Menuju konten utama

Ketika Dunia Baterai Kendaraan Listrik Mulai Menjauhi Nikel

Produsen otomotif kendaraan listrik mencari alternatif bahan baterai lain yang lebih terjangkau, aman, dan siklus lebih lama.

Ketika Dunia Baterai Kendaraan Listrik Mulai Menjauhi Nikel
Header Insider Baterai EV beralih ke Nikel. tirto.id/Fuad

tirto.id - Pada beberapa dekade terakhir, pamor mineral nikel melejit dan menjadi hasil tambang paling seksi berkat kebangkitan industri kendaraan listrik (electric vehicle/EV). Terlebih lagi, dengan cadangan mencapai 21 juta metrik ton, komoditas itu menjadi salah satu harta karun Indonesia yang paling berharga.

Menurut laporan U.S. Geological Survey, Ibu Pertiwi menyandang posisi sebagai negara dengan cadangan dan tingkat produksi nikel terbesar di dunia. Pada 2022, Indonesia menghasilkan 1,6 juta metrik ton bijih nikel, meningkat 53 persen dari 2021. Dengan jumlah tersebut, negara kita menguasai 51 persen dari total produksi nikel global.

Sadar akan potensi besar itu, Indonesia mendorong pengembangan baterai Nikel Mangan Kobalt (NMC 811) dengan kandungan nikel tinggi. Komposisinya katoda dengan nikel 80 persen, mangan 10 persen, dan kobalt 10 persen.

Studi Global EV Outlook 2023 menunjukkan bahwa baterai jenis NMC (Nickel Mangan Cobalt) masih menjadi primadona dengan pangsa pasar sekitar 60%. Disusul oleh LFP (Lithium Ferro Phosphate) 30% dan NCA (Nickel Cobalt Alumunium Oxide) sekitar 8%.

Namun, situasi akan segera berbalik. Ambisi Indonesia menguasai industri baterai kendaraan listrik (Electric Vehicle/EV) tampaknya perlu dikaji ulang. Pasalnya, beberapa produsen otomotif EV mulai meninggalkan nikel sebagai salah satu bahan komponen baterai.

Baterai Lithium Ferro Phosphate (LFP) belakangan permintaannya meningkat. Mengutip data Indonesia Electric Vehicle Outlook 2023, LFP menyumbang lebih dari separuh kebutuhan baterai EV di dalam negeri yakni 57,7 persen. Diikuti oleh baterai NCM (42,2 persen) dan asam timbal (0,1 persen).

Selaras dengan studi tersebut, EV Markets Reports memproyeksi bahwa valuasi pasar LFP global mencapai 12,5 miliar AS pada tahun 2022. Kemudian akan ada lompatan yang menakjubkan, LFP akan mencatatkan rerata pertumbuhan tahunan di level 19,7% pada periode proyeksi.

Pada tahun 2030 valuasinya menyentuh 52,7 miliar dolar AS. Hal ini menandakan adanya pergeseran besar dalam preferensi teknologi baterai. Hal ini mempertimbangkan bahwa pangsa pasar LFP yang awalnya hanya 6 persen pada 2020, menjadi 30 persen di 2022.

Saat ini, beberapa pemain utama kendaraan listrik seperti Tesla, Ford, dan produsen besar lainnya sudah mulai beralih ke baterai LFP di beberapa model kendaraan listrik mereka. Tesla misalnya menggunakan baterai LFP dalam model Model 3 Standard Range Plus dan Model Y Standard Range.

Sementara Ford telah mengumumkan rencana untuk menggunakan baterai LFP di Mustang Mach-E akhir tahun kemarin dan model truk pikap listrik F-150 Lightning akan mendapatkannya sebagai opsi pada tahun ini. Produsen mobil lain yang menggunakan baterai LFP termasuk BYD, CATL, dan Nio.

“Kita lihat baterai LFP mulai meningkat sekarang. Diperkirakan kalau terus menerus perkembangannya hari ini, maka LFP akan mengungguli NMC dari segi prosentase share market itu akan melampaui setelah 2027 kira-kira,” ujar Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa kepada Tirto.

Keunggulan LFP

Beralihnya beberapa produsen kendaraan listrik ke LFP tentu bukan tanpa alasan dan pertimbangan matang. Pakar Hidrometalurgi yang juga Guru Besar Teknik Metalurgi Institut Teknologi Bandung (ITB), Prof Zaki Mubarok, menjelaskan beberapa keunggulan LFP.

Pertama LFP lebih murah. Kemudian umur pakai lebih lama, dan tidak mudah panas, sehingga aspek safety lebih baik dibandingkan NMC.

