tirto.id - Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 cukup melelahkan bagi penyelenggara, peserta, partai politik hingga masyarakat. Ini karena tahun lalu menyita waktu semua pihak karena terjadi Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Legislatif (Pileg), hingga Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang menimbulkan sejumlah dinamika politik cukup menegangkan.
“Ini [2024] tahun melelahkan ya,” ucap Pakar Hukum Tata Negara, Feri Amsari, mengawali perbincangan kepada Tirto, dalam acara Podcast Four Your Politics, di Kantor Tirto, Jakarta.
Tidak hanya soal kelelahan saja, 2024 menjadi awan kelabu bagi demokrasi di Tanah Air. Isu pelanggaran, kecurangan serta dugaan penjegalan konstitusi yang dilakukan pemimpin berkuasa juga mewarnai gelaran Pemilu 2024.
Feri bahkan menyebut, kerusakan demokrasi kepemiluan akibat Presiden ke-7, Joko Widodo (Jokowi). Jokowi diduga telah mempersiapkan banyak hal yang melanggar konstitusi kita. Mulai dari rencana tiga periode, memperpanjang masa jabatan dengan alasan COVID-19. Dan kecurangan ini bisa dibuktikan dengan anaknya kemudian melanjutkan kekuasaan sebagai wakil presiden.
“Presiden mengakali undang-undang lah, mengakali produk hukum lah, mengakali waktu hari H Pemilu dan Pilkada berdekatan lah dan segala macamnya. Saya agak takut juga menceritakannya walaupun dia sudah lengser ya,” jelas dia.
“Dan memang menurut saya salah satu simpul utama kerusakan demokrasi kepemiluan kita ada di Pak Jokowi. Sorry to say bagi yang ngefans sama Pak Jokowi. Saya juga dulu pernah tersesat di tempat yang sama,” lanjut dia.
Lebih jauh, Feri juga menceritakan detail bagaimana keterlibatan Jokowi dalam pemilu 2024 serta kecurangan-kecurangan pemilu dan mundurnya demokrasi di Indonesia. Bagaimana selengkapnya? Simak petikan wawancara Tirto dengan Feri Amsari:
Apa kabar Uda Ferry? Sedang sibuk apa?
Baik. Alhamdulillah. Sekarang sedang sama teman-teman, barusan launching soal kecurangan pilkada 2024. Kami menyebutnya dengan Pohon Kecurangan Pilkada 2024.
Bagaimana uda melihat dinamika politik di tahun 2024?
Ini tahun melelahkan ya. Semua orang kelelahan tidak hanya penyelenggara yang disibukkan dari 2023 hingga akhir 2024 ini, tetapi tentu saja juga peserta, terutama teman-teman partai politik dan tentu publik sendiri kelelahan. Itu sebabnya kita bisa lihat ya dari angka turnout yang cukup tinggi di Februari 2004 di Pilpres 83,6 persen menjadi sangat jauh ya di banyak daerah, bahkan ada yang hanya 50 persen sekian-sekian ya. Termasuk juga teman-teman di Jakarta yang dianggap sebagai pemilih kritis.
Tentu ini bukan indikasi bahwa Pilkada sudah jadi bermasalah karena tingkat keikutsertaan dalam pemilu itu turun. Tapi ini semua melelahkan karena memang waktunya yang sangat sempit dan bagi kita memang ada problematika penentuan hari pemilu presiden pileg dengan Pilkada.
Kemudian catatan pentingnya apa dari Uda Ferry?
Masih banyak kecurangan. Itu membuat sedih ya karena di Pilpres kita sudah ingatkan subjek-subjek apa saja yang menjadi pelaku kecurangan dan bagaimana kecurangan dilakukan. Itu lebih mirip repetisi yang terjadi di Pilkada juga.
Cuma memang yang menyenangkan publik punya daya pemahaman tambahan ya. Begitu teman-teman menyuarakan bahwa kecurangan itu berlangsung dengan pola-pola yang sama dan pelaku yang sama, ya respon publik juga cukup baik ya untuk mengetahui apa saja problematika Pemilu kita.
