Menuju konten utama

Menepis Mitos EV sebagai Kunci Penghijauan Batubara RI

Penelitian menunjukkan untuk membangun ekosistem EV akan berdampak pada peningkatan produksi emisi hingga 80 persen lebih tinggi.

Menepis Mitos EV sebagai Kunci Penghijauan Batubara RI
Header Insider TirtoEco mengenai "Hybrid vs Elektrik: Menilik Opsi Ideal Bagi Negara Produsen Batu Bara. tirto.id/Fuad

tirto.id - Saya ingin memulainya dengan sebuah pertanyaan yang pesimistis. Apakah pengembangan kendaraan listrik atau electric vehicle (EV) di Tanah Air bisa menjadi solusi atas isu pencemaran lingkungan yang disebabkan emisi karbon kendaraan?

Sementara listrik kita saja, sebagian besar masih bergantung pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara. Alhasil, secara tidak langsung mobil EV yang kita gunakan tidak sepenuhnya ramah lingkungan, karena proses produksi hingga pasokan listrik untuk baterainya masih berasal dari bahan bakar fosil.

Analisa McKinsey menyebutkan bahwa untuk menggeser ekosistem kendaraan berpenumpang dari konvensional menjadi berbasis EV dibutuhkan pengorbanan.

Studi ini mengasumsikan target negara-negara Eropa, yakni 75 persen kendaraan di jalan adalah EV pada 2030. Untuk mencapainya dibutuhkan pembangunan 24 pabrik baterai raksasa. Pembangunan tersebut akan berdampak pada peningkatan produksi emisi hingga 80 persen.

Tingginya produksi emisi karena energi yang dibutuhkan untuk proses ekstraksi bahan baku mineral, seperti lithium, kobalt dan nikel, tidak sepenuhnya bersumber dari energi terbarukan. Belum lagi proses pembuatan baterai kendaraan listrik yang membutuhkan energi besar.

Analisa dari produsen otomotif, Polestar (asal Swedia) dan Rivian (asal AS) menemukan hasil yang selaras dengan temuan McKinsey.

Dalam laporan yang berjudul “Pathaway Report 2023” disebutkan proses manufaktur baterai dan kendaraan listrik akan menghasilkan 40 persen emisi karbon dioksisa (CO2) lebih tinggi. Jumlah emisisi dari produksi EV mencapai 14 ton, sementara kendaraan konvensional dan hybrid hanya 10 ton.

Namun, di satu sisi laporan tersebut juga menggarisbawahi bahwa pada fase penggunaan dan akhir hidupnya, EV memproduksi emisi yang lebih kecil dari kendaraan hybrid atau konvensional. Meskipun begitu, mobil EV masih menghasilkan emisi, bukan zero emission seperti yang digadang-gadang oleh pemerintah.

Ekosistem EV baru dapat mencapai nol emisi ketika sumber energi listrik sepenuhnya berasal dari energi terbarukan, seperti surya, angin, atau air. Jadi, pembangunan ekosistem kendaraan listrik harus diiringi dengan peralihan energi hijau.

"Pemanfaatan energi terbarukan dalam industri otomotif adalah langkah sangat relevan,” ujar Pakar otomotif dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Yannes Martinus Pasaribu.

Alternatif Hybrid bagi Indonesia

Pemerintah kita, belakangan memang sedang fokus mendorong kendaraan listrik dan mengesampingkan keunggulan teknologi hybrid. Padahal sebagai negara dengan listrik yang bersumber dari batubara, kendaraan hybrid lebih baik ketimbang EV.

Argumen tersebut disampaikan oleh peneliti dari Mitsubishi yang mengeklaim bahwa EV memberi manfaat ramah lingkungan bagi negara dengan sumber energi terbarukan yang besar. Sementara kendaraan hybrid adalah jawaban bagi negara yang bergantung pada pembangkit listrik tenaga batubara, layaknya Indonesia.

Penelitian Misubishi

Penelitian Misubishi. (FOTO/Drive.com)

Grafik di atas menunjukkan bahwa negara yang bergantung pada minyak mentah dan batubara, dalam proses manufaktur BEV (battery electric vehicle) akan memproduksi emisi paling besar.

Kemudian seiring dengan berkurangnya ketergantungan pada energi berbahan bakar fosil, BEV baru mampu menjanjikan produksi emisi yang lebih rendah.

Untuk saat ini, hybrid memiliki banyak keunggulan dibandingkan kendaraan elektrik. Kendaraan hybrid dapat berjalan dengan bahan bakar bensin/diesel dan listrik. Mobil ini menawarkan alternatif yang lebih murah dibandingkan dengan kendaraan listrik.

Di Indonesia, kendaraan hybrid juga jauh lebih populer dibandingkan dengan kendaraan listrik, baik itu tipe baterai listrik (BEV), atau campuran (PHEV dan HEV). Hybrid dipilih masyarakat karena harganya yang lebih murah dan lebih awal diperkenalkan di pasar otomotif Tanah Air

Jika Merujuk data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (GAIKINDO) 2023, penjualan kendaraan hybrid di Indonesia cukup tinggi dibandingkan BEV. Sepanjang tahun lalu, jumlah penjualan mobil hybrid sebesar 50.779 unit. Sedangkan kendaraan listrik (BEV/PHEV/HEV), dengan tipe yang sama, hanya 18.598 unit.

Layalnya kendaraan listrik, hybrid juga ramah lingkungan karena lebih hemat bahan bakar dibanding mobil konvensional. Mesin pembakaran internalnya berguna untuk menjaga agar baterai tetap terisi. Pengemudi tidak perlu khawatir tentang dari mana asal pengisian daya berikutnya.

