Menuju konten utama

Rawan Penyalahgunaan, Usul Ketamin Jadi Psikotropika Kudu Matang

Sebagai obat anestesi, ketamin belakangan kerap disalahgunakan untuk recreational medicine. Usulan jadi golongan psikotropika untuk menekan penyalahgunaan.

Rawan Penyalahgunaan, Usul Ketamin Jadi Psikotropika Kudu Matang
Ketamine. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) baru-baru ini mengusulkan kepada pemerintah memasukkan ketamin ke dalam golongan psikotropika untuk merespons peningkatan praktik penyalahgunaan.

BPOM melaporkan terdapat tren kenaikan yang signifikan dalam kasus penyalahgunaan ketamin. Obat keras itu diusulkan masuk ke dalam golongan psikotropika sebab memiliki efek serupa dengan obat-obatan jenis psikotropika.

Pengamat kesehatan masyarakat cum anggota Pengurus Besar (PB) Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), Iqbal Mochtar, menilai peningkatan penyalahgunaan ketamin terjadi karena pengawasan distribusinya kurang ketat.

Hal itu tecermin lewat kemudahan masyarakat umum membeli ketamin. Situasi ini diikuti dengan edukasi publik yang dinilai masih sangat minim terhadap efek negatif dari penyalahgunaan ketamin.

“Mereka sering menganggap ketamin adalah obat yang dapat digunakan untuk tujuan recreational medicine, jadi tujuan untuk menghilangkan stres, untuk merasa senang, dan sebagainya,” kata Iqbal dihubungi reporter Tirto, Kamis (12/12/2024).

Masyarakat, kata Iqbal, masih menilai ketamin sebagai obat keras biasa yang tidak memiliki efek samping serius. Maka, peraturan distribusi ketamin memang dinilai perlu diperketat. Hal ini bisa dilakukan dengan melakukan penyesuaian regulasi tentang ketamin.

Sebenarnya, kata Iqbal, jika ketamin dapat digolongkan sebagai psikotropika bisa membawa iklim positif. Sebab, secara otomatis proses distribusi dan penyimpanan obat ketamin menjadi lebih terkontrol. Namun, kata Iqbal, penggolongan obat psikotropika tidak boleh dilakukan secara sembarangan.

Menurutnya, penggolongan obat ke dalam psikotropika tidak bisa dilakukan sesuai dengan keinginan BPOM semata. Harus ada penyesuaian regulasi, standar, dan rujukan internasional terkait yang mana mampu menggolongkan ketamin sebagai psikotropika.

“Apalagi obat ini sebenarnya digunakan secara luas di bidang medis ya, untuk pengobatan berbagai jenis penyakit, termasuk untuk pengobatan depresi dan sebagainya,” ujar Iqbal.

Guru Besar Farmasi UGM, Zullies Ikawati, menilai penyalahgunaan ketamin terjadi lewat akses ilegal terhadap obat keras tersebut. Ketamin masih sering diselundupkan via pasar gelap atau bahkan dijual secara daring.

Di sisi lain, kata Zullies, terjadi kelemahan pengawasan distribusi obat keras yang membuat peredaran ketamin tidak diawasi ketat di sejumlah tempat.

“Sementara banyak masyarakat termasuk gen Z yang tidak paham bahaya ketamin, membuat mereka mudah terpengaruh untuk menggunakannya secara ilegal,” kata Zullies kepada reporter Tirto, Kamis.

Zullies berpendapat bahwa memasukan ketamin sebagai golongan psikotropika menjadi langkah tepat yang bisa diambil pemerintah. Selain itu, pemangku kebijakan perlu memperketat pengawasan peredaran ketamin.

ketamine

Ketamine. FOTO/iStockphoto

Dengan status sebagai psikotropika, ketamin akan diawasi lebih ketat dalam distribusi dan penggunaannya sesuai peraturan yang berlaku. Langkah ini turut memiliki konsekuensi penegakan hukum yang lebih kuat terhadap penyalahgunaan ketamin. Zullies melihat hal itu dapat melindungi masyarakat dari dampak negatif seperti kecanduan dan gangguan mental.

“Namun, regulasi ini harus diimbangi dengan kemudahan akses medis yang sah agar pasien yang membutuhkan tetap bisa mendapatkannya,” sambung Zullies.

Ketamin merupakan salah satu jenis obat anestesi yang umum digunakan bagi pasien yang akan menjalani suatu prosedur medis, misalnya pembedahan. Ketamin merupakan larutan tidak berwarna, bersifat agak asam dan sensitif terhadap cahaya serta udara. Obat ini biasa dikemas dalam vial (botol) berwarna cokelat agar terhindar dari pengaruh sinar matahari.

Regulasi ketamin, jelas Zullies, masih masuk dalam kategori obat keras yang diatur dalam UU Kesehatan. Pengaturan mengenai anestesi ketamin dalam UU Kesehatan kemudian diturunkan dalam Kepmenkes RI Nomor HK.01.07/MENKES/659/2017 tentang Formularium Nasional (Fornas).

Menurutnya, sudah waktunya perlu ada revisi peraturan agar ketamin masuk daftar obat psikotropika yang lebih ketat pengawasannya.

Berdasarkan Pasal 6 ayat (3) UU Narkotika, Kementerian Kesehatan memiliki kewenangan melakukan perubahan penggolongan narkotika dan mengaturnya dalam Peraturan Menteri Kesehatan.

