tirto.id - Peringatan: Artikel ini tidak ditujukan menginspirasi pembaca melakukan tindakan yang membahayakan diri sendiri atau individu lain. Jika merasakan gejala gangguan kejiwaan, atau muncul kecenderungan berupa melukai diri dan individu lain, segera konsultasikan kondisi Anda ke pihak-pihak profesional yang dapat membantu, seperti psikolog, psikiater, ataupun klinik kesehatan mental.
Kasus bunuh diri dan pembunuhan diduga terkait utang-piutang pinjaman online (pinjol) jadi sorotan sepekan ke belakang. Pasalnya, kasus ini terjadi di beberapa daerah dan membuat satu keluarga menjadi korbannya.
Di Cirendeu, Ciputat Timur, Tangerang Selatan, Ahad, 15 Desember lalu, satu keluarga yang terdiri dari tiga orang ditemukan tewas diduga bunuh diri. Mereka yakni kepala keluarga AF (31), Istri berinisial YL (28), dan anak mereka yang masih balita berinisial AAH (3). Motif utama kejadian nahas ini masih diselidiki polisi, namun lilitan utang pinjol diduga menjadi salah satu faktor penyebabnya.
Kejadian hampir serupa juga terjadi di Kecamatan Ngancar, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, Jumat, 13 Desember pekan lalu. D (31) beserta istrinya, A (29), mencoba melakukan bunuh diri, namun sempat diselamatkan oleh warga. Sayangnya, keduanya turut mencampur racun tikus untuk kedua anaknya, MNP (8) dan MRS (2). Anak sulungnya berhasil diselamatkan, namun MRS tewas dalam kejadian ini. Motif percobaan bunuh diri satu keluarga ini diduga akibat terlilit utang pinjol.
Fenomena bunuh diri satu keluarga diduga akibat pinjol bukan hal yang baru-baru ini terjadi. Sayangnya, kejadian ini terus berulang yang menandakan masih kurangnya intervensi dari pemerintah terkait persoalan ini. Sering kali, anak-anak dalam keluarga ikut menanggung derita karena turut menjadi korban ketika orang tua mereka memutuskan mengakhiri hidup sebab terjebak utang pinjol.
Berdasarkan data dari Center for Financial and Digital Literacy (CFDL), sebanyak 51 orang bunuh diri karena terjerat pinjaman online alias pinjol sejak 2019 hingga 16 Desember 2023. Jika diambil kasus untuk tahun lalu saja, korbannya mencapai 25 orang. Jumlah ini belum termasuk kasus-kasus yang tidak disorot oleh media massa.
Pemerhati anak sekaligus Program Manager Lembaga Partisipasi Perempuan (LP2), Evie Permata Sari, menilai, fenomena ini sepatutnya menjadi hal yang diperhatikan secara mendalam oleh pemerintah. Banyak masyarakat yang alami tekanan mental dan finansial sebab utang yang tidak bisa mereka bayar.
“Efeknya sering kali meluas sehingga berdampak pada keluarga, termasuk anak-anak,” kata Evie kepada reporter Tirto, Rabu (18/12/2024).
Pemerintah diminta membentuk regulasi dan pengawasan yang ketat terhadap aktivitas perusahaan pinjol. Terutama untuk mencegah praktik peminjaman yang tidak bertanggung jawab dan penagihan utang yang agresif. Termasuk menekan suburnya pinjol ilegal yang jumlahnya menjamur melebihi pinjaman daring resmi yang diawasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Selain itu, mematangkan edukasi dan literasi finansial di masyarakat. Hal ini agar membantu individu memahami risiko pinjol dan mampu mengelola keuangan mereka dengan lebih baik.
Karena fenomena jerat utang pinjol semakin berdampak pada anak-anak, Evie menilai, peran masyarakat sangat penting dalam menjaga dan melindungi hak hidup anak. Terutama di tengah pusaran konflik atau persoalan ekonomi yang membelit orang tua mereka. Anak merupakan kelompok yang rentan dan sering kali tidak memiliki suara dalam situasi yang berdampak pada mereka.
