tirto.id - Sepuluh tahun silam Presiden ke-6 RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) yang membatalkan pilkada melalui DPRD. Perppu itu diteken SBY.
Perpu pertama yang ditandatanganinya, yakni Perpu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota. Perpu itu sekaligus mencabut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota yang mengatur pemilihan kepala daerah secara tidak langsung oleh DPRD.
SBY juga menerbitkan Perpu Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah untuk menghilangkan ketidakpastian hukum di masyarakat. Isi Perpu ini menghapus tugas dan wewenang DPRD untuk memilih kepala daerah.
Kala itu, SBY mendukung penuh pilkada langsung dengan perbaikan-perbaikan yang mendasar. Kendati saat itu SBY menghormati proses pengambilan keputusan di DPR, namun tetap menganulir demi tegaknya kedaulatan rakyat.
Alasan SBY yang lain ialah demi tetap menegakkan prinsip demokrasi dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Sebab, ia percaya bahwa pilkada langsung adalah buah dari perjuangan reformasi.
Apalagi, SBY terpilih sebagai presiden melalui pemilihan presiden langsung oleh rakyat pada 2004 dan 2009. Konon, DPR resmi mengesahkan UU Pilkada yang baru pada 26 September 2014. Aturan yang disokong oleh koalisi partai kubu Prabowo Subianto kala itu menghapus pilkada secara langsung, diganti pilkada melalui DPRD.
Kini, ide pemilih bupati dan gubernur dipilih rakyat kembali menggema. Ide itu muncul dari mulut Presiden Prabowo Subianto, presiden yang baru dilantik pada Oktober 2024. Beragam kecaman dari berbagai pihak menanggapi ide Prabowo, Ketum Partai Gerindra itu.
Prabowo beralasan ingin bupati dan gubernur dipilih DPRD, karena pilkada dinilainya memakan ongkos mahal. Menurutnya, penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (pilkada) mencapai puluhan triliun. Ia pun mengajak Ketua DPR RI, Puan Maharani, dan partai-partai politik lain untuk mengevaluasi gelaran pilkada.
"Ketua Umum Partai Golkar, salah satu partai besar, tadi menyampaikan perlu ada pemikiran memperbaiki sistem parpol, apalagi ada Mbak Puan [Ketua DPR RI], kawan-kawan dari PDIP, kawan-kawan partai-partai lain, mari kita berpikir, apa sistem ini, berapa puluh triliun habis dalam 1-2 hari, dari negara maupun dari tokoh-tokoh politik masing-masing, ya kan," ucap Prabowo di Sentul, Bogor, Jawa Barat, Kamis (12/12/2024).
Prabowo lantas menilai kebijakan negara tetangga lebih efisien terkait pemilihan kepala daerah. Sistemnya, yakni DPRD provinsi maupun kota/kabupeten memilih sendiri kepala daerah masing-masing. Dengan demikian, pemerintah disebut tidak perlu mengeluarkan anggaran berlebih untuk penyelenggaraan pilkada.
Bajak Hak Politik
Pakar hukum tata negara Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda, Herdiansyah Hamzah, memandang pernyataan Prabowo itu sebagai upaya untuk membajak hak politik sekaligus hak partisipasi publik. Sebab, Prabowo terkesan ingin memotong hak partisipasi publik, apabila pemilihan bupati dan gubernur dipilih DPRD.
"Sangat tidak logis dalam skema politik seperti sekarang di mana publik sesungguhnya bisa memberikan penghukuman kepada para kepala daerah yang tidak bekerja sesuai dengan kehendak publik. Tetapi kemudian justru ingin dikembalikan ke proses di DPRD," kata pria yang karib disapa Castro itu, kepada Tirto, Selasa (17/12/2024).
Castro mengatakan apabila ide itu terealisasi, tak ada lagi ruang publik untuk mengontrol atau mengawasi para elite politik. Ide ini juga membuat politik transaksionalnya makin subur hingga tawar menawarnya makin kental.
"Ya termasuk tidak adanya peran atau partisipasi publik kalo kemudian itu di-take over oleh DPRD," tegas Castro.
Castro mengatakan, omong kosong apabila pilkada disebut memakan biaya mahal. Ia mengatakan bila ingin memperbaiki sistem pemilu, sebaiknya bukan mengembalikan ke DPRD, tetapi desain politik melalui pemilihan kepala daerah yang semestinya perlu benahi.
"Apa yang mesti dibenahi? Ya partai politiknya dibenahi, biaya politik yang mahal itu juga dibenahi, macam-macam perlu dibenahi. [Tapi] bukan berarti mengembalikan ke DPRD, dong. Seperti lumbung padi kena hama tikus, jangan lumbung yang dibakar, tikusnya yang keluar. Kan, logika semacam itu yang mestinya kita aktifkan," kata Castro.
Bagi Castro, pilkada merupakan sarana perwujudan demokrasi. Artinya, kedaulatan penuh berada di tangan rakyat, sebagaimana amanah Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang menyatakan bahwa, kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.
Ia menegaskan secara eksplisit, ketentuan tersebut dapat dimaknai bahwa rakyatlah yang harus diberikan mandat untuk menentukan masa depan bangsa ini, termasuk dalam memilih pemimpinnya sendiri. Hal ini sejalan dengan Pasal 25 huruf b International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR).
Pasal ini menyebutkan bahwa setiap warga negara harus mempunyai hak dan kesempatan, tanpa pembedaan dan tanpa pembatasan yang tidak layak, untuk memilih dan dipilih pada pemilihan umum berkala yang murni, dan dengan hak pilih yang universal dan sama, serta dilakukan melalui pemungutan suara secara rahasia untuk menjamin kebebasan menyatakan keinginan dari para pemilih.
Oleh karena itu, menurut Castro, pilkada secara langsung merupakan jaminan bagi setiap warga negara untuk dapat menggunakan hak pilihnya. "Mengembalikan proses pilkada kepada DPRD, berarti memotong hak politik tersebut," pungkas Castro.
Pilkada Buah dari Reformasi
Pengamat politik, Kunto Adi Wibowo, mengatakan SBY menerbitkan perpu 10 tahun silam itu karena mendukung bahwa pilkada langsung adalah buah dari perjuangan reformasi.
"Pilkada itu adalah perjuangan atau buah dari perjuangan reformasi," kata Kunto kepada Tirto.
Kunto mengatakan SBY menyadari saat itu bahwa dirinya menjadi presiden melalui pemilu langsung oleh rakyat pada 2004 dan 2009. Ia memandang perpu yang diterbitkan SBY itu masih relevan hingga saat ini.
Kunto juga menyoroti soal penghematan dan pemotongan anggaran pilkada secara signifikan, yang saat ini masih belum direalisasi. Ia menyinggung pertemuan yang dilakukan penyelengara pemilu dilakukan di hotel-hotel mewah.
"Kemudian sewa kendaraannya juga banyak sekali dan bisa diperiksa kan di laporan keuangannya KPU," tutur Kunto.
Penulis: Fransiskus Adryanto Pratama
Editor: Anggun P Situmorang