tirto.id - Sebuah wilayah tengah masuk masa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2024 dapat ditandai dengan bentangan informasi para kontestan di jalanan. Misalnya, foto atau muatan kampanye yang terpajang pada baliho besar di jalan-jalan protokol. Ukurannya pun beragam.
Selain baliho, spanduk dan rontek bermuatan kampanye pun turut berjejer di jalan perkampungan. Tersemat pada tiang juga pohon. Terkadang sampai saling tumpuk pada satu titik berebut tempat. Ditambah lagi, pemandangan kendaraan yang melintas tertempel stiker tanda dukungan.
Namun, gayengnya masa Pilkada Serentak 2024 ternyata tidak dirasa signifikan mengungkit perekonomian masyarakat. Usaha konvensional, seperti percetakan dan sablon, yang biasa meraup rupiah dalam hajat demokrasi merasa kecele. Harapan mereka untuk panen rezeki justru banyak yang tersapu angin. Ada pun garapan, hanya sedikit yang dikerjakan.
Wahyu Wibowo, General Manager Siap Cetak, mengakui bahwa omzet usahanya mengalami kenaikan pada musim Pilkada Serentak 2024. Namun, panen yang diperolehnya tidak sesuai harapan. Lantaran jumlah pesanan yang masuk terbilang sedikit. Terlebih, jika dibandingkan dengan saat Pilpres 2024 di awal tahun.
“Untuk omzet, memang ada sedikit kenaikan. Tapi jauh dibandingkan dengan pileg dan pilpres kemarin yang sampai 2 kali lipat [dari jumlah garapan di hari biasa],” ungkap Bowo, sapaan akrabnya dihubungi kontributor Tirto pada Kamis (21/11/2024).
Percetakan yang mulai beroperasi sekitar 10 tahun lalu ini biasanya banjir pesanan spanduk. Namun, dalam gelaran Pilkada kali ini, Bowo menilai jumlah pesanan terbilang sepi. “Untuk Pilkada ini terkesan sepi, untuk spanduk yang biasanya permintaan tinggi [kali ini] juga biasa saja,” sebutnya.
Percetakan yang berlokasi di Kapanewon Banguntapan, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) ini menyediakan beberapa pilihan media kampanye. Spanduk menjadi yang paling banyak dipesan. Namun, selain itu, juga ada rontek dan merchandise. “Yang paling tinggi biasanya spanduk, rontek, dan merchandise,” kata Bowo.
Bowo lantas membeberkan catatan kenaikan omzet di percetakan tempatnya bekerja, yang hanya mengalami lonjakan sekitar 15-20 persen saja. Jumlah tersebut jika dibandingkan dengan pesanan yang masuk harian atau pada saat hari normal. Namun jika dibandingkan Pilkada periode sebelumnya, omzet mengalami penurunan sampai setengahnya.
“Kenaikan omzet [Pilkada 2024 dibanding omzet harian] kisaran 15-20%, tapi kalau dari perbandingan [pilkada] sebelumnya ini hanya 30%,” beber Bowo.
Menurunnya omzet di percetakan, kata Bowo, dimungkinkan terdampak oleh kampanye digital. Sehingga pasar konvensional pun beralih ke digital yang banyak bermain di media sosial (medsos). “Perkembangan tren mungkin, lebih efisien kampanye via medsos,” lontar Bowo.
Gayeng Pilkada di medsos, dibenarkan oleh tim relawan salah satu paslon Pilkada Kabupaten Bantul 2024, Butet RSM. Ibu rumah tangga ini mengaku menawarkan partisipasi. “Apa yang bisa saya kerjakan dari jauh. Saya ibu rumah tangga yang kadang nulis ke beberapa media santai, begitu aja sih basic-nya. Karena sevisi, ya why not tergabung di tokoh yang saya sukai,” paparnya pada kontributor Tirto pada Kamis (14/11/2024).
Pengalaman Pahit Pengusaha Sablon
Pengalaman menyakitkan justru dialami oleh pelaku usaha sablon, Aldo. Membuka usaha di jalan Glagahsari, Kelurahan Warungboto, Kemantren Umbulharjo, Kota Yogyakarta, DIY. Saat disambangi, pria 37 tahun ini tengah bersantai di balik tirai gerainya.
Ayah tiga orang anak ini ternyata justru pernah menjadi korban penipuan proyek sablon pada Pilkada 2014. Pengalaman pahit itu membuat Aldo cenderung menghindari pesanan sablon yang berkaitan dengan politik.