Bentuk partisipasi masyarakat bisa dilakukan dengan mendorong terbentuknya komunitas yang saling peduli dan mendukung satu sama lain. Misalnya juga komitmen lingkungan sosial yang menciptakan jaringan aman bagi anak-anak. Tentunya upaya ini melibatkan unsur kelompok masyarakat, RT/RW, serta bisa menggandeng organisasi non-pemerintah.
Pemerintah sendiri bisa mengedukasi masyarakat dalam memahami langkah-langkah untuk pelaporan pelanggaran hak anak. Hal tersebut dapat dilakukan lewat lembaga perlindungan anak, kepolisian, serta organisasi masyarakat sipil.
“Termasuk ketidaktahuan akibat orang tua mendapatkan jeratan pinjol. Jadi, kesadaran serta partisipasi masyarakat dapat berkontribusi pada terciptanya lingkungan yang lebih aman dan mendukung anak-anak,” ungkap Evie.
Sementara itu, Peneliti bidang sosial The Indonesian Institute (TII), Dewi Rahmawati Nur Aulia, menyatakan, masyarakat harus tetap hati-hati saat memandang kasus bunuh diri yang disebabkan pinjol serta membuat anak-anak menjadi korban. Dewi menilai pemerintah perlu menelaah berbagai kelompok masyarakat yang berisiko melakukan pinjaman online. Hal ini disebabkan tidak semua masyarakat melakukan peminjaman daring disebabkan oleh faktor desakan ekonomi.
Sebab, kata Dewi, terdapat pula kelompok masyarakat yang meminjam lewat pinjol untuk konsumerisme atau keinginan gaya hidup. Oleh sebab itu, literasi keuangan berbasis digital menjadi penting untuk terus digalakkan dalam upaya meningkatkan kesadaran atas layanan keuangan yang semakin mudah.
Orang tua memiliki kewajiban dalam mengajarkan anak untuk merasakan situasi hidup dan berempati kepada kelompok masyarakat yang kurang mampu. Karena ada orang tua yang juga melakukan pinjaman lewat pinjol karena ingin memenuhi keinginan anak bukan untuk melengkapi kebutuhan anak.
“Hal ini tentunya akan berakibat timbulnya masalah di kemudian hari. Memaksakan hidup dalam keinginan anak tentunya bukan hal yang baik,” ujar Dewi kepada reporter Tirto, Rabu (18/12/2024).
Fenomena keluarga yang bunuh diri akibat terlilit utang pinjol juga menjadi perhatian DPR RI. Ketua DPR RI, Puan Maharani, meminta pemerintah untuk melindungi masyarakat dari jeratan pinjol yang mengancam ketahanan keluarga dan ekonomi. Hal itu, kata Puan, dapat diupayakan dengan menertibkan regulasi pinjol secara ketat.
Puan menyoroti insiden memilukan keluarga di Kediri yang berusaha melakukan bunuh diri lantaran terjerat utang pinjol. Menurut Puan, insiden di Kediri hanya satu dari sekian contoh dampak negatif dari fenomena pinjol yang tidak diawasi ketat.
“Ini menjadi cerminan bagaimana jeratan pinjol dapat menghancurkan keluarga-keluarga yang rentan secara ekonomi dan psikologis,” kata Puan dalam keterangannya.
Data dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan, ada 18,07 juta orang Indonesia yang terjerat utang pinjol hingga Desember 2023. Berdasarkan total peminjam aktif, sebanyak 73,34 persen berasal dari pulau Jawa, sedangkan 26,66 persen dari pulau luar Jawa. Puan menilai, program bantuan darurat harus dirancang untuk keluarga yang mengalami situasi terjerat pinjol.
Menurut Ketua DPP PDIP ini, bantuan tersebut tidak terbatas berupa finansial, tetapi juga mencakup layanan konseling psikologis dan mediasi untuk membantu mereka keluar dari tekanan yang dihadapi.
“Melalui program edukasi yang masif, masyarakat dapat lebih memahami bahaya dari praktik pinjaman berbunga tinggi dan memilih alternatif pembiayaan yang lebih aman,” sambung Puan.
