Menuju konten utama

Kontradiksi Bahlil dan Komitmen Setengah Hati Transisi Energi

Pernyataan Bahlil yang mendorong penggunaan batu bara bertolak belakang dengan komitmen suntik mati PLTU pada 2040.

Kontradiksi Bahlil dan Komitmen Setengah Hati Transisi Energi
Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menyampaikan paparan dalam rapat kerja bersama Komisi VII DPR di Gedung Parlemen, Jakarta, Senin (26/8/2024). ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/rwa.

tirto.id - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, mengatakan, Indonesia memang perlahan-lahan sudah mulai memasuki proses transisi energi. Namun, di tengah tren pensiun (phase out) Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara, ia dengan tegas mengizinkan para pengusaha tambang untuk menggunakan emas hitam tersebut sebagai sumber energi.

Menurut Bahlil, dibandingkan dengan sumber energi lainnya, batu bara yang seringkali dianggap ‘kotor’ oleh dunia masih menjadi sumber energi yang murah dan tergolong mudah didapatkan.

“Jadi bapak ibu semua, enggak perlu ragu, saya ingin mengatakan bahwa sampai dengan sekarang, perlahan-lahan kita akan masuk pada energi baru terbarukan. Tetapi batu bara, sampai dengan hari ini kami masih menganggap sebagai salah satu energi yang cukup kompetitif, murah, dan bisa menghasilkan biaya yang kompetitif untuk menghasilkan produk. Jadi nggak usah ragu,” kata dia, dalam acara Indonesia Mining Summit 2024, di Hotel Mulia, Jakarta, Rabu (4/12/2024).

Tidak hanya itu, menurut Bahlil, negara-negara yang menggembar-gemborkan pensiun batu bara seperti Eropa, nyatanya juga masih memanfaatkan batu bara sebagai sumber energi. Bahkan, ekspor batu bara dari Indonesia ke Eropa dan negara-negara lain di dunia masih cukup banyak.

Berdasar catatan Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia masih mengekspor komoditas batu bara (HS 2701) sebanyak 2,52 miliar dolar Amerika Serikat (AS) ke dunia selama Oktober 2024, turun 0,73 persesn secara bulanan (month to month/mtm) dibanding bulan sebelumnya yang senilai 2,54 miliar dolar AS. Meski begitu, dari sisi volume, ekspor batu bara masih cenderung naik secara bulanan, dari 34,64 juta ton di September 2024 menjadi 34,77 juta ton di Oktober 2024.

“Wong sampai sekarang Eropa juga masih minta batu bara dari Republik Indonesia kok. Ya kita jujur-jujur aja lah, aku tahu kok. Jangan seperti orang Papua katakan latihan lain, main lain,” ucap Bahlil.

Kendati masih mengizinkan penggunaan batu bara sebagai sumber energi, Ketua Umum Partai Golkar itu juga berpesan kepada para pengusaha untuk tak terlena, sehingga mengabaikan tugas negara untuk melakukan transisi energi dan hilirisasi. Namun, ia juga menyadari sepenuhnya kalau ongkos untuk mencapai net zero emission (NZE) pada 2060 sangat besar.

Karena itu, transisi energi juga sudah seharusnya dilakukan dengan menyesuaikan kondisi domestik, agar nantinya tak semakin membebani keuangan negara.

“Kita setuju dengan pikiran global (untuk melakukan transisi energi), tapi ukur (kemampuan) dunia kita juga. Baseline kita beda dengan baseline negara-negara yang sudah maju,” imbuh Bahlil.

Berbeda dengan Bahlil, Presiden Prabowo Subianto justru lebih tegas dalam menentukan target pensiun PLTU batu bara, yakni 15 tahun dari sekarang atau di sekitar 2040. Komitmen tersebut disampaikannya dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Rio de Janeiro, Brasil, pada pertengahan bulan lalu.

Sebagai gantinya, Indonesia akan membangun lebih dari 75 gigawatt pembangkit listrik dari energi berkelanjutan dalam 15 tahun mendatang.

“Kami juga memiliki sumber daya panas bumi yang luar biasa, dan kami berencana untuk menghentikan pembangkit listrik tenaga batu bara dan semua pembangkit listrik tenaga fosil dalam 15 tahun ke depan. Kami berencana untuk membangun lebih dari 75 gigawatt tenaga terbarukan dalam 15 tahun ke depan," kata Prabowo saat menghadiri sesi ketiga Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Brasil pada Selasa, (19/11/2024).

Pakar Ekonomi dan Energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi, menilai, pernyataan Bahlil yang mengizinkan para pengusaha tambang untuk menggunakan batu bara sebagai sumber energi bertolak belakang dengan komitmen Prabowo untuk menyuntik mati PLTU batu bara pada 2040. Tidak hanya itu, program Bahlil untuk terus menggenjot produksi batu bara juga berpotensi menggagalkan mimpi swasembada energi Prabowo yang direncanakan bakal banyak menggunakan energi baru dan terbarukan (EBT).

