Menuju konten utama

Formappi: Pilkada Tetap Mahal Meski Kepala Daerah Dipilih DPRD

Rengekan biaya mahal setiap hajatan pemilu atau pilkada selalu muncul. Benarkah mahal?

Formappi: Pilkada Tetap Mahal Meski Kepala Daerah Dipilih DPRD
Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (FORMAPPI) Lucius Karus memberikan kerterangan pers di Kantor FORMAPPI, di Matraman, Jakarta Pusat, Kamis (22/2/2018). tirto.id/Ahsan Ridhoi

tirto.id - Wacana presiden Prabowo Subianto, yang ingin bupati dan gubernur dipilih DPRD alias tak lagi melalui proses pemilihan umum, mendapat respons dari berbagai pihak. Prabowo melemparkan wacana itu dengan dalih pilkada memakan biaya mahal.

Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, tak menjamin pemilihan bupati dan gubernur lewat DPRD, tak memakan

ongkos mahal. Menurut Lucius, rengekan biaya mahal setiap hajatan pemilu atau pilkada selalu muncul.

Lucius menyebut rengekan politik mahal itu layaknya mantra, yang kerap digaungkan usai pilkada dan pemilu. Ia juga menyinggung pemerintah dan DPR, yang kerap memanjakan penyelenggara melalui anggaran dan fasilitas mentereng.

"Selalu diulang-ulang (rengekan biaya mahal). Padahal, pelakunya masih yang itu-itu juga. Anggaran pun tetap saja membengkak. Pilkada tetap mahal," kata Lucius, saat dihubungi Tirto, Jumat (20/12/2024).

Menurut Lucius, tidak ada studi pasti ihwal biaya pilkada mahal pada pilkada langsung. Pasalnya, menurut Lucius, para calon maupun parpol tak pernah memberikan laporan jelas dan akurat terkait pendapatan dan pengeluaran ketika pemilu atau pilkada.

"Terus, kok, bisa dibilang mahal mulu ini pemilu. Padahal, data dana kampanye mereka enggak gede-gede banget, kan? Atau laporan dana kampanye yang dilaporkan semuanya palsu?" kata Lucius bertanya-tanya.

Ia mengatakan perubahan sistem pemilu dan pilkada khususnya dalam kaitannya dengan anggaran sudah dilakukan selama ini, tetapi tampaknya selalu gagal. Lucius mengatakan penyelenggaraan pemilu serentak itu awalnya untuk alasan efisiensi.

Lucius mengatakan wacana Prabowo itu sejatinya bukan ide baru. Sebab, wacana itu muncul pada 2014, yang konon ditolak Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Saat itu, SBY yang masih menjabat presiden menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu).

SBY saat itu menerbitkan Perpu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota. Perpu itu sekaligus mencabut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota yang mengatur pemilihan kepala daerah secara tidak langsung oleh DPRD.

SBY juga menerbitkan Perpu Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah untuk menghilangkan ketidakpastian hukum di masyarakat. Isi Perpu ini menghapus tugas dan wewenang DPRD untuk memilih kepala daerah.

"Sebenarnya ide yang disampaikan oleh Prabowo soal pemilihan kepala daerah oleh DPRD itu bukan ide baru sama sekali. Nggak perlu juga Prabowo bangga dengan ide itu," kata Lucius.

Lucius mengatakan sebagai ide lama, gagasan pemilihan kepala daerah oleh DPRD itu jelas bukan sesuatu yang brilian dan cemerlang sama sekali. Pasalnya, SBY sempat sampai pusing menghadapi protes publik yang menolak sistem itu diadopsi dalam UU Pilkada.

"Untung saja pusingnya SBY segera sembuh dengan respons cepatnya mengeluarkan perpu untuk mengembalikan sistem pemilihan kepala daerah ke sistem langsung oleh rakyat," ucap Lucius.

Alhasil, gagasan ini dimentahkan melalui perppu pada zaman SBY ketika DPR dan pemerintah nekad menetapkan sistem pemilihan kepala daerah oleh DPRD.

Setali tiga uang, peneliti bidang politik pada The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII), Felia Primaresti, mengatakan wacana pemilihan kepala daerah yang dipilih lewat DPRD tidak menjamin pengurangan biaya politik secara keseluruhan.

"Negosiasi politik antarpartai, lobi, hingga potensi praktik politik uang dapat tetap terjadi dalam proses penunjukan ini," kata Felia, dalam keterangan tertulisnya, Jumat.

Felia menekankan bahwa posisi eksekutif, seperti gubernur atau bupati/walikota, membutuhkan legitimasi kuat dari rakyat. Ia menegaskan pilkada langsung memberikan ruang bagi masyarakat untuk memilih pemimpin mereka secara langsung, serta memperkuat transparansi, akuntabilitas, dan demokrasi lokal.

Felia mengingatkan bahwa mekanisme penunjukan oleh DPRD berisiko memunculkan konflik kepentingan. "Jika kepala daerah hanya fokus mencari dukungan DPRD, mereka bisa saja mengabaikan aspirasi masyarakat," katanya.

Ide memilih bupati dan gubernur dipilih rakyat muncul dari mulut Presiden ke-8 RI, Prabowo Subianto, presiden yang baru dilantik pada Oktober 2024. Beragam kecaman dari berbagai pihak menanggapi ide Prabowo, Ketum Partai Gerindra itu.

Prabowo beralasan ingin bupati dan gubernur dipilih DPRD, karena pilkada dinilainya memakan ongkos mahal. Menurut Prabowo, penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (pilkada) mencapai puluhan triliun. Ia pun mengajak Ketua DPR RI, Puan Maharani, dan partai-partai politik lain untuk mengevaluasi gelaran pilkada.

"Ketua Umum Partai Golkar, salah satu partai besar, tadi menyampaikan perlu ada pemikiran memperbaiki sistem parpol, apalagi ada Mbak Puan [Ketua DPR RI], kawan-kawan dari PDIP, kawan-kawan partai-partai lain, mari kita berpikir, apa sistem ini, berapa puluh triliun habis dalam 1-2 hari, dari negara maupun dari tokoh-tokoh politik masing-masing, ya kan," ucap Prabowo di Sentul, Bogor, Jawa Barat, Kamis (12/12/2024).

Prabowo lantas menilai kebijakan negara tetangga lebih efisien terkait pemilihan kepala daerah. Sistemnya, yakni DPRD provinsi maupun kota/kabupeten memilih sendiri kepala daerah masing-masing. Dengan demikian, pemerintah disebut tidak perlu mengeluarkan anggaran berlebih untuk penyelenggaraan pilkada.

Baca juga artikel terkait PILKADA 2024 atau tulisan lainnya dari Fransiskus Adryanto Pratama

tirto.id - Politik
Reporter: Fransiskus Adryanto Pratama
Penulis: Fransiskus Adryanto Pratama
Editor: Anggun P Situmorang