tirto.id - Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhamad Isnur, mengungkapkan kemarahannya usai diundang secara informal oleh Komisi III DPR RI untuk membahas draf Revisi Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Bersama sejumlah organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP, Isnur mengaku terkejut bahwa saat ini revisi KUHAP sudah tersedia dalam bentuk draf, menurutnya hal itu terlalu terburu-buru.
Dia menceritakan bahwa sebelumnya, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP sempat diundang oleh Badan Keahlian Sekretariat Jenderal DPR RI untuk membahas RKUHAP pada Januari 2025. Saat itu pembahasan masih dalam tahap perumusan, namun berselang sebulan kemudian, DPR telah merilis draf RUU KUHAP yang akan menjadi bahan revisi di DPR RI.
"Nah tiba-tiba 6 Februari keluar draf RUU, itu menurut saya sudah mencederai kepercayaan masyarakat lagi-lagi," kata Isnur di Kompleks MPR/DPR RI, Jakarta, Selasa (8/4/2025).
Oleh karenanya, dalam rapat pertemuan dengan Ketua Komisi III DPR RI, Habiburrokhman, Isnur meminta agar suara masyarakat sipil dari berbagai elemen dapat menjadi bahan pertimbangan. Tidak hanya sekedar menjadi syarat formil legalitas pengesahan revisi undang-undang.
"Jangan cuma diundang, tapi sekadar didengarkan doang, tapi enggak ngehasilin apa-apa, tadi kami sampaikan hal seperti itu ke teman-teman," kata dia.
Isnur meminta DPR untuk menjaga kepercayaan masyarakat selama proses pembahasan undang-undang. Dirinya mengaku sempat kecewa dengan DPR karena selama ini abai terhadap suara masyarakat sipil dalam sejumlah pembahasan undang-undang.
"Makanya YLBHI hampir enggak pernah hadir dalam pembahasan undang-undang. Omnibus Law kami enggak hadir, KUHP kami enggak hadir. Kami tahu, karena ini jebakan, gitu," kata Isnur.
Selain itu, Isnur juga meminta pembahasan revisi RUU KUHAP tidak dilakukan di Baleg sebagaimana wacana yang sempat terlontar sebelum dilaksanakannya reses.
Menurutnya, Baleg selama ini hanya menjadi pabrik pembuatan undang-undang demi kepentingan penguasa tanpa partisipasi bermakna dari publik.
"Mereka enggak paham kasusnya seperti apa, selama ini RDPU kasus kekerasan aparat dan lainnya kan ada di Komisi III," kata dia.
Pada kesempatan yang sama, Peneliti di Indonesian Legal Resource Center (ILRC), Siti Aminah Tardi, meminta kepada DPR untuk serius mendengarkan aspirasi publik dalam proses revisi KUHAP. Hal itu dikarenakan produk KUHAP sangat dekat dengan kehidupan masyarakat terutama saat harus berurusan dengan aparat penegak hukum.
Dia juga meminta DPR tidak hanya mendengarkan kepentingan aspirasi para penegak hukum. Namun juga kelompok rentan seperti perempuan, anak disabilitas hingga lansia sehingga memiliki jaminan di hadapan hukum.
"KUHAP itulah yang akan menentukan seseorang dari bebas menjadi tidak bebas, dan juga memastikan keseimbangan kepentingan para pihak," kata Siti Aminah Tardi.
Penulis: Irfan Amin
Editor: Bayu Septianto