Berbeda dengan kendaraan listrik yang memerlukan waktu untuk terisi penuh baterainya melalui stasiun pengisian daya listrik tersendiri.

Penjualan wholesale Toyota masih memimpin dengan kendaraan hybrid terlaris yakni All New Kijang Innova Zenix Q Hev Cvt Tss 2.0 Modellista mencapai 15.544 unit.

Merek Toyota lain mendapatkan tempat di hati masyarakat yakni All New Kijang Innova Zenix G Hev Cvt 2.0 dan All New Kijang Innova Zenix V Hev Cvt 2.0 Modellista masing-masing 6.025 unit dan 4.908 unit. Sementara merk kendaraan lainnya seperti Suzuki, Lexus, Nisan, Wuling rata-rata penjualanya sudah di atas 100 unit.

Tidak hanya Indonesia, kendaraan hybrid juga cukup popular dan mendominasi ketimbang EV di beberapa negara. Jenis kendaraan ini kini menjadi hal yang umum di Australia dan Brasil.

Kendaraan hybrid saat ini menjadi hal yang umum di Australia dan memberikan keuntungan karena menggunakan motor listrik dan bensin. Popularitasnya mendorong produsen mobil untuk meningkatkan pilihan dengan menyediakan lebih banyak model.

Di Brasil, banyak produsen mobil lama mendukung upaya untuk menggandakan penggunaan biofuel. Dan mereka berfokus penggunaannya pada kendaraan listrik plug-in hybrid (PHEV) sebagai alternatif.

Keputusan itu didorong hasil temuan studi berjudul “Energy For Sustainable Development 76 (2023)” yang menyebut kendaraan hybrid non-plug-in (HEV) yang menggunakan biofuel memiliki emisi lebih rendah dibandingkan dan kendaraan listrik murni (BEV).

Studi tersebut menjelaskan ada banyak alasan yang menyebabkan penurunan emisi karbon ketika biofuel digunakan pada kendaraan hybrid. Pertama, hybrid membutuhkan baterai yang lebih kecil, yang dapat mewakili 25 persen hingga hanya 8 persen BEV.

Kedua, baterai yang lebih kecil mengurangi jejak karbon produksi masing-masing kendaraan. Ketiga, kendaraan hybrid cukup efisien dibandingkan dengan kendaraan tradisional.

Pemerintah Brasil pun mendukung arah pasar otomotif lokal dengan mengeluarkan peraturan emisi kendaraan baru (MOVER). Aturan ini menawarkan diskon pajak khusus untuk kendaraan hybrid hingga tahun 2026.

Kurang Dukungan

Di tengah potensi kendaraan hybrid yang menawarkan emisi lebih rendah, rupanya belum terdapat dukungan khusus dari pemerintah. Padahal pangsa pasarnya cukup besar. Pemerintah saat ini, masih berfokus untuk pengembangan kendaraan listrik.

“Menurut saya tidak terlalu penting (insentif untuk hybrid) karena masih pakai bensin,” ujar Kepala Staf Kepresidenan, Moeldoko, di Indonesia International Motor Show (IIMS) 2024, JIExpo Kemayoran, Jakarta.

Moeldoko menjelaskan bahwa pemerintah lebih condong memberikan insentif keringanan pajak kepada kendaraan yang sepenuhnya bertenaga listrik. Menurut dia mobil listrik akan lebih berdampak pada negara, utamanya membantu mencapai misi lingkungan nol emisi pada 2060.

“Lebih baik (beri insentif) di EV, karena dampak nyata EV itu ada dua, dampak positifnya bagi masyarakat, bangsa, dan negara, yang pertama masalah lingkungan, yang kedua masalah besaran import BBM kita itu sangat-sangat besar,” ujar dia.

Selain besaran impor BBM yang tinggi, faktor utama lain yang mendorong fokus EV adalah Program Strategis Nasional (PSN) hilirisasi nikel. Indonesia saat ini menyandang status sebagai produsen nikel terbesar di dunia dengan total cadangan mencapai 21 juta metrik ton.

Sepanjang 2023, proyek hilirisasi nikel menjadi salah satu sumber investasi utama, yakni menyentuh Rp136,6 triliun. Pemerintah juga memproyeksi bahwa hilirasi nikel dapat meningkatkan pendapatan per kapita Indonesia hingga Rp331 juta pada 2050 mendatang.

Lebih lanjut, terkait dukungan pada industri kendaraan hybrid, , Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, mempertimbangkan untuk pemberian insentif pajak dalam waktu dekat. Aturan khusus terkait pemberian insentif itu akan dibahas di tingkat kementerian atau lembaga (K/L).

"Nanti kita akan bahas dengan kementerian teknis, kita sedang kaji," tegas Airlangga di Kantor Kemenko Perekonomian.

Airlangga menekankan konsep insentif mobil listrik itu akan serupa dengan model insentif pajak yang diberikan bagi kendaraan listrik berbasis baterai, yakni pajak pertambahan nilai ditanggung pemerintah atau PPN DTP.

"Sama PPN DTP, kalau sekarang kan di 1 persen, nanti kita akan exercise,” upap dia.

Meski begitu, Airlangga belum bisa menjanjikan kapan insentif itu akan bisa direalisasikan pemberiannya bagi para pembeli mobil hybrid. Sebab mesti ada hitung-hitungan dengan kementerian terkait lainnya.

"Hitung-hitungan ada tapi kita musti rapatin dulu," tegas Airlangga.

Pemerintah memang sejatinya perlu mempertimbangkan matang pemberian insentif untuk kendaraan hybrid. Selain karena memiliki pangsa pasar besar di Indonesia, kendaraan hybrid ini lebih pas di Indonesia dengan segala ekosistem yang ada.

Baca juga artikel terkait INSIDER atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Insider
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Dwi Ayuningtyas