tirto.id - Pemanfaatan energi batu bara untuk memenuhi kebutuhan energi di Tanah Air kiranya masih cukup tinggi. Jika melihat cadangan batu bara Indonesia saja, kita berada di peringkat ketujuh dunia. Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), pada 2021 jumlah cadangan batu bara RI berada di kisaran 36,28 miliar ton.
Cadangan cukup besar tersebut, membuat Ibu Pertiwi ketergantungan dengan batu bara karena hampir sekitar 60 persen sumber energi Indonesia, masih berasal dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Maka, harus diakui pemerintah saat ini belum mampu menggantikan PLTU batu bara untuk dialihkan ke sumber energi yang lebih ramah lingkungan.
“Saat ini Indonesia berkelimpahan atas sumber daya alam itu [batu bara], kemudian juga harganya sudah cukup efisien, cukup murah," ujar Kepala Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral, Kementerian Keuangan, Boby Wahyu Hernawan, di Bogor, Jawa Barat, Rabu (29/5/2024).
Ketergantungan terhadap batu bara berlebihan ini, tentu saja menjadi tanda tanya besar kita terhadap komitmen pemerintah dalam mengejar target komposisi Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET). Apalagi setelah target energi baru terbarukan (EBT) yang terangkum pada Rancangan Peraturan Pemerintah Kebijakan Energi Nasional (RPP KEN) diturunkan oleh pemerintah.
RPP KEN, menetapkan target bauran EBT di 2025 turun dari sebelumnya 23 persen menjadi 17-19 persen. Sementara, target EBT di 2050 meningkat dari 30 persen menjadi 58-61 persen dan di 70-72 persen pada 2060.
Penurunan target bauran energi terbarukan menjadi 17-19 persen pada 2025 dan 19-21 persen pada 2030 ini, tentu menyiratkan lemahnya komitmen untuk melakukan transisi energi dan syaratnya kepentingan untuk mempertahankan energi fosil. Padahal sebenarnya, di luar energi fosil seperti batu bara, Indonesia menyimpan potensi Energi Baru dan Terbarukan (EBT) yang tak kalah melimpah.
Potensi EBT dari energi surya, bayu, hidro, bio-energi, panas bumi, dan juga laut diperkirakan mencapai 3.686 gigawatt (GW). Tapi sayangnya memang, realisasinya baru 12,54 GW kurang dari 1 persen, atau baru 0,3 persen saja sehingga perlu ada langkah terobosan untuk menuju ke arah sana.
“Kalau kita apple to apple saja pembangkit listrik panas bumi itu, kalau batu baranya gak disubsidi itu bisa lebih murah daripada PLTU,” ujar Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, saat dihubungi Tirto, Kamis (30/5/2024).
Fabby mengakui tidak menerima alasan pemerintah belum mampu menggantikan PLTU batu bara untuk dialihkan ke sumber energi yang lebih ramah lingkungan lantaran harga batu bara dianggap lebih murah.
Padahal dia menuturkan, harga batu bara tidak murah. Menjadi murah, karena selama ini disubsidi oleh pemerintah.
“Karena harga listrik batu bara hari ini yang bisa dibeli PLN berada 6 sen dolar per KWH itu bisa dibelikan subsidi. Subsidi pada batu dalam bentuk kebijakan harga DMO Batubara yang dipatok di 70 dolar per ton. Nah sementara harga batu bara sendiri di pasar internasional itu tidak segitu kan,” jelas dia.
Alasan RI Tak Bisa Lepas Batu Bara
Fabby menuturkan, ketergantungan pemerintah terhadap energi batu bara selama ini diakibatkan karena kebijakan di masa lalu. Karena sejak dahulu, PLN dipaksa untuk terus membangun PLTU bata bara.
Pada era SBY misalnya, terdapat program 10 ribu mega watt dan terus fast track hingga 20 ribu mega watt. Sementara di era Jokowi pun demikian, PLN terus didorong membangun PLTU dengan kapasitas terpasang 35 ribu mega watt.
“Karena PLN dari dulu disuruh pemerintah membangun PLTU. Jadi hari ini kan kita istilahnya kalau bahasanya itu adalah lock-in terkunci dengan infrastruktur seperti PLTU yang usia ekonomisnya 30-40 tahun,” ujar Fabby.
Selama ini, lanjut Fabby, kita dipaksa untuk terus menerus membakar batu bara di PLTU. Sementara energi terbarukan tidak diberikan insentif yang sama sehingga sulit kemudian jika energi baru terbarukan harus bersaing dengan harga listrik dari PLTU.
“Jadi itu pangkalnya. Jadi kalau sekarang orang Kemenkeu bilang sukar mencari batu bara karena pemerintah sendiri yang menciptakan kondisi itu. Artinya terjebak dengan kebijakan. Padahal dari sisi teknologi sudah banyak yang bisa menggantikan [batu bara],” ujar Fabby.
Pensiunkan Dini Batu Bara Menjadi Mutlak
Jika sudah seperti ini, kata Fabby, maka merubahnya tidak mudah. Karena pemerintah terjebak dan opsi kebijakannya menjadi terbatas. Maka, salah satu alternative bisa dilakukan pemerintah adalah dengan mendorong ‘pensiunkan dini’ PLTU batu bara.
