Menuju konten utama

Mahfud MD: Netralitas Lebih Penting daripada Cakada Dipilih DPRD

Mahfud juga menegaskan bahwa dia sepakat untuk evaluasi pelaksanaan pilkada, tetapi tidak sepakat dalam pemilihan kepala daerah oleh DPRD.

Mahfud MD: Netralitas Lebih Penting daripada Cakada Dipilih DPRD
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD memberikan pemaparan kepada wartawan di MMD Initiative, Jakarta, Selasa (20/8/2024). ANTARA FOTO/Muhammad Ramdan/nym.

tirto.id - Pakar hukum tata negara, Mahfud MD, menyarankan perbaikan upaya penegakan hukum, birokrasi, serta memastikan netralitas aparat setiap hajatan pemilu daripada langsung memutuskan pemilihan bupati dan gubernur dipilih melalui DPRD. Mantan Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan era Presiden Joko Widodo ini menilai persoalan pilkada bukan pada sistem pemilihan yang dilakukan atau tidak, tetapi lebih pada netralitas aparat dan pelaksanaan di lapangan.

Pernyataan Mahfud ini merespons ide Presiden Prabowo Subianto, yang ingin bupati, wali kota dan gubernur dipilih DPRD alias tak lagi melalui proses pilkada langsung.

“Kalau kita mau mengevaluasi sebenarnya menurut saya tidak pada soal langsung atau tidak langsung, itu pada soal pelaksanaan di lapangan, netralitas aparat penegak hukum dan netralitas birokrasi, itu yang penting,” kata Mahfud, dalam podcast Terus Terang Mahfud MD di kanal YouTube Mahfud MD Official, dikutip Kamis (19/12/2024).

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu mengatakan, petahana masih memiliki kekuatan untuk menggunakan bantuan sosial (bansos) dan program-program lain untuk mendulang simpati. Hal itu terbukti dalam tiap putusan perkara pemilu di MK. Mahfud menyebut, MK kerap mengkategorikan pembagian bansos bukan pelanggaran hukum tata negara, tetapi hukum pidana, sehingga banyak yang pada akhirnya masuk penjara.

Mahfud lantas menyinggung salah satu putusan MK, yang memutuskan banyak kecurangan-kecurangan karena menggunakan fasilitas pemerintah. Ia pun mengingatkan putusan MK menyatakan para petahana ada yang terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana penyalahgunaan fasilitas negara untuk kepentingan publik dan untuk kepentingan pemilu (pribadi).

“Tapi, karena penyalahgunaan ini tidak bisa secara langsung membuktikan pilihan orang dalam bilik suara, maka pemiliunya tetap sah, pilihan rakyat itu tetap sah, tapi pelakunya diserahkan ke KPK dan ke polisi, dan itu yang banyak dipenjara kemudian,” kata eks Menkopolhukam itu.

Mahfud menekankan adanya evaluasi birokrasi, terutama netralitas aparat setiap hajatan pemilu. Sebab, menurut Mahfud, setiap daerah aparat sudah tergiring ke satu parpol karena kuat di daerah tersebut. Bagi Mahfud, kunci evaluasi ada di pimpinan-pimpinan institusi, termasuk presiden sebagai institusi tertinggi.

“Kalau presiden sudah mendengar suara rakyat, pak di sana ada begitu, bilang saja ke Kapolri, tuh Kapolri selidiki di sana selesaikan, kan, begitu bisa. Kalau presiden jadi jangan itu (membiarkan) sudah diurus Kapolri, perintahkan,” kata Mahfud.

Dalam kesempatan sama, Mahfud membantah kabar yang menyebut dirinya setuju agar pilkada kembali dipilih DPRD. Mahfud mengatakan dirinya setuju bahwa pilkada saat ini perlu dievaluasi karena memang berbiaya mahal. Ia mendorong keputusan penerapan pilkada secara langsung atau tidak di masa depan perlu dibahas dalam evaluasi pilkada tersebut. Mahfud mengatakan pilkada langsung saat ini segera perlu dievaluasi karena tidak baik bagi situasi politik Tanah Air.

“Kalau pilihannya harus kembali lewat DPRD mari kita bahas, itulah yang saya sebut evaluasi, kenapa? Karena sekarang ini memang harus dievaluasi. Pilkada itu berjalan sangat mahal, sangat mahal dan jorok juga, biayanya mahal lalu permainannya kotor, kadangkala tidak pakai etika, rasa malu, rasa takut, dan jorok sekali itu bagi situasi sosial politik kita,” tukas Mahfud.

Ia sependapat dengan alasan Prabowo perihal pilkada yang memakan ongkos mahal. Mahfud menyebut untuk pemilihan calon gubernur disebut membutuhkan minimal Rp100 miliar, bahkan Rp1 triliun. Ongkos yang sama juga dikucurkan untuk pemilihan setingkat bupati atau wali kota.

Mahfud menyebut mungkin dari 520 kepala daerah, hanya ada 10 orang yang bersih alias tidak mengikatkan diri kepada bantuan-bantuan orang untuk menang. Mahfud pun mengingatkan, data yang dikemukakan KPK dalam Pilkada 2020, tercatat ada 84 persen yang dibiayai cukong-cukong.

“Joroknya itu, kecurangan di mana-mana, perpecahan di tengah masyarakat yang kadang kala pilkadanya sudah selesai perpecahannya sampai lim tahun berikutnya belum selesai lagi. Perbuatan-perbuatan yang menurut saya agak memalukan kita sebagai bangsa. Ini perlu dievaluasi, apakah kesimpulannya harus kembali ke pemilihan lewat DPRD atau tidak, itu nanti hasil evaluasi itu yang akan menentukan,” pungkas Mahfud.

Baca juga artikel terkait PILKADA 2024 atau tulisan lainnya dari Fransiskus Adryanto Pratama

tirto.id - Politik
Reporter: Fransiskus Adryanto Pratama
Penulis: Fransiskus Adryanto Pratama
Editor: Andrian Pratama Taher