tirto.id - Perbedaan antara PLTA dan PLTGL terletak pada berbagai aspek, mulai dari sumber energi hingga dampaknya terhadap lingkungan. PLTA dan PLTGL adalah teknologi yang sama-sama memanfaatkan alam, khususnya air, untuk menghasilkan energi, tapi apa yang membedakan keduanya?
Sebelum mengetahui perbedaan antara PLTA dan PLTGL, ada baiknya kita memahami dulu kedua teknologi ini. PLTA adalah singkatan dari pembangkit listrik tenaga air, sebuah teknologi yang memanfaatkan aliran air untuk menghasilkan listrik.
PLTA biasanya dibangun di sungai atau bendungan yang aliran airnya cenderung stabil dan konstan. Prinsip kerja PLTA adalah menggunakan energi air untuk menggerakkan turbin yang sudah dihubungkan dengan generator sehingga bisa menghasilkan listrik.
Sementara itu, PLTGL adalah singkatan dari pembangkit listrik tenaga gelombang laut. Sesuai namanya, PLTGL dibangun di laut lepas agar bisa memanfaatkan energi dari gelombang laut untuk menghasilkan listrik.
Di Indonesia, potensi energi terbarukan seperti air dan gelombang laut tergolong cukup besar. Indonesia telah memiliki banyak PLTA yang tersebar di berbagai wilayah, tetapi diketahui belum memiliki PLTGL. Indonesia pun digadang-gadang akan memiliki PLTGL berkapasitas 2 GW di tahun 2060 mendatang sebagai upaya memenuhi target emisi nol.
Apa Perbedaan PLTA dengan PLTGL?
PLTA dan PLTGL merupakan teknologi canggih yang sama-sama memanfaatkan energi air untuk menghasilkan energi listrik. Keduanya juga dianggap lebih ramah lingkungan dan bisa dijadikan penghasil listrik yang andal karena memanfaatkan sumber energi terbarukan.
Meski memiliki prinsip kerja serupa, keduanya tentu memiliki perbedaan di berbagai sisi. Berikut beberapa perbedaan antara PLTA dan PLTGL:
1. Sumber Energi dan Lokasi
Perbedaan pertama antara PLTA dan PLTGL adalah sumber energi yang digunakan. PLTA memanfaatkan energi kinetik dari aliran air, biasanya dari aliran sungai atau bendungan. Aliran airnya pun cenderung konstan dan dipengaruhi oleh perbedaan ketinggian lanskap dan gravitasi.
Di sisi lain, PLTGL memanfaatkan energi dari gelombang laut sehingga harus dibangun di laut lepas.
Sedikit berbeda dengan sungai dan bendungan yang aliran airnya cenderung stabil, besarnya gelombang laut berpotensi berubah-ubah karena pengaruh angin sehingga kemungkinan dapat memengaruhi kemampuan PLTGL dalam menghasilkan listrik.
2. Teknologi dan Cara Kerja
Perbedaan antara PLTA dan PLTGL yang berikutnya bisa dilihat dari cara kerja dan teknologi yang digunakan.
Secara sederhana, PLTA memiliki beberapa komponen utama seperti turbin dan generator. Aliran air akan membuat turbin berputar, sedangkan putaran turbin akan mengaktifkan generator sehingga bisa menghasilkan listrik.
PLTGL memiliki prinsip kerja serupa. Dikutip dari laman Mission Renewable Energy, PLTGL dilengkapi dengan perangkat seperti pelampung yang sudah dihubungkan dengan generator di bawah laut.
Seiring dengan pergerakan gelombang laut yang naik turun, maka pelampung juga ikut bergerak dengan arah yang sama.
Gerakan naik turun inilah yang akan mengaktifkan generator untuk menghasilkan listrik. Energi listrik kemudian dialirkan ke pantai/daratan melalui kabel bawah laut.
3. Kerentanan Terhadap Iklim dan Cuaca
Perbedaan antara PLTA dan PLTGL dapat dilihat dari segi performanya ketika dipengaruhi oleh iklim dan cuaca.
PLTA bergantung pada aliran dan volume air untuk menggerakkan turbin agar bisa menghasilkan listrik. Namun, di musim kemarau, ada kemungkinan volume air berkurang dan memengaruhi kinerja PLTA.
Dilansir dari laman International Energy Agency, kasus ini pernah terjadi di Venezuela. Di tahun 2016 dan 2018, aliran listrik di negara ini terputus karena bendungan yang surut akibat musim kemarau parah.