Alarm Kasus Familisida
Psikolog forensik, Reza Indragiri, memandang, dalam kasus keluarga yang bunuh diri akibat jeratan pinjol, anak-anak tak boleh langsung dianggap sebagai pelaku bunuh diri. Sebabnya, masyarakat tidak boleh melazimkan paham anak-anak memiliki keinginan dan memutuskan untuk mengakhiri hidup.
Reza mengatakan, anak-anak sebaiknya diposisikan sebagai pihak yang dipaksa kehilangan nyawa atau korban dalam kasus semacam ini. Maka, anak-anak justru dikondisikan untuk meninggal dunia oleh pihak lainnya, yakni orang dewasa atau orang tua mereka.
“Lebih tepat kita sebut ada pembunuhan dan bunuh diri dalam satu keluarga. Anak-anak itu diposisikan sebagai pihak yang dipaksa untuk kehilangan nyawa,” kata Reza dikonfirmasi Tirto, Rabu (18/12/2024).
Reza menilai polisi seharusnya mencatat anak dalam kasus semacam ini meninggal akibat perbuatan orang dekat atau orang tuanya sendiri. Sebab, bunuh diri bukan persoalan pidana dan berbeda dengan kasus pembunuhan. Sayangnya, kata Reza, Indonesia tidak mengenal proses persidangan atau pertanggungjawaban terhadap orang yang telah meninggal dunia atau posthumous trial.
“Kalau ada pembunuhan terhadap anak, maka kepolisian harus mencatat bahwa anak-anak meninggal dunia akibat perbuatan orang dekat bahkan mungkin oleh orang tuanya sendiri,” ujar Reza.
Sementara itu, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Diyah Puspitarini, menyatakan, kejadian bunuh diri keluarga yang ikut mengorbankan anak, imbas persoalan orang dewasa disebut Familisida. Istilah ini digunakan untuk menggambarkan pembunuhan yang dilakukan seseorang terhadap suami/istri, satu atau lebih, atau seluruh anak mereka dalam satu waktu.
Oleh sejumlah ahli, jenis pembunuhan ini dikategorikan sebagai pembunuhan massal (mass murder) karena jumlah korban yang tidak tunggal. Pembunuhan terhadap anggota keluarga ini, sering kali minim perhatian dibandingkan pembunuhan yang dilakukan di area publik.
“Familicide umumnya didahului dengan salah satu pihak yang merasa kehilangan hak dan kendali untuk mengontrol ‘unit’ keluarga mereka, misalnya terkait keuangan keluarga. Hal ini cenderung dirasakan oleh kepala rumah tangga laki-laki,” ujar Diyah kepada reporter Tirto.
Anak-anak dalam kasus familisida murni menjadi korban, baik korban kekerasan fisik, atau psikis karena dipaksa mengakhiri hidup atau sengaja dibunuh seperti kasus di Ciputat. Maka kasus seperti ini sangat tidak dibenarkan, karena anak seharusnya mendapat perlindungan dari keluarga. Bukan malah menjadi korban dan bahkan sampai hilang nyawa karena orang tua.
Menurut Diyah, kasus ini terjadi karena seringnya orang dewasa menganggap anak-anak belum memahami persoalan. Selain itu, karena pengaruh dan dominasi orang tua sehingga anak tidak bisa menyangkal. Di sisi lain, familisida terjadi karena lemahnya pengawasan dari keluarga besar ataupun tetangga dan masyarakat.
Keluarga besar dinilai berpeluang membantu menyelesaikan persoalan, sebab masyarakat Indonesia menganut sistem extended family (keluarga sistem terbuka). Artinya, keluarga besar memiliki pengaruh dalam kehidupan anak-anak dan kerabat.
Pengawasan tetangga atau masyarakat akan kejanggalan atau perubahan pada keluarga juga diharapkan lebih peka, sehingga familisida bisa dicegah lebih dini. Diyah mengingatkan bahwa anak yang jadi korban familisida punya hak mendapat kejelasan dan tidak mendapatkan stigma negatif.
“KPAI juga menyoroti bahwa siklus familicide sering terjadi di akhir atau awal tahun, karena faktor pinjol atau ekonomi keluarga. Di akhir tahun biasanya pinjol atau tagihan meningkat sehingga faktor tekanan untuk menutupi utang terkadang tidak sesuai dengan kondisi yang ada,” jelas Diyah.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz