Menuju konten utama

Panorama Bali di Jatiluwih: Harmoni Alam dan Cita Rasa Tradisi

Desa Jatiluwih punya daya tarik yang memikat pengunjung, wisata alam yang asri membuat pengunjung betah berlama-lama.

Panorama Bali di Jatiluwih: Harmoni Alam dan Cita Rasa Tradisi
Potret Desa Wisata Jatiluwih di Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan, Senin (09/12/2024). tirto.id/Sandra

tirto.id - Berbicara tentang Bali, tentu tidaklah asing dengan pasir putih, deburan ombak, atau pohon kelapa yang berayun diterpa angin. Namun, kekayaan Pulau Dewata nyatanya lebih luas dari wisata bahari di selatan sana, sebab di tengah hadir sawah hijau berundak-undak dengan sistem irigasi tradisional yang masih langgeng dipertahankan semenjak abad kesebelas.

Terletak di lereng Gunung Batukaru, Desa Jatiluwih merupakan sebuah daerah yang mayoritas penduduknya adalah petani, terlihat dari terasering yang langsung menyapa setelah tiket masuk didapatkan. Tampak pula kerbau-kerbau tambun yang membajak sawah bersama warga, sama sekali belum tergantikan oleh mesin-mesin canggih seperti traktor atau rotary tiller.

Bukan hanya di sana letak uniknya. Berbeda dengan model pengolahan lahan pertanian terasering milik Sumatera, Jawa, atau Sulawesi, Bali punya cara tersendiri untuk menggerakkan sistem agrarisnya. Sistem milik Bali bukan sebatas mengalirkan air dari sungai ke sawah, tetapi sudah merambah ke pembagian tanggung jawab dan pembagian aliran irigasi antara sesama petani.

Namanya adalah subak, sebuah organisasi masyarakat adat Bali yang mengelola sawah dan irigasi berdasarkan sebuah falsafah hidup: Tri Hita Karana. Falsafah tersebut mengajarkan tiga hal yang harus diseimbangkan dan diharmoniskan, yakni Parahyangan (hubungan dengan Tuhan), Pawongan (hubungan dengan manusia), dan Palemahan (hubungan dengan lingkungan).

Menganut falsafah tersebut, sistem irigasi di Desa Jatiluwih murni menggunakan Danau Tamblingan sebagai sumber mata airnya. Dari Buleleng, air tersebut menyusuri kontur Gunung Batukaru hingga sampai ke areal Subak Catur Angga Batukaru. Tugas masyarakat adalah mengatur dan mengelola air yang dialirkan oleh alam itu sendiri.

Sistem subak ini pula yang menjadi kebanggaan masyarakat Bali, sebab UNESCO telah menetapkannya sebagai warisan budaya dunia di Sidang ke-36 Komite Warisan Dunia di St. Petersburg, Rusia pada tahun 2012.

Manager Operasional Daya Tarik Wisata (DTW) Jatiluwih, I Ketut Purna, tersenyum semringah sembari menambahkan bahwa Desa Jatiluwih telah dianugerahkan gelar Best Tourism Village oleh United Nations Tourism di Kolombia pada Kamis (14/11/2024).

“Masyarakat di Desa Jatiluwih juga bersama-sama berkomitmen mengedepankan filosofi Tri Hita Karana sehingga bisa menerima penghargaan ini (Best Tourism Village),” tutur Manajer Operasional Daya Tarik Wisata (DTW) Jatiluwih, I Ketut Purna alias John, kepada Kontributor Tirto yang menyambangi lokasi, Senin (9/12/2024).

 Desa Wisata Jatiluwih

Potret Desa Wisata Jatiluwih di Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan, Senin (09/12/2024). tirto.id/Sandra

Nama Jatiluwih sendiri sebenarnya sudah melejit seiring ramainya tokoh-tokoh penting yang bertandang. Misalnya, saat Bali menjadi tuan rumah World Water Forum pada Mei 2024 yang lalu, kawasan wisata Desa Jatiluwih makin banyak bertransformasi. Sekarang wisatawan dapat mengamati langsung Subak Jatiluwih dengan terjun langsung ke persawahan, menyusuri jalur trekking sesuai dengan waktu tempuh yang diminati.

“Kita ada 20 menit, 30 menit, 1 jam, sampai 1,5 jam. Nanti tamu-tamu bisa menikmati Jatiluwih, di sawah-sawah. Kerbau itu juga salah satu atraksinya, itu yang kita lakukan di zaman dahulu sebelum ada traktor, tamu-tamu yang berkunjung ke sini bisa mencoba,” jelas John.

Sambil menikmati ekosistem subak yang terhampar di depan mata, Desa Jatiluwih juga menyajikan kuliner khas bagi siapa pun yang berkunjung. Laklak beras merah namanya, penganan tradisional itu terbuat dengan menggunakan tepung beras merah hasil keringat petani. Penjualnya pun adalah UMKM hasil binaan Pemerintah Kabupaten Tabanan. Ada sekiranya 10 stan yang berjajar di sana.

“Itu hasil penanaman bulan Desember ini, dari padi Bali. Lamanya (tumbuh) sekitar 6 bulan, tingginya 1 sampai 2 meter. Nah, nanti untuk penanaman bulan Agustus itu bisa dengan padi model baru, yang pendek-pendek itu. Untuk Desember, itu harus padi Bali,” terang John.

Akan tetapi, Desember dinilai sebagai musim terburuk (worst season) oleh John. Pasalnya, petani sedang melakukan banyak kegiatan pada bulan ini, sehingga situasi sawah tampak berantakan. Ditambah, akibat hujan yang terus mengguyur Kecamatan Penebel sepanjang hari, 50 persen wisatawan langsung membatalkan reservasinya.

Kondisi buruk ini memunculkan sebuah bohlam dalam kepala John. Dia ingin wisatawan dapat melihat kondisi prima lahan sawah Desa Jatiluwih, bahkan di saat buruk seperti Desember ini. Idenya, sebuah etalase akan dibangun untuk menampilkan kondisi padi dari saat ditanam hingga panen tiba secara nyata, tanpa menghiraukan musim.

“Semua orang jadi bisa lihat. Ini, lho, padi yang umurnya 1 bulan, 2 bulan, sampai 6 bulan. Biar tamu yang berkunjung ke Jatiluwih enggak kecewa dengan keadaan yang mereka lihat. Teknologi juga saya buat sekarang. Dengan Augmented Reality (AR), tinggal scan barcode, (wisatawan) bisa melihat sawah bulan lalu, sekarang, dan yang akan datang,” paparnya.

Dalam kondisi optimalnya, Desa Jatiluwih mampu meraup 2.000 wisatawan per hari. Sebelumnya, pada Oktober, desa wisata ini mencatat rekor kunjungan tertingginya pada 3.000 orang di satu hari. Namun, John mengakui, jumlah wisatawan domestik yang datang berkunjung memang amat kurang dibandingkan wisatawan asing.

“Semoga nanti bisa meningkat exposure-nya,” tandas dia.

Pemerintah Beri Atensi Penuh

Daya tarik Desa Jatiluwih sudah terdengar hingga ke Menteri Pariwisata Republik Indonesia, Widiyanti Putri Wardhana. Bersama wakilnya, Ni Luh Puspa, rombongan Pemerintah Pusat itu langsung menyambangi Tabanan dan meninjau dengan mata sendiri subak dan terasering yang masih eksis di tengah masifnya pembangunan kota.

“Komitmen luar biasa yang ditunjukkan Jatiluwih dalam mengembangkan potensi pariwisata desa patut menjadi contoh,” kata Widiyanti dalam kunjungan kerjanya, Senin (9/12/2024).

Intensi untuk menjadikan Jatiluwih sebagai sampel pariwisata berkelanjutan (sustainable tourism) juga turut dia sampaikan. Bahkan, dari 6.000 desa yang masuk dalam jaringan desa wisata, Jatiluwih adalah salah satu dari 40 desa yang sudah mendapatkan sertifikat.

Diungkapkan pula, Jatiluwih merupakan destinasi kunjungan perdana Widiyanti dan jajaran Kementerian Pariwisata (Kemenpar) ke lapangan, sebab desa ini merupakan contoh nyata bahwa pariwisata dan budaya bisa berjalan beriringan.

“Kalau selama ini dikatakan pariwisata menggerus budaya, pariwisata menggerus tradisi, pariwisata membuat kita kehilangan jati diri, saya rasa Jatiluwih membuktikan sebaliknya. Saya rasa, kita harus belajar dari sini yang banyak, bagaimana kita bisa mengembangkan ini ke tempat-tempat lain,” imbuh Ni Luh Puspa.

 Desa Wisata Jatiluwih

Potret Desa Wisata Jatiluwih di Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan, Senin (09/12/2024). tirto.id/Sandra

Pelaksana Tugas Deputi Bidang Pengembangan Destinasi dan Infrastruktur, Hariyanto, membeberkan sejumlah upaya yang telah Kemenpar lakukan untuk mendongkrak desa penerima penghargaan Best Tourism Village ini. Dia menyebut amplifikasi melalui Biro Komunikasi dan program pelatihan sumber daya manusia (SDM) melalui Politeknik Pariwisata (Poltekpar) sebagai dua strategi kunci kementeriannya untuk Jatiluwih.

“Selain pendampingan kemarin (untuk Best Tourism Village), kami memastikan akan melanjutkan peran Kementerian Pariwisata dengan melakukan pendampingan. Bukan hanya SDM-nya, tetapi juga pengelolaannya dan lain sebagainya sehingga bisa menginspirasi daerah-daerah lain di seluruh Indonesia,” ungkapnya ketika dihampiri Kontributor Tirto di lokasi, Senin (09/12/2024).

Hariyanto menambahkan, keluhan pengelola Jatiluwih yang saat ini terpotret adalah perihal pengadaan lahan parkir. Kondisi parkir yang saat ini tersedia rupanya belum mampu mendukung lonjakan wisatawan yang mungkin dapat terjadi di hari libur nasional seperti Natal dan tahun baru kelak. Namun, sebagai bagian dari Pemerintah Pusat, instrumen yang Kemenpar bisa mainkan hanyalah Dana Alokasi Khusus (DAK).

“Melalui Pak Kepala Dinas (Pariwisata Provinsi Bali), bisa diformulasikan usulan DAK, salah satunya untuk pengadaan parkir. Cuma memang itu baru bisa diproses 2025, untuk 2026,” jelasnya.

Di tempat yang sama, Bupati Kabupaten Tabanan, I Komang Gede Sanjaya, mengungkapkan bahwa Desa Jatiluwih berhasil dikembangkan karena adanya budaya adat yang kuat, serta keterlibatan wanita dalam menjaga ekosistemnya. Secara keseluruhan, Kabupaten Tabanan menjadi destinasi pilihan berbagai organisasi internasional, seperti World Wildlife Fund (WWF), karena keberhasilannya dalam mempertahankan wilayah dan budaya lokal.

“Ada tiga hal yang harus diperjuangkan, yakni masyarakat yang mempertahankan kearifan lokal, pengusaha yang mendukung, dan pemerintah yang menyokong,” pungkas Sanjaya.

Baca juga artikel terkait BALI atau tulisan lainnya dari Sandra Gisela

tirto.id - News
Kontributor: Sandra Gisela
Penulis: Sandra Gisela
Editor: Anggun P Situmorang