manfaat dari karbon tersebut.
“Menurut saya untuk pajak karbon selain tadi masih sepi perlu ada peraturan tidak hanya bicara kewajiban. Tapi juga bagaimana meningkatkan kemampuan para sektor bisnis konsultan dan auditornya,” ucap dia.
Sementara bagi Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, ada beberapa hal yang ingin didorong dalam implementasikan pajak karbon supaya lebih maksimal. Ketua Umum Rakyat Pro-Gibran Milenial Z (RPGM), Maulidan Isbar, menyampaikan salah satu upaya pertama, Prabowo-Gibran berencana untuk mempercepat dekarbonisasi guna mencapai target emisi netral.
Kedua, Prabowo-Gibran ingin mengembangkan ekosistem yang mendorong pemanfaatan dan pengembangan sumber daya alam yang terkait dengan penyerapan karbon dan offset karbon. Ini tentunya untuk mendukung pencapaian target emisi netral dan memanfaatkan peluang ekonomi hijau.
Ketiga, Prabowo-Gibran akan melanjutkan program penghentian penggunaan pembangkit listrik tenaga batu bara dengan berlandaskan pada prinsip keadilan dan keseimbangan. Keempat, Prabowo-Gibran akan meneruskan program biodiesel dan bio-avtur berbasis kelapa sawit.
Terakhir atau kelima, Prabowo-Gibran akan mengembangkan bioetanol dari singkong dan tebu, sekaligus mendukung kemandirian dalam produksi gula, serta mengembangkan sumber-sumber energi hijau alternatif, khususnya energi air, angin, matahari, dan panas bumi.
Di sisi lain, Juru bicara muda Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar-Mahfud, Gifari Shadad Ramadhan, menyampaikan pihaknya akan mengedepankan prinsip yang adil dan bijak dalam mengimplementasikan carbon emission tax. Sebab implementasi ini berkaitan dengan banyak pihak,
Oleh karena itu, kata dia, pertama paslon Ganjar-Mahfud bakal menyempurnakan regulasinya yang sudah diatur dalam UU 7 Tahun 2021 Tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) dan Peraturan Presiden No. 98 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi.
Regulasinya juga harus disesuaikan dengan karakter bisnis dan kultur di Indonesia, jangan sampai niat mulia yang bertujuan untuk mengurangi emisi karbon ini menjadi back fire bagi pelaku bisnis dan masyarakat Indonesia.
Peraturan yang dibuat harus seimbang antara kewajiban pemerintah, pelaku usaha, dan juga masyarakat. “Di mana pemerintah harus menyediakan ekosistem seperti infrastruktur, tools, dan aplikasi yang mudah digunakan oleh semua pemangku kepentingan terkait carbon tax,” ujar dia kepada Tirto, Kamis (18/1/2024).
Ia mencontohkan, bagaimana melakukan perhitungan karbon dari berbagai aktivitas bisnis. Kemudian perlu adanya lembaga pengakuan/sertifikasi karbon yang tersedia dan murah (bukan lembaga yang di-endorse oleh luar negeri).
Dalam masalah ini, tentunya pemerintah juga bertanggung jawab untuk melakukan sosialisasi, mengampanyekan dan mengawasi implementasinya dengan melibatkan civitas akademika di setiap provinsi Indonesia.
“Tujuan mulia terkait dengan penanganan karbon ini harus dijalankan dengan seimbang, sehingga tidak membebani pelaku usaha dan pemangku kepentingan lainnya sehingga berkeadilan bukan menjadi beban dan menguntungkan pihak-pihak tertentu,” kata dia.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz