Menuju konten utama

Pilkada 2024 Berakhir, UMKM Tak Dapat Cuan seperti Pilpres

Metode kampanye yang bergeser ke media sosial membuat pengusaha UMKM tak lagi menikmati efek ekonomi dari Pilkada 2024.

Pilkada 2024 Berakhir, UMKM Tak Dapat Cuan seperti Pilpres
Calon pembeli melihat contoh atribut kampanye parpol dan caleg yang dijual di Pusat Grosir Pasar Senen, Jakarta, Senin (26/11/2018). tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Sopyan Rahmatin mulai membuka warung kopinya sejak pukul 06.00 WIB. Sofyan sengaja membuka warung lebih pagi karena tepat hari ini, Rabu (27/11/2024), Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2024 dilaksanakan.

“Tapi memang dari pagi juga sudah ada yang beli. Jadi ada yang ngopi. Kebanyakan ngopi sih” katanya, saat berbincang dengan Tirto, Rabu (27/11/2024).

Meski yang dijajakannya hanya minuman seperti jus, Nutrisari, sampai kopi-kopi instan, ia mampu meraup pendapatan Rp500 ribu dengan membuka warung hingga 16.30 WIB. Ia pun tidak memungkiri bisa mendapatkan Rp650 ribu-Rp700 ribu jika buka hingga tengah malam.

“Bersihnya ya bisa lah Rp350-Rp500 ribu. Karena buat modal belanja itu sekitar Rp200 ribu. Itu juga buat nyetok ulang yang udah pada habis,” lanjut pria umur 62 tahun itu.

Jika dibandingkan hari-hari biasa, pendapatan ini jelas jauh lebih besar. Sebab, di hari-hari biasa dia hanya bisa membawa pulang pundi-pundi sebesar Rp250-Rp350 ribu saja. Padahal, saban hari Sopyan berjualan di Lapangan Megawati, yang terletak persis di seberang kediaman Ketua Umum DPP PDI Perjuangan, Megawati Soekarno Putri, di Kebagusan, Pasar Minggu, Jakarta Selatan sejak pukul 08.00 WIB sampai sekitar 20.00 WIB.

“Jadi, (sejak) zamannya Bu Mega naik jadi Ketua PDI itu udah dagang. Pas momen-momen gini emang ramai. Pilkada, Pilpres (Pemilihan Presiden) itu rame. Apalagi kalau Pilpres, itu bisa dapet Rp1 juta waktu itu,” jelas ayah empat anak itu.

Meski mengalami penaikan pendapatan, namun diakuinya Pilkada tahun ini tak lebih ramai dari Pilkada Serentak 2019 lalu. Tak tahu apa penyebabnya, namun pada saat itu setidaknya dia dapat mengantongi pendapatan kotor hingga Rp800 ribu.

“Yang milih kan juga nggak banyak. (Warga) pendatangnya juga nggak begitu banyak. Kalau (pemilihan) presiden itu kan pendatangnya banyak, jadi hampir nggak muat (lapangannya). Jadi yang beli juga lebih banyak,” sambung warga asli Salatiga, Jawa Tengah itu.

Penurunan omzet saat Pilkada Serentak 2024 dirasakan pula oleh anggota-anggota Asosiasi UMKM Indonesia (Akumandiri). Ketua Umum Akumandiri, Hermawati Setyorinny, mengatakan, dari sekitar 50 ribu anggotanya yang terdata, hanya sedikit yang berhasil mendapat pesanan dalam partai besar. Namun, pesanan itu pun hanya karena tim sukses (timses) dari para pasangan calon (paslon) yang maju dalam Pilkada Serentak 2024 adalah mitra kerja UMKM-UMKM tersebut sejak lama.

“Enggak ada yang gede. Tapi misalnya memang dia udah mitra lama kayak (UMKM) di Makassar itu, dia dapet (borongan). Tapi kan nggak banyak. Hanya karena kemitraan. Maksudnya memang kenalan lama,” jelas dia, saat dihubungi Tirto, Rabu (27/11/2024).

Jika dibandingkan dengan Pilpres di tahun berapa pun, alat peraga kampanye (APK) seperti baliho sampai kaos memang tak begitu besar kebutuhannya. Terlebih, banyak pasangan calon pemimpin daerah disokong atau di-endorse oleh partai politik tertentu pada Pilkada Serentak 2024. Alhasil, pesanan untuk APK dialihkan dari UMKM ke relawan partai yang bersedia menanggung seluruh biaya pembuatan pernak-pernik pemilu tersebut.

Selain itu, seiring dengan perkembangan teknologi dan masifnya penggunaan media sosial, kampanye pun lebih banyak dilakukan melalui media daring. Hal itu lah yang kemudian membuat pembuatan APK, sampai konser-konser gratis sebagai media kampanye cukup berkurang.

“Apalagi, UMKM ini dampaknya kan memang lebih mikir bersaing dengan produk impor dan memang kondisi barang untuk ongkos produksinya juga kalau beli bahan-bahannya juga lebih tinggi, kan? Jadi misalnya ada order pun tidak bisa menekan harga. Harganya mahal. Itu pengaruh sih,” imbuh Hemawati.

Adapun jika dibandingkan dengan Pilkada tahun 2019, kondisi UMKM sekarang jauh lebih sulit. Dia mencontohkan, lima tahun lalu, tak sedikit dari anggotanya yang mendapat pesanan kaos sampai lebih dari 10 ribu kaos. Hal ini berbanding terbalik dengan kondisi sekarang.

“Jadi kalau yang sekarang memang nggak sih. Aku juga nggak dapat. (Biasanya) orang menyambungkan ke anggota kita. Nggak kayak dulu. Sedih, menurutku sedih. Sudah cara untuk menawarkan kampanye-kampanye itu juga kebanyakan dari media sosial,” ujarnya.

Ekonom Center of Law and Economic Studies (Celios), Nailul Huda, menilai, dampak yang diberikan Pilkada Serentak 2024 kepada perekonomian Indonesia lebih terbatas daripada pilkada-pilkada sebelumnya, apalagi kalau dibandingkan dengan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 atau Pilpres tahun-tahun sebelumnya.

Untuk saat ini, dia menilai nilai tambah ekonomi yang paling besar hanya mengalir ke sektor periklanan atau advertising, terutama yang bergerak di bidang media sosial. Terlebih, sekarang ini penggunaan media sosial sebagai sarana kampanye kian masif. Sedangkan saat Pilpres atau Pileg, dampak ekonomi paling banyak terjadi di sektor konveksi atau pembuatan kaos.

“Untuk Pilkada, heavy ke kampanye digitalnya akan cukup tinggi dibandingkan dengan Pileg (Pemilihan Legislatif). Orang akan lebih mengenal calonnya lewat media sosial. Nah ekonomi dengan penggerak digital yang paling merasakan dampaknya adalah ekonomi di pusat teknologi,” jelas Huda, kepada Tirto, Rabu (27/11/2024).

Jika mengacu pada kisaran biaya yang dikeluarkan oleh calon kepala daerah (cakada) sebesar Rp20-100 miliar di 2020 yang merupakan hitungan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tampaknya ada penaikan hingga 25 persen di pusat-pusat teknologi. Artinya, jika tiap cakada bisa menghabiskan Rp25 miliar di tingkat kabupaten dan pilkada kota madya bisa mencapai Rp40 miliar.

“Gubernur bisa lebih Rp100 miliar. Sangat tinggi memang,” imbuh Huda.

Masifnya penggunaan media sosial sebagai sarana kampanye mengakibatkan tak banyak dampak ekonomi yang mengalir ke pengusaha akar rumput. Selain perusahaan periklanan, positifnya dampak Pilkada juga mengalir ke perusahaan-perusahaan seperti TikTok, Facebook, X, dan Instagram yang notabenenya bukan perusahaan dari Indonesia. Sedang untuk perusahaan telekomunikasi, perputaran uang saat Pilkada masuk ke perusahaan operator seperti Indosat, Telkomsel, Excelcom, dan Smart.

“Berbeda dengan pilkada di masa lampau di mana diwarnai dengan kampanye offline, konser musik, iklan di media dan pembagian atribut paslon; pilkada kali ini didominasi oleh kampanye di sosmed dan money politics,” jelas Ekonom dari Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, kepada Tirto, Rabu (27/11/2024).

Kemudian, uang dari politik (money politic) inilah yang lebih banyak mengalir ke masyarakat. Padahal, itu jelas merupakan praktik melanggar hukum.

“Dalam konteks Pilkada, dampak terbesar justru dari praktik melanggar hukum, yaitu money politics dan bagi-bagi sembako. Sayangnya itu yang terjadi baik selama pilpres, pileg, maupun Pilkada,” imbuh dia.

Aktivitas ekonomi ilegal ini, kendati tidak tercatat dalam Produk Domestik Bruto (PDB), tetapi dampak yang ditimbulkannya memang akan menjadi bagian dari PDB. Sebab, uang atau ‘Bantuan Langsung Tunai/BLT’ yang kerap disebut sebagai serangan fajar tersebut bakal digunakan untuk belanja oleh masyarakat.

“Jadi money politics itu seperti money laundry (pencucian uang), asalnya tidak jelas tetapi impact-nya tercatat sebagai bagian dari PDB. Bisa diartikan praktik money politic di Pilpres, Pilkada dan Pileg itu seperti money laundry yang sangat masif,” ujar Wijayanto.

Namun, dampak yang ditimbulkannya hanya sementara. Seperti pepatah lama, “tak ada makan siang gratis”, begitupun dengan uang atau bantuan sosial yang diberikan oknum-oknum nakal dalam pesta demokrasi.

Kata Wijayanto, saat terpilih menjadi petinggi-petinggi negara, orang-orang yang memberikan serangan fajar tersebut akan ‘menagih’ uangnya kembali kepada rakyat. Lima tahun saat mereka menjabat, tagihan akan datang berupa kebijakan-kebijakan buruk yang dirumuskan oleh elite politik dan pejabat culas.

“Jadi, ini seperti gelontoran uang sesaat, yang lalu diikuti dengan extortion (pengambilan uang dari rakyat/pemerintah) selama 5 tahun. Jadi, ini net loss bagi rakyat, bagi ekonomi, tetapi net gain bagi pemenang pilkada dan investor politiknya,” imbuh Wijayanto.

Terbatasnya dampak ekonomi yang ditimbulkan oleh Pilkada Serentak 2024 ini juga diamini oleh Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Dian Ediana Rae. Menurutnya, meski Pilkada 2024 dapat meningkatkan konsumsi dan kinerja di beberapa sektor seperti UMKM, transportasi, percetakan, akomodasi, makanan, serta hiburan, namun tak akan sebesar yang terjadi saat Pemilu 2024. Dampak Pilkada, lanjut dia, hanya akan mendorong aktivitas ekonomi yang sifatnya temporer dan berbeda-beda di tiap daerah.

“Kampanye calon kepala daerah menciptakan permintaan tambahan yang menggerakkan ekonomi lokal, meningkatkan peredaran uang, dan membuka lapangan kerja sementara,” terang Dian, dalam keterangan resminya, dikutip Rabu (27/11/2024).

Baca juga artikel terkait PILKADA 2024 atau tulisan lainnya dari Qonita Azzahra

tirto.id - News
Reporter: Qonita Azzahra
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Andrian Pratama Taher