Tapi mungkin itu sama Uda Ferry dimasukin ke dalam Pohon Kecurangan Pilkada. Sebenarnya secara garis besarnya isinya soal apa?
Kan kalau di Pilpres kita memperkenalkan beberapa hal yang cukup baru sebenarnya ini keilmuannya lama saja cuman kita lebih menyesuaikan konteks Indonesia. Waktu Pilpres itu kita perkenalkan politik kotor yang bernama ‘Gentong Babi’. Di mana uang negara dipakai untuk kepentingan politik yang kita bahasa Indonesia kan jadi politik Gentong Babi. Dan itu membuat kesadaran publik lumayan ya terutama kalangan menengah terdidik yang melihat ini politik tidak sehat
Kita juga memperkenalkan peta kecurangan pemilu untuk memberikan gambaran kecurangan itu masif terjadi. Jadi bisa dilihat dalam sebuah peta. Nah kali ini kita sebut dengan Pohon Kecurangan Pilkada, itu sebenarnya ilmu audit forensik dalam dunia bisnis. Jadi di dunia bisnis itu untuk mengetahui apakah bisnis dijalankan dengan baik atau curang bisa dilihat pohonnya. Pohonnya itu bergantung pelaku, tindakannya apa begitu dilihat kita bisa lihat alur kecurangan dan mengetahui bagaimana kecurangan dilakukan.
Itu kita terapkan di Pilkada karena ada aktor-aktor tertentu lalu kita telusuri proses tindakannya dari nama-nama aktor. Dari sana kita bisa mengetahui ternyata kecurangan itu berlangsung dengan mirip seperti pohon lah. Jadi ilmu teman-teman forensik akuntan kita pakai untuk mendeteksi kecurangan Pilkada.
Tapi mungkin bisa kilas balik juga ya, ini kan Uda Ferry juga waktu itu bikin Dirty Vote karena itu soal juga proses yang kita pemilu yang waktu itu bermasalah juga. Tapi ternyata yang dalam film dokumenter itu disebutkan bahwa ada kecurangan tapi ternyata tidak terbukti waktu di pengadilan. Ini sebenarnya apakah ada celah hukum atau aturan yang mesti diperbaiki pada akhirnya?
Tidak terbukti karena yang mengajukan permohonan-permohonan kan bukan kami. Kalau kami pasti menang. Karena sebenarnya kalau dijelaskan secara ilmu kepemiluan mudah kok membuktikan kecurangan itu. Cuma di MK karena mungkin, saya enggak tahu ya, saya tidak merasa bahwa ada kesengajaan kalah. Tetapi yang saya lihat tidak betul-betul serius membuktikan kecurangan tersebut.
Misalnya di dalam konsep kepemiluan membuktikan Gentong Babi ya politik Gentong Babi itu tidak dengan cara membuktikan si A dapat politik Gentong Babi, lalu dia mengubah pilihannya dari si X menjadi si Y. Itu bukan begitu cara pembuktiannya. Pasti sulit kan? Bukan begitu cara pembuktiannya. Cara pembuktian Gentong Babi gampang. Ada uang negara dipakai di tahun politik dan dijalankan di saat-saat masa politik, itu sudah Gentong Babi itu. Bukti nyata Gentong Babi.
Jadi uang Gentong Babi itu memang sah ada. Tapi karena diturunkan di masa politik itulah Gentong Babi. Basis kenapa disebut Gentong Babi itu kan karena perbudakan. Tuan pemilik tanah untuk membujuk rayu para budak agar terus bekerja tanpa digaji, itu diberikan Gentong Babi yang awet-awet itu. Nah si budak akan merasa, ah tuan tanahku baik loh ngasih daging babi gratis. Padahal gara-gara pemberian gratis itu mereka tidak digaji, mereka disiksa, dan segala macam.
Nah konsep itulah yang kemudian di dalam ilmu politik kepemiluan dikenal sebagai upaya mencoba menggunakan sesuatu untuk mendapatkan yang lebih besar. Jadi ini uang negara sudah ada. Bansos itu kan pasti ada. Tapi digunakan dekat-dekatan politik. Makanya sama tuh di Pilpres menjelang Februari itu marak sekali ya.
Nah di Pilkada juga begitu. Di Pilkada bahkan ada beberapa daerah tanggal 26 November, sehari sebelum tanggal 27, masih menyerahkan Gentong Babi. Ada orang yang menggunakan tas biru di dalamnya Bansos. Nah itu bagian dari konsep Gentong Babi. Itu sudah terbukti.
Jadi kita waktu itu mengetahui kok ritme penyerahan bansos ya, kenapa diserahkan sebelum hari H Pilkada kan aneh. Padahal bisa kok jadwalnya setelah tanggal 27. Nah itu memang tujuannya, motifnya penyalahgunaan keuangan negara untuk kepentingan politik. Nah itu cara membuktikan Gentong Babi.
Kemarin juga aneh kan, itu empat menteri di dalam Pilpres itu ngapain disana sebagai pihak pemberi keterangan lain. Nggak ada istilah itu dalam dunia pengadilan. Yang ada itu saksi, ahli gitu, para pihak prinsipal, orang yang digugat dan segala macam. Nah mereka itu kan orang yang terlibat langsung melakukan, harusnya disebut saksi. Tapi konsekuensi saksi harus disumpah. Makanya kemudian ada peristilahan sebagai pemberi keterangan lain. Nah ini yang kemudian menurut saya aneh dan seharusnya pihak-pihak menyuarakan di sidang.
Ada juga orang bilang, ah orang Dirty Vote ngomong-ngomong doang. Kalau berani jadi ahli doang menjelaskan kecurangan di sana, ya orang nggak ada yang mengundang.
Berarti masalahnya bukan di aturannya, tapi upaya pembuktiannya?
Pembuktiannya. Bagi saya kalau di sidang itu kalau pembuktiannya terang beneran, walaupun hakim mau memutus aneh-aneh ragu mereka itu. Karena seluruh mata kan melihat. Karena sidang berlangsung terbuka dan dibuka untuk umumkan.
Kemudian apa yang perlu diperbaiki dari semua ini?
Yang diperbaiki paling penting adalah partai politik dan para politisinya. Karena semua sistem itu punya kelemahan. Tapi niat politisinya agar republik ini lebih baik, agar pertarungan politik itu fair, ya aturan mainnya juga harus fair. Politisi kita itu kadang-kadang dia tahu dia curang dan merasa bangga dengan kecurangan.
Kan bisa dilihat ya, ada orang yang sudah langser, ngakunya mau istirahat tapi turun juga. Jadi kelihatan sebenarnya politisi kita itu tidak punya pembatasan etika yang kemudian harusnya mereka pegang. Kalau sudah sampai ke jabatan tertinggi, ya sudah. Karena sejarah akan terus mengingatnya sebagai presiden.
Tapi kalau dia mencoba menggunakan powernya, melanggengkan kekuasaanya, yang dirimu sebut sebagai politik dinasti, dinasti politik, saya dan teman-teman tidak pernah anti anak keturunan yang terlibat dalam politik. Biasa saja. Tapi cara-caranya yang salah. Kalau sampai mengubah undang-undang, pakai peradilan, ya itu yang tidak benar.
Kemudian apakah seharusnya ada konsolidasi dengan masyarakat juga? Gimana caranya memperbaiki?
Masyarakat kayaknya punya kesadaran yang baik, ya. Lama-lama makin baik. Kan Garuda Biru membuktikan masyarakat kita itu sangat peduli. Begitu pengadilan sudah memutus secara adil, bahwa kami ya dulu bersalah karena meloloskan sang kakak. Sekali ini sang adik nggak boleh. Itu tebusan dosa pengadilan, menurut saya.
