tirto.id - Sejak 2019 Indonesia mulai serius mengembangkan industri kendaraan listrik (electric vehicle/EV) dan menetapkan target yang cukup ambisius. Namun harap hati-hati, alam dan masyarakat bakal terkena imbas buruk serius jika limbahnya tak terkelola.
Per tahun 2025 nanti, pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) menargetkan setidaknya ada 2,5 juta pengguna kendaraan listrik, di mana Republik ini memproduksi 400.000 mobil listrik dan 1,76 juta unit motor listrik.
Untuk memenuhi ambisi itu, Peraturan Presiden (Perpres) nomor 55 tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) untuk Transportasi Jalan dirilis. Di dalamnya, ada lima arahan strategis untuk pengembangan industri kendaraan listrik.
Selanjutnya, untuk memberikan keringanan pajak, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 73 tahun 2019 tentang Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah Berupa Kendaraan Bermotor yang Dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
Lobi-lobi tingkat dunia pun dilancarkan untuk menarik kerja-sama dengan pabrikan asal Korea Selatan seperti Hyundai, LG dan pabrikan otomotif Jepang, Honda, untuk membangun pabrik baterai kendaraan listrik di Bumi Pertiwi.
Langkah agresif ini diambil bukan sebagai keputusan impulsif tetapi dengan mempertimbangkan potensi yang ada.
Harap dicatat, Indonesia adalah negara dengan porsi cadangan nikel terbesar dunia, yakni mencapai 22%, sekaligus memiliki akses akan kobalt dan bauksit yang merupakan komponen penting untuk produksi baterai EV.
Di luar cadangan nikel, Indonesia menurut Federasi Otomotif Asia Tenggara memiliki potensi besar sebagai salah satu pemain utama pada industri kendaraan bermotor di Asia Tenggara dengan pangsa pasar mencapai 32%, disusul Thailand 27% dan Malaysia 18%.
Dengan dua potensi besar tersebut, arah peradaban dunia saat ini menuju pada pengembangan industri EV guna mengurangi emisi karbon, sekaligus mempertahankan potensi dan eksistensi industri otomotif nasional.
Perlu diketahui dalam beberapa dekade mendatang, berbagai negara akan mulai melarang penjualan kendaraan bermotor berbahan bakar fosil, jika mengacu pada laporan Indonesia Investment.
Termasuk di antaranya adalah Norwegia, Singapura, Belgia, Swedia, China, Thailand, dan Hong Kong. Indonesia baru akan menyusul pada tahun 2050 dan oleh karenanya perlu mempersiapkan pengembangan mobil non-fosil.
Berbagai insentif pun diberikan sehingga harga jual kendaraan listrik kian terjangkau. Kini, mobil listrik di Indonesia dibanderol di kisaran harga Rp 75 juta-Rp 300 juta, di luar mobil EV premium berharga miliaran. Konsumsi energinya juga lebih terjangkau.
“1 liter bensin itu setara 1,2 kWh listrik. Dengan harga listrik per kWh Rp 1.444 atau dibulatkan Rp 1.500 itu berarti 1,2 kWh listrik harganya Rp 1.700,” ujar Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo, dalam pernyataan resmi.
Sebagai perbandingan, harga seliter bensin adalah Rp 14.000, bahkan paling mahal ada yang tembus Rp 21.000 per liter. Dengan pindah ke mobil listrik, biaya bahan bakar pun terpangkas menjadi seperenamnya.
Lubang Hitam Propaganda
Di tengah kondisi demikian, pesan berantai menyebar akhir November lalu mengungkap “borok” kendaraan listrik. Media sosial Twitter diramaikan oleh cuitan tumpukan sepeda listrik yang dinarasikan dibuang karena mahalnya biaya penggantian baterai EV.
“Skuter listrik hijau yang telah mencapai akhir masa pakai baterai. Karena baterai sangat mahal untuk diganti, skuter listrik ditinggalkan karena membuangnya dengan cara lain itu berbahaya dan mahal,” ujar akun @Xx17965797N.
Video yang diunggah dari cuitan tersebut telah ditonton lebih dari 594,7 ribu dan di re-tweet 11,1 ribu, sebelum kemudian akunnya menghilang karena disuspen.
Video dan foto tersebut tentu menimbulkan pertanyaan di benak masyarakat. Apakah kendaraan listrik memang ramah lingkungan dan lebih terjangkau, jika ternyata biaya pergantian baterainya sangat mahal dan limbah baterainya berbahaya?
Menanggapi rilis video tumpukan sepeda listrik, media luar negeri Lithuania dan Snopes memastikan bahwa informasi tersebut adalah salah.
Snopes merilis artikel untuk menjelaskan kebenaran situasi video yang awalnya tersebar lewat media TikTok tersebut. Disampaikan bahwa sepeda listrik tersebut teronggok bukan karena masa hidup baterai yang habis dan terlalu mahal diganti, melainkan karena stok yang tidak terserap.
Produsen sepeda listrik tersebut terlalu agresif memproduksi sepeda listrik di tengah permintaan yang belum seberapa. Akibatnya, mereka memutuskan efisiensi dan penjualan pun seret sehingga stoknya teronggok begitu saja.
PostSen menyebutkan alasan lain.