Karena sejalan dengan hasil studi yang dilakukan Yayasan Indonesia CERAH dan Center of Economic and Law Studies (CELIOS), penutupan lebih cepat PLTU batu bara yang secara bersamaan digantikan dengan pembangkit listrik berbasis energi terbarukan lebih menguntungkan secara ekonomi.
Studi pemodelan dengan skenario tersebut pada PLTU Cirebon-1, PLTU Pelabuhan Ratu, dan PLTU Suralaya, hasilkan produk domestik bruto (PDB) hingga Rp 82,6 triliun.
PLTU Cirebon-1 dan Pelabuhan Ratu sendiri masuk ke dalam dokumen Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP) Just Energy Transition Partnership (JETP) yang rencananya akan dipensiunkan pada tahun 2035 dan 2037.
Skenario penutupan PLTU batu bara di tiga lokasi pembangkit bisa menurunkan PDB sebesar Rp3,96 triliun, menciptakan risiko pengurangan tenaga kerja hingga 14.022 orang, dan meningkatkan jumlah penduduk miskin 3.373 orang.
Tapi sebaliknya skenario ke-2 dimana penutupan PLTU batu bara dibarengi dengan pembangunan pembangkit energi terbarukan justru mampu menyumbang ekonomi Rp82,6 triliun, menyerap 639 ribu tenaga kerja hingga menurunkan kemiskinan 153.755 orang secara nasional.
“Jadi pembangkit-pembangkit yang sudah tua, yang udah gak efisien, yang emisinya tinggi kalau sudah masa ekonominya gak usah dipertahankan panjang-panjang. Jadi dihentikan aja operasinya. Jadi istilahnya sudah dipensiunkan,” ujar Fabby.
Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Eddy Soeparno, menambahkan untuk saat ini memang segala sesuatunya secara simultan tidak bisa mengandalkan satu dan meninggalkan yang lain. Karena proses untuk pensiun dini PLTU batu bara butuh biaya besar serta proses negosiasi yang panjang.
Berdasarkan perhitungan Kementerian ESDM, Indonesia membutuhkan setidaknya USD1,1 triliun atau setara USD28 miliar per tahun sebagai upaya dekarbonisasi dengan meninggalkan batu bara hingga 2060.
“Jadi tidak mudah juga dilaksanakan,” ujar Eddy kepada Tirto, Kamis.
Belum lagi, kata Eddy, kalau kita mau pensiunkan PLTU batu bara belum tentu penggantinya ada saat ini dari energi terbarukan. Maka, pilihan tepat sekarang ini pemerintah tetap harus mempercepat sumber daya energi terbarukan untuk kemudian bagaimana melihat dan bisa digantikan pembangkit listrik batu bara dengan yang terbarukan.
“Kita harus mempercepat juga proses untuk memperluas jaringan distribusi gas. Sehingga gas menjadi energi transisi bisa dimanfaatkan secara co-firing sehingga menghasilkan sumber energi yang paling bersih,” ujar dia.
Di samping itu, pemerintah juga harus melihat pengembangan teknologi di mana saat ini PLTU batu bara bisa dikurangi atau dihilangkan sama sekali emisi karbonnya. Karena jika pemerintah bisa menggunakan mekanisme karbon chapter yang lebih ekonomi, penggunaan PLTU batu bara masih bisa diberdayakan.
“Tapi dengan catatan emisi karbonnya itu bisa direduksi secara signifikan,” ujar dia.
Pekerjaan Rumah Besar
Di sisi lain, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro, justru sedari awal meragukan dengan kampanye-kampanye pemerintah di awal yang ingin mendorong percepatan pensiun dini PLTU batu bara. Menurutnya, kampanye tersebut cukup berani di tengah ketergantungan akan batu bara.
“Karena kalau berdasarkan data kelistrikan 70-75 persen kapasitas terpasang dari PLTU batu bara itu sendiri sebetulnya. Jadi kalau menyampaikan itu berarti punya pekerjaan rumah luar biasa,” kata Komaidi kepada Tirto, Kamis.
Kemudian, lanjut dia, jika mencari pengganti kapasitas 70 sampai 75 persen ada risiko ekonomi atau risiko fiskal. Karena memang biaya pengadaan listrik dari energi baru terbarukan itu relatif lebih mahal dibandingkan fosil terutama batu bara.
“Ini kapasitasnya seperti apa baik fiskal maupun teknisnya,” ujar Komaidi.
Maka, terdapat dua aspek perlu dipertanyakan secara teknis kepada pemerintah mampu tidak menggantikan batu bara dengan energi terbarukan lainnya sebagai sumber energi nasional. Kemudian pertanyaan berikutnya EBT yang mana mau dipakai?
“Karena dalam kelistrikan ini kan harus ada menjadi best seller, artinya harus bisa produksi 24 jam. Sementara untuk EBT sebagian besar tergantung cuaca dan tidak bisa produksi selama 24 jam,” pungkas Komaidi.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Intan Umbari Prihatin