Begitu pengadilan sudah berjalan di track-nya, politisi masih mau nakal dengan mengubah keputusan itu melalui perubahan undang-undang, publik kan marah. Jadi ada kepedulian. Kepedulian ini yang perlu dijaga dengan secara terbuka kita menyampaikan hal-hal yang bisa menjadi bagian pendidikan politik. Dan banyak hal yang perlu dibuka ke publik yang menurut saya itu akan membangun kesadaran mereka. Semakin peduli publik dengan politik, semakin sadar mereka, semakin baik politik kita. Tinggal ya para politisinya aja dibenahi.
Tapi uda melihat nggak sih pola-pola atau mungkin taktik-taktik praktik yang sama di Pilkada serentak seperti di Pilpres?
Sebenarnya, satu hal waktu Pilpres 2024, saya dan teman-teman mungkin agak menyesal juga tidak mengeluarkan datanya secara lengkap. Kalau di Dirty Vote itu kan dijelaskan peran teman-teman kepolisian ya, yang masuk ke institusi sipil dan kemudian memegang peran untuk mengendalikan permainan kecurangan.
Sebenarnya kami punya data kok. Dari awal, Pak Sigit, Pak Jokowi sudah berupaya menampatkan figur-figur polisi di titik-titik tertentu untuk mengendalikan permainan. Tapi waktu itu mikir, kalau ini dibuka ke publik, tentu yang dilakukan teman-teman polisi adalah menahan kami. Waktu itu itu asumsinya. Sementara data yang lain untuk pendidikan politik publik dalam film itu perlu disampaikan ke publik. Jadi daripada ribut di satu sisi yang merusak data, waktu itu kami skip lah data itu ya. Tapi menjelaskan ada kok peran polisi ya. Dan istana di dalam itu dan segala macam.
Nah hari ini semakin marah peran teman-teman kepolisian, teman-teman ASN, kepala desa, camat, dan segala macam yang kurang lebih sama persis dengan yang terjadi kemarin. Kalau tadi kami mengeluarkan peta kecurangan Pilkada, itu di tiga daerah ya. Itu tiga daerah itu coklat semua isinya diantaranya Jawa Tengah, Banten, dan Jakarta.
Jakarta lebih banyak peran-peran Pak Jokowi menjelang akhir tugas kemarin. Sebelum lengser keprabon tanggal 20 Oktober, Pak Jokowi itu sudah mengganti PJ Gubernur DKI kan. Nah lalu ada Sekda baru. Lalu menjelang tanggal 27 November, PJ Gubernur Pak Jokowi itu mengganti 12 camat. Dan jumlah angka daftar pemilih tetap yang mereka kelola, 1,5 juta. Itu hanya terbantu upaya itu karena publik Jakarta sangat peduli, cukup aware ya. Angkanya turun, tapi mereka peduli dengan Pilkada.
Jadi agak sama persis. Di Banten jauh lebih dahsyat lagi. Teman-teman kepolisian itu mengeluarkan indeks kerawanan Pilkada versi mereka sendiri. Padahal kan Bawaslu juga mengeluarkan indeks kerawanan. Harusnya polisi kan ikut indeks kerawanan versinya Bawaslu. Tapi mereka buat sendiri. Tapi tujuannya adalah polisi jadi punya alasan kenapa saya turun di tempat itu. Karena indeks kerawanan milik saya sendiri.
Itu kita deteksi banyak juga. Ada pembagian tertentu juga. Mereka menyebut cooling system. Jadi di cooling system itu ada pembagian sembako, pembagian ini itu, acara ini itu, yang memperlihatkan polisi berpihak. Data kita bahwa ada perintah-perintah tertentu yang mengatakan nanti jangan lupa pilih paslon ini. Nah itu dilakukan oleh aparat-aparat tertentu berdasarkan informasi publik yang kami kumpulkan dan data apa yang dilakukan oleh teman-teman polisi.