Hal serupa juga pernah terjadi di California ketika air di Danau Powell turun sangat rendah akibat kekeringan.
Cuaca seperti musim kemarau atau hujan tentunya juga berdampak pada gelombang laut, tapi kemungkinan tidak signifikan seperti aliran air sungai, danau, atau bendungan. Namun, perubahan iklim akibat pemanasan global diketahui bisa bedampak besar pada gelombang laut.
Menurut penelitian yang dilakukan Risk Frontiers yang dipublikasikan dalam Geophysical Research Letters, kenaikan air laut akibat pemanasan global membuat gelombang air laut menjadi lebih kuat. Tak hanya kenaikan air laut, suhu yang meningkat juga ikut berpengaruh.
Laut bisa menyerap panas sehingga permukaan laut menjadi hangat. Hal ini mendorong udara hangat di atasnya untuk naik sehingga membantu meningkatkan sirkulasi atmosfer dan angin yang dapat menyebabkan perubahan kondisi gelombang laut.
4. Dampak Negatif pada Lingkungan
Perbedaan antara PLTA dan PLTGL yang terakhir berkaitan dengan dampak lingkungan. Meski dianggap sebagai solusi sumber energi berkelanjutan, keduanya ternyata tidak sepenuhnya ‘ramah’ terhadap lingkungan.
PLTA mungkin tidak menimbulkan pencemaran udara secara langsung, tapi teknologi ini rupanya bisa merusak lingkungan sekitarnya. Pembangunan bendungan atau waduk bisa mengubah karakteristik, suhu, hingga sifat kimiawi air sehingga berpengaruh pada kehidupan di area perairan tersebut.
PLTGL juga dikhawatirkan dapat mengganggu ekosistem laut. Hewan laut bisa saja tidak mendeteksi adanya perangkat PLTGL melalui sinyal suara, memungkinkan terjadinya tabrakan atau terjerat kabel bawah laut.
Medan elektromagnetik yang dihasilkan oleh instalasi PLTGL juga bisa mengganggu orientasi spesies laut.
Selain itu, peralatan PLTGL dapat menyebabkan perubahan karakteristik gelombang yang akhirnya memengaruhi pergerakan sedimen, arus laut, dan keseluruhan struktur kolom air.
Pembangkit Listrik Apa yang Paling Efisien?
Selain PLTA dan PLTGL, terdapat banyak jenis pembangkit listrik yang memanfaatkan energi terbarukan.
Contohnya pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB), pembangkit listrik tenaga surya (PLTS), dan masih banyak lagi. Lalu, manakah pembangkit listrik yang paling efisien?
Dikutip dari laman PCI Energy Solutions, pembangkit listrik yang menggunakan tenaga air seperti PLTA adalah jenis yang paling efisien dibandingkan yang lain.
Tingkat efisiensi PLTA bisa mencapai 90 persen, jauh lebih tinggi dibandingkan pembangkit listrik dengan sumber energi terbarukan lainnya..
Hal ini disebabkan karena sungai atau bendungan menyalurkan air secara langsung ke turbin yang mengaktifkan generator untuk menghasilkan listrik. Dari proses ini, kehilangan energi selama proses konversi diketahui relatif minim.
Pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) memiliki tingkat efisiensi rata-rata sekitar 33 persen.
Artinya, ada 67 persen energi yang hilang dan hanya 33 persen yang diubah menjadi listrik. Namun, beberapa PLTN modern diperkirakan memiliki efisiensi yang lebih tinggi hingga 45 persen.
Sementara itu, pembangkit listrik tenaga gas (PLTG) dengan siklus sederhana memiliki tingkat efisiensi 30 persen, sedangkan PLTG dengan siklus gabungan jauh lebih efisien karena ada 60 persen energi yang dapat diubah menjadi listrik.
PLTB memiliki tingkat efisiensi yang tidak jauh berbeda, yaitu sekitar 35-47 persen. Di pihak lain, PLTS menjadi pembangkit listrik yang paling tidak efisien dibandingkan yang lain.
Tingkat efisiensi PLTS hanya sekitar 18-25 persen, tetapi angka ini diperkirakan masih akan terus meningkat.
Perbedaan antara PLTA dan PLTGL mencerminkan bagaimana teknologi memanfaatkan potensi energi yang tersedia di alam dengan cara yang unik.
Keduanya memiliki kelebihan dan tantangan masing-masing, tapi tetap menjadi solusi yang berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan energi di masa depan sambil menjaga keseimbangan lingkungan.
Editor: Erika Erilia & Yulaika Ramadhani