“Sekarang saya nggak mau terima lagi kalau ada yang mau pesan [kaos sablon untuk Pilkada]. Nggak akan ada yang beres,” ujar Aldo diwawancarai di gerainya, pada Rabu (20/11/2024).
Aldo menyatakan, dia trauma pernah menerima pesanan sablon untuk kebutuhan politik. Dia tidak mau menyebut nominal, tapi buatnya total pesanan itu besar. “Janganlah sebut jumlahnya. Itu membuka luka lama, trauma saya,” kata dia.
Pria yang mulai bisnis sablon sejak tahun 2008 ini juga menuturkan, bahwa mayoritas pelaku usaha sablon yang tidak kenal orang dalam kerap kena tipu. Dalam masa Pilkada 2024 ini, Aldo mengaku menerima tawaran bahkan bukan hanya dari DIY. Tapi juga permintaan dari Sulawesi. Namun, dia menolaknya. “Pasti menipu, kan tujuan mereka bagaimana mendapat kaos gratis. Kan nanti kaos itu nanti hanya untuk dibagi-bagi,” ucapnya.
Aldo pun mengatakan bahwa bukan cuma dirinya mengalami penipuan. Tapi beberapa kenalannya yang juga memiliki usaha sablon. “Sekarang sudah nggak ada yang berani [terima pesanan sablon politik]. Pilkada Yogyakarta itu, saya banyak yang menawari [meminta pesanan], saya tidak mau. Saya tolak, pasti nggak dibayar,” ucapnya.
Modus penipuan ini, kata Aldo, mengunakan pihak ketiga. Jadi, bukan pemesan langsung yang datang ke tempat sablon. Pihak ketiga yang datang memesan kaos sablon kampanye kemudian membayar uang muka yang jumlahnya sedikit. Setelah pesanan jadi, kaos diantar, tapi uang pelunasan tidak kunjung dibayar. Ketika ditagih ke lokasi justru kantor partai politik atau politikus yang dibuatkan kaos tersebut menyatakan tidak memesan. Bahkan, mengeklaim bahwa tidak kenal dengan pemesanan kaos.
“Apa lagi yang pakai kontrak, lebih berbahaya. Ibaratnya telat satu menit saja kena penalti, dan justru harus bayar ke mereka. Itu sering. Selain aku banyak. Bahkan di Jakarta, kalau nggak bayar lunas nggak berani [ambil pesanan]. Kalau bayar cash, aman,” kata Aldo.
“Belum lagi kalau pakai faktur, fakturnya hilang, pesanan hangus. Tidak bisa klaim pembayaran. Wah itu penjahat semua, mafia,” imbuhnya.
Paceklik Iklan di Media
Pembahasan terkait dampak ekonomi mengingatkan saya pada obrolan lepas liputan uji emisi di Balaikota Yogyakarta. Waktu itu, saya duduk di bawah pohon untuk berteduh. Menemani saya, beberapa media juga turut menyembunyikan diri dari paparan sinar matahari yang menyengat.
Kami bercengkrama tentang kontestasi Pilwalkot Yogyakarta 2024, menebak-nebak mana yang sekiranya kemungkinan unggul. Salah satu di antara kami kemudian menyatakan kalau masing-masing paslon tampak telah memiliki basis pendukung. Indikatornya, adalah baliho yang terpajang pada sekitar wilayah tersebut.
Saya kemudian melempar tanya pada salah satu rekan media cetak, mengapa dia dan rekan-rekan medianya tidak terlihat dalam debat Pilwalkot Yogyakarta. "Kami mengurangi [liputan acara dari KPU]," ujar ayah satu putra itu.
Fotografer yang tidak mau disebutkan namanya ini membeberkan, kalau medianya tidak berkenan dengan nominal yang disodorkan oleh KPU sebagai kerja sama advertorial. "Untuk sekelas Pilkada Serentak, nilainya [nominal advertorial] yang ditawarkan terlalu kecil. Jadi kayak merendahkan," jelasnya.
Rekan media cetak lainnya, justru mengungkap bahwa medianya dapat kesempatan khusus dalam gelaran Pilwalkot Yogyakarta. Tapi bukan advertorial, melainkan sebagai event organizer (EO). "Nggonaku iso, nyekel," sebut lulusan STMM (MMTC) Yogyakarta itu.
Penulis: Siti Fatimah
Editor: Fahreza Rizky