“Bukannya mengupayakan komitmen Prabowo dalam pengembangan EBT, kebijakan Bahlil justru mengutamakan pengembangan energi fosil. Bahlil menginstruksikan untuk mengenjot produksi minyak dan gas di hulu. Padahal, investor besar sudah meninggalkan sektor hulu Indonesia karena tidak feasible lagi,” jelas Fahmy, dalam keterangannya, dikutip Senin (9/12/2024).

Sementara itu, Peneliti Center of Economic and Law Studies (Celios), Fiorentina Refani, menilai adanya kontradiksi dalam pernyataan Bahlil dan Prabowo. Tidak hanya itu, ia mempertanyakan pernyataan Bahlil yang mengizinkan penggunaan batu bara sebagai sumber energi di sektor pertambangan dan juga mendorong produksi emas hitam untuk menaikkan sumbangan komoditas tersebut terhadap pendapatan negara bukan pajak (PNBP).

Padahal, alih-alih menghemat anggaran atau bahkan menambah tebal pendapatan negara, subsidi maupun insentif fiskal yang diberikan pemerintah untuk mendorong kinerja industri batu bara justru membuat kantong negara terkuras.

“Misalnya, subsidi atau insentif yang tidak langsung diberikan oleh pemerintah Indonesia untuk produksi batu bara salah satunya adalah soal kebijakan DMO, Domestic Market Obligation. Ketika pemerintah memberi DMO lebih rendah dari harga pasar internasional, berarti kan ada selisih nilai atau harga yang harus ditanggung pemerintah,” jelas Fio, sapaan Fiorentina, saat dihubungi Tirto, Senin (9/12/2024).

Sebagai informasi, DMO yang dimaksud Fio adalah program wajib pasok dalam negeri oleh pengusaha batu bara. Dalam hal ini, pemerintah melalui Kementerian ESDM, menetapkan harga wajib batu bara untuk serapan PLTU milik PT PLN (Persero) adalah sebesar 70 dolar AS per ton dan 90 dolar AS per ton di luar itu. Sedangkan harga batu bara di pasar ICE Newscastle untuk kontrak pengiriman bulan ini ditutup di harga 133,25 dolar AS per ton pada perdagangan Jumat (6/12/2024). Harga tersebut lebih rendah dibandingkan posisi November 2024 yang masih berada di kisaran 142 dolar AS per ton.

“Dalam hal ini pastinya dibebankan ke APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara), itu untuk menutupi selisih dari harga subsidi yang lebih rendah di dalam negeri dengan pasar internasional,” kata dia.

Kemudian, meski belum ada peraturan turunannya, tapi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menyatakan bahwa negara akan memberikan royalti sebesar 0 persen kepada perusahaan yang melakukan hilirisasi batu bara. Sementara sekarang ini, pemerintah masih menagih royalti dari emiten-emiten tambang batu bara berdasar PP Nomor 26 Tahun 2022 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Dalam baleid itu, tarif royalti disesuaikan dengan harga batu bara acuan (HBA) yang ditentukan oleh Kementerian ESDM.

Berdasar data Kementerian Keuangan, per 31 Oktober 2024, pemerintah telah mengumpulkan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp477,5 triliun. Jika dirinci, PNBP terbagi dalam PNBP sumber daya alam (SDA) migas, PNBP non migas, kekayaan negara dipisahkan, PNBP lainnya, dan BLU yang masing-masing senilai Rp93,9 triliun, 97,5 triliun, 79,7 triliun, Rp125,0 triliun, dan 81,6 triliun.

“Dari contoh kebijakan itu saja akhirnya kita bisa tahu bahwa sampai hari ini besar sekali beban anggaran yang muncul akibat subsidi, baik secara langsung atau tidak terhadap produksi batu bara. Contoh itu kan kontradiktif dengan batu bara Indonesia ini yang katanya bisa sustain, bisa memperbaiki tingkat ekonomi Indonesia,” tegas Fio.

Selain itu, dari kebijakan-kebijakan yang ada, menurut Fio, tak hanya Bahlil yang setengah hati menyatakan komitmennya untuk transisi energi, melainkan pemerintah Indonesia secara keseluruhan. Sebab, meski telah menarget NZE maksimal pada 2060, pemerintah masih saja mengizinkan pembangunan PLTU Captive -pembangkit-pembangkit dari tenaga batu bara untuk keperluan industri.

Ketentuan itu tertuang dalam Pasal 3 ayat 4 huruf b Peraturan Presiden (Perpres) No. 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik.

“Jadi, kan ketika PLTU batu bara captive ini masih terus diizinkan pembangunannya, makin banyak itu kapasitasnya atau unitnya, itu kan jadi mendorong over produksi dan konsumsi (batu bara) berlebihan. Dan ini mengkhianati cita-cita untuk pensiun dini PLTU batu bara itu sendiri,” sambung Fio.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, menilai, ongkos transisi energi memang besar, tapi tidak mahal. Berdasar hitungan IESR, investasi yang dibutuhkan untuk mencapai NZE di 2050 sebesar 40 miliar dolar AS atau sekitar Rp600 triliun.