Zullies menilai ketamin sering disalahgunakan sebab memiliki efek psikoaktif yang dapat menyebabkan sensasi euforia, halusinasi, dan rasa lepas dari realitas. Efek itu membuat ketamin populer di kalangan pengguna rekreasional. Akses relatif mudah juga terjadi melalui pasar gelap dan transaksi di dunia maya.

“Tekanan sosial dan pengaruh budaya populer juga dapat mendorong penggunaan ketamin secara ilegal,” ungkap Zullies.

Diatur Lebih Ketat

Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Taruna Ikrar, mengatakan ketamin sebetulnya termasuk dalam golongan obat keras yang digunakan sebagai obat bius.

Obat ini diberikan berdasarkan resep obat dan rekomendasi dari tenaga medis secara ketat. Namun tren penyalahgunaannya sangat besar dan secara farmakologis bersifat adiktif.

“Kami akan usulkan kepada Kementerian Kesehatan untuk memasukkan ketamin ke dalam golongan psikotropika,” kata Ikrar dalam keterangannya, dikutip Kamis.

BPOM mencatat, jumlah penyalahgunaan ketamin di fasilitas farmasi atau apotek melonjak dari sekitar 3.000 vial pada 2022 menjadi 44.000 vial pada 2023. Dan terus meningkat hingga menjadi 152.000 vial pada tahun ini. Setiap vial ketamin berisi dosis sekitar 10 mililiter. Jumlah penyalahgunaan ketamin bahkan lebih besar ditemukan pada peredaran ilegal.

Dari data Polri, penyalahgunaan ketamin yang diedarkan secara ilegal pada 2021 sebesar 7.600 gram. Jumlah itu meningkat menjadi 24.700 gram pada 2024. Ketamin ilegal sudah berdampak terhadap 373.433 orang.

BPOM mengimbau kepada pelaku usaha di bidang farmasi untuk lebih meningkatkan kewaspadaan terhadap pengelolaan ketamin dalam rangka mencegah penyimpangan peredaran ke pihak yang tidak berwenang.

“Ketamin tidak boleh sembarangan diberikan,” ujar Ikrar.

ketamine

Ketamine. FOTO/iStockphoto

Ketua Umum Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), Noffendri Roestam, menyatakan bahwa ketamin adalah obat injeksi yang penggunaannya di rumah sakit untuk keperluan anestesi dan dilakukan dengan pengawasan dokter. Artinya secara legal, kata dia, hanya dokter melalui rumah sakit yang bisa menggunakan ketamin.

Karena penggunaannya harus berdasarkan resep dokter di rumah sakit, maka tidak lazim ketamin beredar di apotek. Hal ini menandakan ketamin kebanyakan diperjualbelikan secara ilegal di pasar gelap.

Ia menilai, hal ini disebabkan minimnya penegakan hukum serta kontrol terhadap apotek, distributor, rumah sakit, dan penjualan daring obat-obatan keras.

“Keterlibatan jaringan kriminal yang terorganisasi saya rasa juga memainkan peran besar dalam penjualan ketamin di masyarakat umum,” ujar Noffendri kepada reporter Tirto, Kamis.

Regulasi penggunaan ketamin di Indonesia dinilai masih memiliki celah, terutama dalam hal distribusi dan pengawasan penggunaan di luar fasilitas kesehatan.

Beberapa negara, kata Noffendri, memperketat pengawasan terhadap ketamin dengan menerapkan registrasi ketat, pelacakan distribusi, dan pelatihan bagi tenaga kesehatan untuk meminimalkan penyalahgunaan. Indonesia diminta turut mengadopsi pendekatan serupa untuk mencegah penyalahgunaan ketamin seraya memastikan akses untuk kebutuhan medis tetap terjaga.

Ketamin memiliki potensi ketergantungan fisik dan psikologis jika digunakan di luar indikasi medis, sehingga diperlukan edukasi publik dan pengawasan yang lebih baik.

Perlu disampaikan kepada masyarakat bahwa penyalahgunaan ketamin dapat menyebabkan bahaya kecanduan dan ketergantungan, gangguan mental seperti psikosis, paranoid, dan depresi. Penyalahgunaan ketamin juga menyebabkan gangguan memori, konsentrasi, serta gangguan motorik dan koordinasi.

“Ada risiko overdosis dan kematian, menyebabkan kerusakan hati dan ginjal serta gangguan reproduksi. Mengingatkan bahaya penyalahgunaan yang bisa berakibat fatal, saya menyampaikan imbauan kepada masyarakat agar tidak menyalahgunakan,” jelas Noffendri.

Wakil Ketua Umum II Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), Mahesa Paranadipa, menilai banyak negara sudah memasukkan ketamin sebagai golongan narkotika-psikotropika.

Melihat fakta ketamin disalahgunakan, kata dia, sebaiknya memang ada pengetatan dengan mengubah golongan obat keras ini ke dalam kategori psikotropika.

Menurutnya, regulasi terkait ketamin yang masih digolongkan dalam obat keras, memiliki banyak kelemahan dalam hal distribusi, penjualan, dan pengawasan. Ditambah lagi, saat ini banyak penjualan melalui e-commerce yang juga membuat pengawasan semakin sulit dilakukan.

“Sebagaimana fakta obat keras lainnya yang masih lemah pengawasannya dalam hal penjualan, maka untuk ketamin pun memilih banyak celah kelemahannya,” ujar Mahesa kepada reporter Tirto, Kamis.

Baca juga artikel terkait PSIKOTROPIKA atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Irfan Teguh Pribadi