Menuju konten utama

InJourney, Upaya Penyelamatan Industri Bandarudara & Aviasi RI

Injourney Group merupakan upaya meningkatkan efisiensi dan produktivitas BUMN bandar udara dan aviasi. Namun, beban yang ditanggung cukup berat.

InJourney, Upaya Penyelamatan Industri Bandarudara & Aviasi RI
Header Insider InJourney Upaya Penyelamatan Kebandarudaraan dan aviasi RI. tirto.id/Fuad

tirto.id - Transformasi industri kebandarudaraan dan aviasi menjadi babak baru di awal 2024. Ini setelah PT Aviasi Pariwisata Indonesia (Persero) atau InJourney, resmi membentuk PT Angkasa Pura Indonesia (InJourney Airports) sebagai subholding Injourney Group, pada 28 Desember 2023 lalu.

InJourney Airports merupakan peleburan antara PT Angkasa Pura I (AP I) dan Angkasa Pura II (AP II) yang juga merupakan anak usaha dari InJourney.

Kehadirannya diharapkan dapat semakin meningkatkan pelayanan bandara di Indonesia, melakukan transformasi strategi bisnis, serta memperkuat kualitas operasional yang menjadikan bandara sebagai face of the nation.

Di bawah naungan InJourney Airports, pengelolaan bandara-bandara semestinya bisa menjadi lebih sehat dan profitable. Pasalnya, jika berkaca pada pandemi COVID-19 di Tanah Air pada 2020-2022, beberapa bandara dimiliki Indonesia bak mati suri.

AP I saat ini mengelola sebanyak 15 bandara dari Tengah hingga Timur Indonesia. Sedangkan AP II menaungi sebanyak 20 bandara. Dengan peleburan ini, maka InJourney Airports akan memegang kendali sebanyak 35 bandara yang tersebar di Indonesia.

Dengan pengelolaan gemuk tersebut, pemerintah memproyeksikan InJourney Airports mampu menangani 172 juta penumpang per tahun dan akan berada di urutan kelima perusahaan operator bandara terbesar di dunia. InJourney Airports bahkan digadang mampu menduduki posisi ketiga terbesar di dunia dalam kurun waktu kurang dari lima tahun.

Tanggungan Beban

Sebenarnya sah-sah saja jika pemerintah memasang target demikian. Akan tetapi, ini bukan hanya soal peleburan dan penambahan kapasitas. Pemerintah perlu menjamin keselamatan, keamanan, dan pelayanan penerbangan ketika InJourney memegang kendali atas semua industri kebandarudaraan dan aviasi.

Musababnya, ketika berbicara holding BUMN, tidak semuanya berbuah manis. Kadang pembentukan ini justru keluar dari tujuan awalnya yang semestinya menciptakan nilai tambah, efisiensi, penguatan supply chain, dan renovasi bisnis modal.

Tengok saja BUMN Karya kita. Beberapa perusahaan plat merah yang bergerak di bidang konstruksi itu belakangan malah tengah mengalami persoalan serius. Hal ini lantaran empat perusahaan induk BUMN Karya tercatat memiliki utang jumbo.

Khawatir, nasib serupa juga dialami oleh Holding BUMN Pariwisata, InJourney. Menilik laporan keuangan InJourney dalam dua tahun ke belakang, perusahaan belum sepenuhnya survive dan masih terseok-seok.

Pada 2021 dan 2022, perusahaan tercatat masing-masing alami kerugian Rp7,53 triliun dan Rp913 miliar. Jika, diperinci kerugian tersebut mayoritas bersumber dari Injourney Airports, dalam hal ini AP I dan AP II.

Namun, pada kuartal III-2023 InJourney mampu mengembalikan keadaan dengan mencetak laba sebesar Rp1,14 triliun. Akan tetapi, laba yang ditorehkan tidak bisa menutup semua kerugian selama dua tahun sebelumnya. Alih-alih ingin efisiensi dan menyelamatkan industri kebandarudaraan, sebaliknya justru bisa menjadi beban bagi kesehatan keuangan perusahaan.

Apalagi saat ini, perusahaan tengah terbelit utang sebesar Rp4,6 triliun dari proyek Sirkuit Mandalika, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB). Rinciannya adalah kewajiban pembayaran jangka panjang Rp3,4 triliun dan kewajiban pembayaran jangka pendek sebesar Rp 1,2 triliun.

Manajemen bahkan mengajukan penyertaan modal negara (PMN) Rp1,19 triliun pada saat rapat dengar pendapat bersama Komisi VI DPR RI pertengahan Juni 2023. Dalam penjelasannya Direktur Utama InJourney, Dony Oskaria, menyatakan sebagian besar PMN tersebut atau sebesar Rp1,05 triliun akan digunakan untuk membayar utang.