Itu juga teman-teman ASN banyak sekali. PJ Kepala Daerah diganti, lalu Sekda diperintahkan, ada Kepala Desa yang diperintahkan, ada Camat juga diperintahkan, ada program Bansos. Jadi sama sih sebenarnya apakah ini tidak terjadi perubahan? Ada berupa kesadaran bahwa ini tidak benar, tetapi sebagian publik masih enggan memberikan penolakan.
Karena kan gini, dalam istilah fraud tree itu ya, pon kecurangan itu ada istilah yang namanya rasionalisasi. Jadi pelaku kecurangan dan penerima kecurangan itu merasionalisasinya. Kalau pelaku kecurangan bilang begini, paslan lain juga melakukan. Masa kami tidak lakukan? Nah penerima juga melakukan rasionalisasi. Kalau kita tidak terima, kita rugi nih. Itu masih ada di sana. Walaupun mereka sudah timbul kesadaran bahwa ini tidak benar.
Jadi ini memang proses tahapan yang harus kita lalui untuk pendidikan warga kita. Tapi kalau diumumin terus, lama-lama kan malu sendiri ya. Misalnya kami sudah berencana kalau 5 tahun ke depan akan diumumkan, kecamatan ini, desa ini, penerima bansos terbanyak menjelang Pilkada, artinya menerima suap politik. Tapi itu ke depannya.
Itu akan dilakukan nggak sih ke depannya?
Ya kami berpikir gitu untuk juga mengkritik warga yang menerima hal-hal yang sebenarnya merugikan politik kita. Tapi kan politisi kan pintar ya. Dia tahu betul rakyat butuh yang tingkat apa namanya kesejahteraannya rendah disana tuh di guyur semua.
Apakah menurut uda Bawaslu juga nggak berdaya menghadapi partai coklat ini?
Iya pastilah. Sebenarnya di Bawaslu kan ada sentra Gakkumdu (Sentra Penegakan Hukum Terpadu). Di dalamnya ada Bawaslu Polisi Jaksa. Tapi selama ini perannya tidak pernah maksimal. Sudah ada pelaporan tidak ditindaklanjuti.
Kalau saya mau kasih gambaran ini menarik nih. Untuk menunjukkan bahwa Bawaslu perannya gitu-gitu doang. Misalnya ada satu orang mendatangi presiden berempat gitu ya. Bukan satu orang berempat. Presiden masa lalu pasangan calon dua orang dan presiden sekarang gitu ya. Tiba-tiba keluar video kampanye. Lalu alasan Bawaslu itu bukan kampanye karena dibuat di hari libur gitu ya. Jadi presiden tidak bisa dihukum karena itu. Jadi ada presiden di hari biasa, weekdays dan ada non-presiden di weekend gitu ya.
Nah itu kan kalau terjadi bencana gimana ya kalau presiden bilang saya sedang libur gitu ya. Padahal dia kepala pemerintah. Dan Bawaslu pakai pasal yang salah. Pasal 70 itu Undang-Undang Pilkada dimana ya cocok lah itu ya untuk menjelaskan bahwa presiden tidak melanggar. Padahal menurut kami bukan itu pasalnya. Pasal yang tepat untuk memberikan sanksi Pak Prabowo adalah pasal 71 Undang-Undang Pilkada yang menyebutkan pejabat negara tidak boleh mengeluarkan tindakan dan kebijakan yang merugikan atau menguntungkan salah satu pasangan calon.
Siapa pejabat negara? menurut penjelasan Undang-Undang itu yang dikaitkan dengan Undang-Undang ASN pejabat negara adalah titik dua satu presiden. Nomor satunya presiden. Nah kalau pasal 71 dipakai ya pasti kena. Unsurnya akan terpenuhi semua. Nah yang aneh kok Bawaslu pakai pasal 70. Dugaan kami Bawaslu itu hanya pakai pasal yang akan menghindarkan presiden dapat sanksi gitu ya. Dan itulah gaya Bawaslu bagaimana kemudian pengawasan itu jadi aktif.