Namun, biaya yang dibutuhkan oleh Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dan baterainya maupun Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) dan baterainya agar dapat menyalurkan listrik hampir setara dengan biaya rata-rata operasional PLTU dengan teknologi supercritical dalam setahun. Dari data Kementerian ESDM, biaya investasi untuk PLTS beserta baterai mencapai 0,9 juta dolar AS per megawatt (MW), sedang untuk PLTU berteknologi supercritical mencapai 1,7 juta dolar AS per MW.

“Biaya ini besar karena pada saat yang bersamaan kita harus membangun infrastruktur energi bersih yang baru, pembangkit energi terbarukan, transmisi listrik, penyimpanan energi dan lainnya,” ujar Fabby, kepada Tirto, Senin (9/12/2024).

Di sisi lain, seiring dengan pernyataan Prabowo yang mencoba menyuntik mati PLTU pada 2040, akan membuat permintaan terhadap komoditas batu bara dalam negeri mengalami penurunan signifikan. Karena itu, Fabby menilai, tak seharusnya Bahlil memberikan optimisme kepada dunia usaha kalau batu bara masih akan berumur panjang.

“Menurut saya, yang harus dibenahi adalah cara pikir menteri-menteri Pak Prabowo, bahwa transisi energi bukanlah beban keuangan negara, tapi keselamatan investasi yang bisa mendukung secara langsung pencapaian pertumbuhan ekonomi 8 persen,” tegas dia.

Kendati diramal tak akan lagi bergairah, Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI-ICMA) memandang sebaliknya. Plt Direktur Eksekutif APBI, Gita Mahyarani, mengatakan, pertumbuhan industri batu bara ini akan didukung oleh masih terus adanya permintaan terhadap komoditas emas hitam, baik dari dalam maupun luar negeri.

Bahkan, menurut Kementerian ESDM, kebutuhan batu bara domestik masih akan mencapai 200 juta ton sampai 2026. Sementara untuk permintaan secara global, mayoritas datang dari beberapa negara kunci seperti Cina, India, serta negara-negara Asia Tenggara seperti Vietnam, Malaysia dan Filipina.

“Kebutuhan di dalam negeri permintaan masih didominasi oleh kelistrikan tahun 2025 sampai dengan 2026 dengan estimasi 130 an juta ton per tahunnya. Sementara untuk kebutuhan smelter permintaannya mulai akan menanjak ke angka 70 juta ton pada tahun 2025 dan sekitar 80 juta ton pada tahun 2026,” jelasnya, melalui aplikasi perpesanan kepada Tirto, Senin (9/12/2024).

Sementara itu, meski ada lampu hijau dari Bahlil kepada para pengusaha tambang untuk menggunakan batu bara sebagai sumber energi, namun Gita memastikan, saat ini industri terus berusaha untuk menerapkan prinsip keberlanjutan dalam proses produksinya. Beberapa di antaranya adalah dengan menjalankan kegiatan produksi berbasis aspek good mining practice, reklamasi tambang, hingga mendiversifikasi bisnis ke EBT.

“Anggota kami pun berupaya untuk melakukan pengembangan teknologi di wilayah produksi untuk mengurangi NZE,” tegas Gita.

Secara terpisah, Anggota Dewan Energi Nasional (DEN), Abadi Poernomo, menilai, tak ada yang salah dari pernyataan Bahlil, apalagi Prabowo. Tidak hanya itu, jika dipahami secara utuh, maka keduanya juga punya tujuan sejalan, mencapai target NZE paling lambat pada 2060.

Lagi pula, menurut dia, saat ini sudah banyak PLTU yang dioperasionalkan menggunakan teknologi canggih seperti supercritical atau ultra supercritical yang menghasilkan emisi lebih sedikit ketimbang operasional PLTU konvensional.

Selain itu, kata Abadi, meski masih rencana, namun ke depannya pemerintah juga berencana memasang teknologi CCS (Carbon Capture and Storage) dan CCUS (Carbon Capture Utilization and Storage) -teknologi yang digunakan untuk mengurangi emisi karbon dioksida (CO2) ke atmosfer di sekitar PLTU aktif.

Phase out batu bara, yes, phase out batu bara yang PLTU murni tanpa ada CCS/CCUS. Tapi sekarang kan ada juga PLTU batu bara yang sudah menggunakan supercritical sama extra supercritical. Nah, nanti akan kita evaluasi kembali yang supercritical dan extra supercritical ini sampai di mana kebersihannya. Kalau memang bersih, itu bisa dikembangkan lebih lanjut,” jelas Abadi, kepada Tirto, Senin (9/12/2024).

Baca juga artikel terkait BATU BARA atau tulisan lainnya dari Qonita Azzahra

tirto.id - News
Reporter: Qonita Azzahra
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Abdul Aziz