Lebih lanjut, potensi beban juga akan bertambah jika maskapai Garuda Indonesia juga akan bergabung menjadi bagian InJourney. Saat ini, perkembangan Citilink-Garuda untuk merger ke InJourney sedang dalam proses. Proses tersebut akan melihat neraca equity setelah melalui proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).

Penunjukan Garuda Indonesia menjadi bagian InJourney tentunya bukan tanpa alasan. Pemilihan ini tentu bertujuan untuk menyehatkan kondisi keuangan perusahaan plat merah tersebut. Mengingat beberapa tahun ke belakang laporan keuangan perusahaan selalu mencatatkan rugi.

Menukil laporan keuangan PT Garuda Indonesia Tbk pada kuartal III-2023, Perseroan mengalami kerugian periode berjalan sebesar 72,06 juta dolar AS. Kondisi ini berbalik jika dibandingkan periode sama tahun sebelumnya (year-on-year/yoy), yang pada penutupan akhir tahun berhasil menyajikan rapor hijau.

Selain masalah kerugian, Garuda sebelumnya juga sempat melakukan skandal dengan memanipulasi laporan keuangannya pada 2018. Manipulasi yang dimaksud terkait pencatatan pendapatan kontrak kerja sama antara Garuda dengan Mahata yang diakui di awal.

Padahal, kontrak senilai 239,94 juta dolar AS itu memiliki jangka waktu perjanjian 15 tahun. Pencatatan awal tersebut membalikkan kondisi keuangan Garuda yang semestinya ‘merah’ menjadi ‘hijau.’

Mampukah InJourney Berdaya Saing?

Terlepas dari (potensi) beban kerugian dan utang anak perusahaan yang harus ditanggung InJourney, integrasi ini diharapkan dapat meningkatkan daya saing BUMN kebandarudaraan Indonesia.

AP Indonesia (InJourney Airports) akan menjadi satu-satunya pemilik sertifikat Badan Usaha Bandar Udara (BUBU) selain Unit Penyelenggara Badan Usaha (UPBU) milik Kementerian Perhubungan (Pemerintah). Selain itu, penggabungan aset perusahaan juga akan menjadi modal untuk bersaing di kancah internasional.

Terlebih lagi mengingat industri aviasi Indonesia diprediksi akan menjadi pasar transportasi udara terbesar ke-6 di dunia pada tahun 2034, dilansir dari Statista.

“Hal yang baik dari penggabungan ini adalah arah pengembangan kebandarudaraan Indonesia bisa menjadi lebih terarah,” imbuh Gatot.

Gatot juga menggarisbawahi pentingnya memastikan implementasi operasionalnya dilaksanakan dengan lebih baik. Misalnya terkait rencana menjadikan Indonesia menjadi hub penerbangan internasional, bisa lebih terarah bandara mana yang akan dipakai. Kemudian, antar bandara tidak saling bersaing yang tidak perlu, karena sudah dalam satu pengelolaan.

Lebih lanjut, dari sisi negatifnya adalah dengan tidak adanya persaingan di dalam negeri, dapat menyebabkan kinerja (keamanan dan layanan) perusahaan menjadi turun.

Perlu diingat bahwa sebagian besar bandara AP saat ini masih belum menguntungkan. Jika kinerja turun, bisa jadi kerugian menjadi lebih besar. Untuk itu, pengawasan oleh pemerintah harus lebih ditingkatkan agar keamanan dan pelayanan penerbangan tetap terjaga atau bahkan meningkat.

Langkah lainnya, pemerintah dapat menciptakan persaingan baru. Misalnya dengan mengundang pengelola bandara dari luar negeri untuk berinvestasi di bandara Indonesia. Dengan demikian, AP Indonesia nantinya dapat terpacu untuk tetap mempertahankan atau meningkatkan kinerjanya karena tetap ada pesaing.

Kekhawatiran lainnya adalah timbulnya kecemburuan dari operator maskapai lain, terutama setelah Garuda resmi bergabung ke keluarga InJourney. Pasalnya, sebelum bergabung saja, Garuda sudah mendapat perlakuan istimewa. Hal ini terlihat dari posisi gate maskapai yang dekat dengan pintu check-in imigrasi.

Di tengah dinamika terjadi, maka menarik kita nanti apakah integrasi ini bisa meningkatkan konektivitas udara yang efisien dan efektif untuk mendorong pertumbuhan dan pemerataan ekonomi di Indonesia?

Atau mampu mendukung ekosistem pariwisata dengan misi meningkatkan konektivitas udara, mendukung pertumbuhan pariwisata di Indonesia, meningkatkan cakupan dan kecepatan logistik udara serta meningkatkan kualitas customer experience. Mari kita lihat ke depannya.

Baca juga artikel terkait INSIDER atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Bisnis
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Dwi Ayuningtyas