Berarti ini juga bisa dibilang ada celah hukum juga dong presiden bisa ikut berkampanye gitu?
Hukum itu dan soal etika juga. Iya hukum itu pasti banyak celahnya yang namanya buatan manusia dan penyelenggaranya juga manusia, aparatnya juga manusia yang bisa dicari celahnya. Pasal yang seharusnya dikenakan dicari pasal lain gitu ya.
Ini ada ungkapan satu ahli hukum namanya Taverne dia bilang kasih saya undang-undang terburuk asal aparat hukumnya baik saya benahi hukum di negara ini. Ya sama juga itu untuk menjelaskan bahwa undang-undang itu benda mati, orang hukumnya kalau punya nurani benar itu hidup benda mati itu. Tapi kalau hukumnya sehebat apapun tapi hati nurani penyelenggaranya, mati undang-undangnya hukumnya juga mati dan itulah yang terjadi di pemilu dan Pilkada kita.
Tapi boleh dibilang nggak sih kecurangan ini tuh terjadi karena Presiden Jokowi bahkan jauh sebelum lengser gitu?
Oh iya dari dulu presiden sudah mempersiapkan banyak hal yang melanggar konstitusi kita. Rencana tiga periode lah, memperpanjang masa jabatan lah dengan alasan Covid perlu perpanjangan lah gitu ya. Nafsu betul ingin memperpanjang masa jabatan dan itu sekarang bisa dibuktikan dengan anaknya kemudian melanjutkan kekuasaan itu.
Presiden mengakali undang-undang lah, mengakali produk hukum lah, mengakali waktu hari H Pemilu dan Pilkada berdekatan lah dan segala macamnya. Termasuk mengatur ritme permainan kan sudah diceritakan di banyak podcast juga ya bahwa bawa Pak Ganjar ke 03 nanti ditinggalin dia ternyata ke 02. Seolah-olah banyak macam-macam lah cerita peran Pak Jokowi ya.
Saya agak takut juga menceritakannya walaupun dia sudah lengser ya. Tapi peran itu luar biasa masih banyak melibatkan banyak pihak yang parcok, yang tidak parcok melibatkan gitu ya. Dan memang menurut saya salah satu simpul utama kerusakan demokrasi kepemiluan kita ada di Pak Jokowi. Sorry to say bagi yang ngefans sama Pak Jokowi. Saya juga dulu pernah tersesat di tempat yang sama.
Terlihatnya pas di periode-periode awal atau mungkin udah di periode 2 gitu?
Iya tentu upayanya di periode kedua semua ya untuk melanggengkan kekuasaan.
Karena periode satu masih aman ya?
Ya namanya orang baru ya masih bicara yang baik-baik walaupun juga tetap tidak maksimal ya. Dan kita tahu bahwa di periode pertama yang terakhir itu di bulan November, Desember 2019, beliau malah membunuh KPK kan? Padahal kalau KPK-nya bagus, baik Pemilu ini pasti lumayan dipantau oleh KPK apalagi Pilkada.
Kembali lagi kita ke gelaran Pilkada. Sekarang partisipasinya menurun. Sebenarnya kalau menurut uda itu kenapa sih apa yang bisa yang membuat partisipasi Pemilu kita menurun sekarang?
Ya menurunnya voter turnout itu ya banyak sebabnya ya. Semakin kritis juga warga negara juga angka partisipasi juga akan turun. Kita tuh yang malah aneh ya angka partisipasi kita itu luar biasa betul. Di Pemilu hampir 80-an persen ke atas terus gitu ya. Padahal di banyak negara maju 40 persen ikut itu sudah satu prestasi juga itu. Luar biasa juga apalagi sampai 60 persen.