Pernyataan tersebut diamini oleh Direktur Global Rekayasa Sistem Elektrifikasi Ford, Charles Poon, yang mengungkapkan alasannya menggunakan LFP karena bahannya yang lebih terjangkau untuk diproduksi.

Tentu saja ini menjadi keuntungan Ford yang ingin membuat kendaraan listrik dapat diakses oleh lebih banyak pelanggan. Di samping itu, beterai LFP juga cenderung memiliki masa pakai yang lebih lama.

Para peneliti di Gartner juga menunjukkan keuntungan lain menggunakan bahan kimia baterai LFP. Baterainya memiliki karakteristik keselamatan yang lebih baik dan tidak meledak dalam kondisi ekstrim. Baterai LFP juga menghilangkan kekhawatiran penggunaan kobalt atau nikel yang merusak lingkungan melalui pembuangan yang tidak tepat setelah masa berlakunya habis.

Keuntungan lain yang dihadirkan LFP dibandingkan baterai kimia berbasis nikel dan kobalt adalah baterai ini lebih mudah didaur ulang.

Teknologi Baterai Baru

Di tengah berbagai keunggulan LFP saat ini, kita tidak bisa menutup mata bahwa sudah mulai berkembang teknologi-teknologi baterai. Meskipun begitu, banyak yang meyakini bahwa baterai EV yang berbahan dasar lithium-ion akan tetap mendominasi perkembangan teknologi baterai di tahun 2024.

Mayoritas baterai berbasis lithium-ion menggunakan elektrolit cair, namun kini penggunaan lithium solid state menarik banyak perhatian. Pasalnya, menggantikan elektrolit cair dengan bahan yang padat berpotensi menciptakan baterai LFP dengan densitas energi yang lebih tinggi, waktu pengisian yang lebih cepat dan juga meningkatkan keselamatan.

Baterai lithium-ion konvensional saat ini menggunakan elektrolit cair sebagai pemisah antara anoda dengan katoda. Dalam baterai solid state, elektrolit cair oleh elektrolit padat.

Berbagai jenis bahan sedang diperiksa untuk elektrolit padat, bervariasi dari bahan logam atau keramik. Saat ini belum ada mobil listrik dengan baterai jenis ini namun diharapkan dalam dua sampai tiga tahun ke depan mobil produksi pertama akan tiba.

Di lain pihak, peneliti juga sedang mengembangkan alternatif bahan kimia lainnya, yakni baterai natrium-ion (Na-ion). Baterai natrium-ion ditemukan pada 1980-an. Namun potensi sebenarnya baru terlihat akhir-akhir ini.

Baterai ini secara desain mirip dengan baterai litium-ion, tetapi dengan natrium sebagai pengganti litium bahan kimia utamanya. Sodium tersedia secara luas, murah dan ramah lingkungan, alhasil memungkinkan baterai Na-ion memiliki biaya produksi yang lebih kecil.

Meskipun terdapat beberapa tantangan utama yang belum dipecahkan untuk memproduksi baterai Na-ion, raksasa manufaktur baterai seperti CATL dari Tiongkok dan Northvolt dari Swedia telah menunjukkan minat besar terhadap teknologi ini. Ini menjadi tanda bahwa teknologi ini akan segera digunakan secara komersial secara luas.

Nikel Masih Seksi

Berdasarkan penelusuran di atas terlihat bahwa, teknologi baterai EV terus berkembang dan makin menjauhi nikel. Walaupun begitu, mineral ini diperkirakan tetap menjadi harta karun RI.

Porsi NMC masih mendominasi baterai EV global. Sementara itu, teknologi baterai lainnya masih dalam tahap pengembangan dan belum sampai tahapan produksi massal.

"Saya sendiri belum lama berkunjung ke pabrik material baterai di Cina yang cukup besar, produksi mereka masih NMC," ujar Prof Zaki Mubarok kepada Tirto.

Tapi memang seharusnya Indonesia tidak hanya menggantungkan nikelnya terhadap kendaraan listrik saja. Sebab sebagian besar nikel di Indonesia didominasi kelas dua atau limonite. Jenis ini lebih cocok digunakan sebagai bahan stainless steel.

Argumentasi tersebut selaras dengan studi International Energy Agency (IEA) yang memaparkan bahwa permintaan nikel hingga tahun 2022 masih didominasi industri logam. Pemanfaatan nikel untuk baterai EV bahkan tidak sampai 10 persen.

Hal ini menandakan, pemerintah Indonesia masih berkesempatan untuk mengkaji lebih lanjut roadmap hilirisasi mineral nikel Tanah Air. Apakah pemerintah akan bersikukuh memfokuskan untuk pengembangan industri baterai EV? Atau membuka tangan untuk pemanfaatan nikel lainnya?

Baca juga artikel terkait INSIDER atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Dwi Ayuningtyas