Permintaan atas sepeda listrik di China turun akibat pembatasan penggunaan sepeda listrik di beberapa kota besar. Kebijakan itu diambil setelah para pengemudi mengabaikan batas kecepatan, menyerobot jalur pejalan kaki, melanggar rambu lalu lintas, dll.
Akibatnya, penjualan sepeda listrik tersebut anjlok dan stok pun tidak terserap, hingga berakhir teronggok di lapangan.
Terkait biaya, di Indonesia hingga kini belum diketahui berapa sebenarnya biaya penggantian baterai kendaraan listrik. Produsen hanya menginformasikan bahwa EV memiliki masa operasional sekitar 10 tahun dengan biaya operasional minim.
Secara umum, harga baterai tidak murah. Menurut laporan RecurrentAuto, biaya baterai menyumbang 85% ongkos produksi Tesla. Jika baterai rusak sehingga harus ‘turun baterai’, maka sang pemilik harus merogoh kocek sebesar 85% dari harga beli mobilnya.
Biaya penggantian baterai mobil EV Tesla (kapasitas 75 kwh) di angka US$180/kwh, atau setara Rp2,8 juta/kwh (asumsi kurs Rp15.600/US$). Dengan begitu, biaya penggantian baterai EV berkisar Rp 210 juta. Untuk kapasitas lebih besar (100 kwh), ongkosnya jadi Rp 280 juta.
Sebagai perbandingan, mobil berbasis pengapian (combustion) disarankan ‘turun mesin’ setelah 10 tahun masa pakai, guna dicek dapur pacunya dan perlu-tidaknya penggantian komponen mesin.
Jikapun harus ganti komponen, risiko dan biayanya lebih tersebar dan tak terpusat di satu blok seperti baterai EV yang mencapai ratusan juta.
Ini membuat mobil listrik kurang kompetitif jika dibandingkan dengan mobil bensin. Dilema demikian tidak ditemukan di motor listrik (motik) karena model bisnisnya berbeda, di mana berlaku sistem pakai bersama untuk baterai, laiknya tabung gas elpiji.
Daur Ulang Baterai EV Tak Mudah
Biaya penggantian baterai EV itu menjadi kelemahan di ranah konsumen. Di ranah produsen mobil, ada kelemahan yang juga harus diselesaikan jika ingin industri kendaraan listrik benar-benar berkelanjutan, yakni: pengolahan limbah baterai.
Melansir NationalGrid baterai EV bekas dalam skala kecil bisa didaur ulang untuk keperluan listrik rumah, sedangkan dalam skala besar bisa dipakai untuk menyimpan daya pada pabrik dan jalan. Namun hingga kini tak diketahui sejauh mana daur ulang baterai EV tersebut telah dijalankan.
“Saat ini, secara global, sangat sulit untuk mendapatkan angka terperinci berapa persen baterai Lithium-ion yang didaur ulang, tetapi nilai yang dikutip semua orang adalah sekitar 5%... di beberapa negara jauh lebih sedikit,” ujar Anderson, co-direktur lembaga penelitian di Birmingham, Inggris, dikutip BBC.
Daur ulang baterai EV (berbasis ion lithium) jauh berbeda dari daur ulang baterai perkakas elektronik. Pemerintah negara maju kini mulai mewajibkan produsen EV untuk membangun pabrik daur ulang baterai EV karena banyak di antara produk mereka sudah memasuki masa satu dekade.
Mengapa daur ulang baterai EV penting? Baterai mobil listrik mengandung unsur-unsur logam berbahaya seperti litium, kobalt, timbal yang termasuk dalam kategori limbah B3 (Bahan Beracun dan Berbahaya).
Baru-baru ini Uni Eropa telah mendorong proposal agar produsen EV bertanggung jawab memastikan produk mereka tidak dibuang begitu saja di akhir masa pakai. Beberapa pabrik besar juga sudah mulai melakukan langkah inisiasi.
Produsen mobil Nissan, misalnya, memutuskan menggunakan baterai EV yang sudah pensiun untuk menyimpan dan menyediakan daya cadangan pada salah satu arena pertandingan di Amsterdam, Belanda.
Kemudian, Toyota memasang baterai EV bekas di toserba (toko serba guna) sebagai penyimpan daya listrik yang dipanen dari panel surya. Energi yang disimpan kemudian akan digunakan untuk lemari es, penghangat makanan, dst.
Produsen penggagas mobil listrik, Tesla, baru-baru ini juga meluncurkan Redwood Materials yang merupakan kumpulan start-up dengan tujuan untuk memecahkan masalah cara mendaur ulang baterai mobil listrik.
Oleh karena itu, tugas produsen adalah memproduksi baterai EV yang ekonomis tanpa melepas potensi daur ulang baterai EV bekas. Hal ini diharapkan bisa lebih meyakinkan calon pembeli untuk beralih ke kendaraan listrik.
Dan yang terpenting, bagaimana memastikan pemilik mobil EV mendapat fleksibilitas tatkala ‘turun baterai’ laiknya mobil bensin ketika ‘turun mesin.' Jangan hanya memberi dua pilihan: mengganti dengan baterai baru yang mahal atau membeli kendaraan baru.
Editor: Arif Gunawan Sulistiyono