Menuju konten utama

Teknologi Hijau, PR Berat Program Emisi Nol Bersih Indonesia

Raksasa korporasi global berdatangan ke Indonesia menawarkan investasi dan teknologi hijau.

Teknologi Hijau, PR Berat Program Emisi Nol Bersih Indonesia
Seorang wanita muda membeli tiket untuk angkutan umum di mesin otomatis atau menarik uang dengan kartu berdiri di luar di kota modern. iStockphoto/GettyImages

tirto.id - Dalam beberapa dekade terakhir, dunia kian lekat dengan teknologi hijau (green technology) untuk mendorong pembangunan berkelanjutan. Di tengah minimnya inovasi, raksasa korporasi global berdatangan ke Indonesia menawarkan teknologi tersebut.

Istilah teknologi hijau mengacu pada penggunaan teknologi guna menciptakan produk dan layanan ramah lingkungan. Teknologi hijau—sering juga disebut sebagai teknologi lingkungan—berkonsentrasi pada inovasi berkelanjutan yang memperhitungkan dampak lingkungan jangka pendek dan jangka panjang.

Pada dasarnya, teknologi hijau bertujuan melindungi dan memulihkan lingkungan, melestarikan sumber daya alam, dan memperbaiki kerusakan yang ditimbulkan di masa lalu. Dengan kata lain, teknologi ini berupaya meningkatkan kinerja sekaligus mengurangi biaya, konsumsi energi, dan produksi limbah.

Merujuk Investopedia, ada 5 kategori penerapan teknologi hijau. Pertama, energi alternatif berbasis energi terbarukan dengan nilai emisi karbon yang minim, bahkan nol. Contoh: teknologi panel surya, biomassa, turbin angin, panas bumi, gas alam, dst.

Kedua, teknologi kendaraan listrik untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Merujuk temuan Forum Ekonomi Dunia (World Economic Forum/WEF), sektor transportasi menyumbang setidaknya 16% emisi karbon di seluruh dunia.

Ketiga, teknologi pertanian berkelanjutan. Industri pertanian memiliki jejak karbon yang besar, mulai dari tingginya biaya penggunaan lahan dan air hingga konsekuensi ekologis dari pestisida, pupuk buatan, dan gas metana dari hewan ternak. WEF mencatat sektor pertanian menyumbang 18% emisi karbon dunia.

Keempat, teknologi daur ulang yang berupaya melestarikan sumber daya dengan penggunaan kembali bahan atau menemukan pengganti yang berkelanjutan. Dan terakhir ialah teknologi penangkap karbon, yang saat ini masih dalam skala kecil.

Infografik Teknologi Hijau

Infografik Teknologi Hijau. tirto.id/Quita

Lebih lanjut, pemerintah di seluruh dunia—khususnya negara maju—membelanjakan pendanaan besar di sektor ini sebagai komitmen untuk melestarikan alam dan mengurangi kerusakan lingkungan. Alhasil, sektor ini menarik investasi yang signifikan.

Vantage Market Research dalam risetnya menyebutkan pasar global teknologi ramah lingkungan dan berkelanjutan pada 2021 bernilai US$10,9 miliar atau setara Rp170 triliun (asumsi kurs Rp15.600/US$).

Dengan asumsi pertumbuhan tahunan majemuk (compounded annual growth rate/CAGR) sebesar 26,4%, pasar ini diperkirakan naik 4 kali lipat, menyentuh US$44,4 miliar pada 2028.

Pengembangan inovasi dan investasi energi hijau semakin marak diangkat oleh para pemimpin dunia karena desakan untuk memenuhi komitmen emisi nol bersih (net zero emission/NZE) mulai 2050. Sementara itu, Indonesia menyatakan kesiapannya untuk memenuhi komitmen tersebut di tahun 2060.

“Indonesia memiliki komitmen untuk mencapai net zero emission pada tahun 2060 atau lebih cepat dan target tersebut tidak boleh tergelincir,” ungkap Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dalam siaran pers.

Pada kesempatan yang sama, Airlangga menegaskan bahwa dalam dokumen Nationally Deteremined Contribution (NDC), Ibu Pertiwi menaikkan target pengurangan emisi menjadi 31,89% pada 2030 dengan target dukungan internasional sebesar 43,2%.

Prospek Teknologi Hijau di Indonesia

Pengembangan teknologi hijau di Ibu Pertiwi sejatinya terkendala oleh instalasi yang cenderung mahal dan belum adanya kebijakan pendukung pengembangan teknologi tersebut. Belum lagi bicara soal inovasi teknologi di Indonesia yang relatif lambat.

“Kendala secara umum untuk teknologi hijau adalah tantangan menciptakan terobosan teknologi yang mampu menjawab persoalan dan di saat yang sama memiliki tingkat keekonomian yang memadai,” ujar Laksana Tro Handoko, Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), dikutip dari Bisnis.com.

Salah satu contoh teknologi hijau yang terkendala adalah teknologi penangkapan, pemanfaatan, dan penyimpanan karbon (CCUS). Dilansir dari Katadata, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengakui teknologi CCUS memiliki tantangan biaya, skema perdagangan, dan regulasi.

Industri teknologi hijau memang belum sepenuhnya digarap di Indonesia. Meskipun terhadang beberapa kendala, pemerintah Indonesia tetap menunjukkan upaya mengantongi dana dan meningkatkan iklim investasi di industri teknologi hijau.

Melalui konferensi Tingkat Tinggi G20 pada November 2022, Indonesia mendapat sokongan dana US$20 miliar atau setara Rp312 miliar yang didapat lewat skema kerja sama transisi energi yang adil dan terjangkau atau dikenal dengan istilah Just Energy Transition Partnership (JETP).

Kerja sama ini lebih diperuntukkan untuk membantu Indonesia mempercepat transisi energi dari berbahan bakar fosil ke energi bersih dan terbarukan. Salah satu caranya adalah dengan mempensiunkan dini pembangkit listrik tenaga batu bara.

Selain itu, terdapat insentif fiskal dan non-fiskal bagi para pengembang energi terbarukan. ADB mencatat pemerintah menawarkan pengurangan pajak hingga 30% bahkan pembebasan pajak bagi perusahaan yang berinvestasi di industri tertentu. Insentif keuangan juga diberikan pada pengembang panel surya.

Tidak hanya pembangkit listrik energi terbarukan yang menerima bantuan investasi, beberapa perusahaan multinasional juga menunjukkan ketertarikan untuk terjun di industri teknologi hijau melalui pengembangan smart city di Ibu Kota Nusantara (IKN).

Perusahaan teknologi asal Taiwan Hon Hai Precision Industry Co., Ltd (Foxconn) menyampaikan niatnya untuk investasi di kota pintar di IKN melalui infrastruktur bus listrik dan jaringan IoT (Internet of Things), sebagaimana dikutip Antara.

Antara juga melaporkan perusahaan konglomerat asal Korea Selatan, LG Corporation, berniat mengembangkan smart city dengan menggandeng PT PP Tbk di IKN. Mereka juga berminat menggarap industri baterai listrik terintegrasi dengan investasi US$9,8 miliar.

Terbaru, raksasa teknologi asal Jerman Siemens menyatakan minat menggarap teknologi hijau, khususnya terkait pengembangan smart city di Tanah Air. Indonesia dinilai sebagai pasar besar baru pengembangan teknologi hijau berbasis infrastruktur berkelanjutan.

REKOR DUNIA PEMBANGKIT LISTRIK SIEMENS

Pekerja beraktivitas di lokasi pembangkit tenaga listrik Siemens di Beni Suef, Mesir, Senin (22/5). ANTARA FOTO/Andika Wahyu

“Teknologi merupakan pengungkit dan digitalisasi adalah kunci yang memungkikan transisi menuju infrastruktur pintar. Infrastruktur pintar adalah infrastruktur yang efisien dan berkelanjutan. Kami memungkinkan pelanggan melakukan transformasi untuk menjadi lebih efisien, tangguh, dan pintar,” tutur CEO PT Siemens Indonesia Lamine Jendoubi dalam keterangan persnya baru-baru ini.

Selain IKN, dia menilai Jakarta memiliki potensi besar untuk menjadi smart city. Siemens pun menggandeng Universitas Indonesia dan Institut Teknologi Bandung (ITB) untuk meningkatkan kesiapan SDM di bidang infrastruktur berkelanjutan di masa mendatang.

Semuanya Terletak pada Teknologi

Lembaga PBB untuk Program Lingkungan (UN Environment/UNEP) memaparkan bahwa penerapan teknologi hijau berpeluang mengurangi emisi gas rumah kaca hingga 25 gigaton/tahun. Aplikasi teknologi hijau utamanya diterapkan untuk sektor energi, transportasi, industri dan produksi, dan pertanian.

Argumentasi tersebut juga didukung oleh data WEF. Sebagai contoh, teknologi pertanian vertikal yang diterapkan di kota Berlin, Jerman menggunakan 99% lebih sedikit lahan, mengurangi penggunaan air dan pupuk masing-masing sebesar 95% dan 75%.

Selain itu, salah satu perusahaan di Swiss mampu menghasilkan alternatif daging nabati dengan emisi karbon dioksida (CO2) 74% lebih sedikit. Terobosan tersebut diprediksi bisa membebaskan 80% lahan pertanian di seluruh dunia yang digunakan untuk peternakan.

Lebih lanjut, dari sisi transportasi, Green Journal menyebutkan sebuah studi di Paris menemukan bahwa peralihan moda transportasi para komuter dari mobil dan transportasi umum ke skuter elektrik menghemat 330 ton emisi karbon.

Tidak hanya itu, teknologi hijau juga dapat membantu memecahkan masalah kelangkaan air bersih. Mengutip UN Foundation, National Geographic menulis bahwa kenaikan permintaan atas air minum berujung pada 1,8 miliar penduduk dunia yang berisiko kekurangan air minum di tahun 2025.

Teknologi air suling asal AS, bernama SunSpring Hybrid, menggunakan energi surya dan angin untuk mengubah sekitar 20.000 liter air kotor dari sungai atau sumur menjadi air bersih siap minum.

Mempertimbangkan berbagai manfaat teknologi hijau, beberapa negara di dunia sudah mengambil langkah terdepan. Salah satu landasan untuk mengukur kesiapan dan penerapan negara dalam penggunaan teknologi hijau adalah “The Green Future Index.”

Indeks ini mengevaluasi 76 negara, termasuk Indonesia, tentang kemajuan dan komitmen membangun masa depan rendah karbon. Berdasarkan laporan 2022, Islandia dan Denmark memimpin di posisi teratas dengan produksi listrik dari energi terbarukan dengan tingkat lebih besar dari yang dikonsumsi.

Di posisi tiga dan empat ada Belanda dan Inggris, yang mencatatkan kenaikan peringkat dibanding tahun sebelumnya. Belanda naik dari posisi 10 sedangkan Inggris naik dari posisi 17. Peningkatan ini dipicu membaiknya kebijakan lingkungan dan perubahan iklim .

Ilustrasi Green Future Index

Ilustrasi Green Future Index. (FOTO/The Green Future Index 2022)

Sementara itu, Indonesia berada di zona merah dan mengalami penurunan peringkat, dari posisi 57 menjadi 70. Laporan tersebut mencatat bahwa negara yang berada di zona merah karena lambatnya aplikasi teknologi hijau dan rendahnya komitmen.

Salah satu penyebabnya diyakini karena perlambatan dan penguncian aktivitas ekonomi terkait pandemi. Menghadapi ketidakpastian, banyak negara yang kembali ke kebiasaan lama, berbasis karbon-intensif, untuk membangkitkan perekonomian.

Intinya, lamban atau malas berinovasi untuk menjadikan teknologi hijau lebih murah.

Baca juga artikel terkait TEKNOLOGI HIJAU atau tulisan lainnya dari Dwi Ayunintyas

tirto.id - Bisnis
Penulis: Dwi Ayunintyas
Editor: Arif Gunawan Sulistiyono