Nah Obama dulu kalau tidak salah periode pertama sempat 60 persen partisipasi. Jadi partisipasi tidak mengindikasikan bahwa Pemilu tidak baik kalau rendah ya. Sangat baik kalau tinggi gitu ya.
Kecurangan di Pilpres kemarin dengan 83,6 persen bagi saya angka itu kehilangan makna sebagai angka demokratis. Yang perlu diketahui adalah bagaimana publik berperan dalam proses pemilihan.
Saya ambil contoh misalnya ya. Di Jakarta angka tidak sah itu suara-suara tidak sah itu sampai 7,7 persen. Itu sekitar 350 ribu lebih ya. Dan itu tidak menjelaskan bahwa orang tidak paham cara memilih. Orang malah kan dia coblos semua itu. Dan bahkan itu sudah mereka kampanyekan gerakan coblos semua ya. Yang saya pikir itu adalah kesadaran cara publik mengkritik para calon. Kalau nggak ada yang suka ya mereka nggak suka. Tapi mereka gunakan hak pilih mereka. Tapi suaranya tidak sah.
Itu menjelaskan bahwa bukan publik tidak sadar. Makanya cerita soal formulir pemanggilan penggunaan hak pilih C6 itu, itu bukan isu yang terlalu besar dalam proses Pilkada kemarin. Karena seperti Kota Jakarta itu mereka tanpa diundang mereka datang. Karena mereka tahu KTP, paspor bisa digunakan untuk memilih. Makanya nggak soal sebenarnya soal persentase. Tapi tentu penyelenggara harus punya kewajiban untuk kemudian mengkampanyekan, mensosialisasikan agar orang ikut. Makin banyak makin bagus. Karena makin banyak pemilih tingkat kepedulian warga tinggi itu artinya tingkat kepercayaan orang yang dipilih juga akan naik. Jadi nggak itu alat ukurnya. Tapi saya tidak melihat penyelenggara yang betul-betul serius untuk sosialisasi Pilkada kemarin.
Jadi masih jadi PR ya?
Penyelenggara itu banyak. Karena kalau penyelenggaranya masih dipilih peserta, ya nggak mungkin akan lebih baik. Itu kan ibarat kalau MU lawan Manchester City menentukan siapa wasitnya. Nah itu yang terjadi di pemilu kita. Harusnya untuk penentuan wasit yang adil adalah orang yang independen. Wasitnya juga akan independen sehingga permainan enak ditonton. Begitu juga dengan Pilkada kita.
Apakah ini artinya berarti harus dipisah gitu Pilkada, Pilpres, Pileg 2029 nanti?
Kalau putusan MK kan bicara lima kota yang harus stabil gitu ya. Yang harus ada harus ada pemilu presiden dan wakil presiden, pemilu DPR dan DPD. Ini tiga yang sangat penting. Nah yang lainnya bisa dipisah jadi pemilu daerah kan. DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten Kota dengan kepala daerah masing-masing. Nah itu bisa di tahun yang berbeda.
Usulan kami yang banyak teman-teman masyarakat sipil dan akademisi adalah memberikan jarak dua setengah tahun. Pemilu presiden dan legislatif pusat, lalu dua setengah tahun akan ada pemilu pemerintahan daerah yaitu legislatif daerah dan kepala daerah. Kenapa ini digabung dengan kepala daerah? Sebagai salah satu contoh karena kemarin kasihan kepala daerah. Karena teman-teman partai tidak terlalu peduli untuk mengkampanyekan mereka. Karena mereka kan sudah selesai di Pilpres kemarin serentak dengan Pilegnya. Tapi kalau mereka kemudian digabung itu akan jauh lebih maksimal tenaganya dan betul-betul partai tumbuh untuk saling berkampanye.
Itu salah satu gagasannya begitu ya. Tapi bisa juga tetap Pileg dengan lima kota hanya kepala daerah tapi dengan jarak dua setengah tahun.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Anggun P Situmorang