Menuju konten utama
Kebijakan Energi

Menghitung Kesanggupan APBN Biayai Upaya Pensiunkan Dini PLTU

Sekjen Kementerian ESDM Dadan Kusdiana sebut implementasi program pensiun dini PLTU, nantinya akan menggunakan instrumen pembiayaan campuran.

Menghitung Kesanggupan APBN Biayai Upaya Pensiunkan Dini PLTU
Area pemukiman di sekitar PLTU Suralaya (3/6/2021). Warga Suralaya, Cilegon, Banten mengalami berbagai masalah kesehatan dan kegagalan panen akibat polusi udara dan debu batubara yang dihasilkan oleh PLTU Suralaya. (tirto/Bhagavad Sambadha)

tirto.id - Pemerintah membuka opsi penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk mendanai percepatan transisi energi di bidang ketenagalistrikan. Termasuk di dalamnya mempercepat pengakhiran waktu operasi Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara.

Kebijakan tersebut ditetapkan melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 103 Tahun 2023 tentang Pemberian Dukungan Fiskal Melalui Kerangka Pendanaan dan Pembiayaan Dalam Rangka Percepatan Transisi Energi di Sektor Ketenagalistrikan. Aturan itu ditetapkan dan ditandangani pada 4 Oktober 2023 oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.

Peraturan menteri ini bertujuan untuk mewujudkan penyelenggaraan kebijakan transisi energi yang berkeadilan dan terjangkau oleh pemerintah dengan beberapa cara. Termasuk di antaranya pemberian dukungan fiskal melalui kerangka pendanaan dan pembiayaan dalam rangka percepatan transisi energi di sektor ketenagalistrikan atau yang selanjutnya disebut 'Platform Transisi Energi.'

Fasilitas Platform Transisi Energi ini, menurut Pasal 3 PMK tersebut dimanfaatkan untuk keperluan sejumlah keperluan. Pertama, percepatan pengakhiran waktu operasi PLTU batu bara, percepatan pengakhiran waktu kontrak perjanjian jual beli tenaga listrik PLTU batu bara.

Kedua, percepatan pengakhiran waktu kontrak perjanjian jual beli tenaga listrik PLTU batu bara. Ketiga, dan/atau pengembangan pembangkit energi terbarukan sebagai pengganti atas kedua tindakan di atas. Sumber pendanaannya, dapat berasal dari APBN dan/atau sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

“Dukungan fiskal yang diberikan dalam fasilitas Platform Transisi Energi sebagaimana dimaksud memperhatikan kemampuan keuangan negara,” demikian tertulis dalam ayat 3 Pasal 3 PMK 103 Tahun 2023 sebagaimana dikutip Tirto, Selasa (31/10/2023).

Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana menjelaskan, dalam implementasi program pensiun dini PLTU, nantinya akan menggunakan instrumen pembiayaan campuran atau blended finance. Keterlibatan APBN untuk mendanai program tersebut termasuk di dalamnya.

“Opsi itu itu sebagian kita konsepnya blended finance, jadi pendanaannya itu campur. Mungkin ada dari grant, ada dari hibah, pinjaman, ada dari APBN, mungkin nanti ada dana dari filantropi. Jadi itu nanti sekarang yang sedang disusun Kemenkeu,” kata Dadan di Gedung Kementerian ESDM, Jakarta Pusat, dikutip Selasa (31/10/2023).

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira menilai, kehadiran regulasi teknis memang cukup penting dalam mengakomodir dukungan pendanaan APBN dalam percepatan penutupan PLTU batu bara. Karena selama ini komitmen untuk mempercepat penutupan PLTU batu bara sering terhalang oleh kecilnya mobilisasi dana domestik terutama dari APBN.

“Bentuk dukungan dari APBN bisa berbentuk pengalihan subsidi energi berbahan bakar fosil kepada program penutupan PLTU batu bara PLN," ujar Bhima kepada Tirto, Selasa (31/10/2023).

Bhima mengasumsikan, jika satu pembangkit batu bara dengan kapasitas setara PLTU Cirebon-1 membutuhkan dana Rp13,4 triliun untuk pensiun dini, maka penghematan belanja subsidi energi senilai 28 persen dari alokasi subsidi energi APBN 2024 sebesar Rp189 triliun bisa menghasilkan penutupan empat PLTU batu bara.

Penghematan subsidi energi, kata Bhima, tentu tidak selalu berbentuk kenaikan harga atau pengurangan kuota bagi konsumen. Salah satunya bisa berbentuk menutup kebocoran Bahan Bakar Minyak (BBM) Solar, dan kebocoran subsidi LPG 3 kilogram (kg) yang selama ini terjadi.

“Cara lain adalah dengan segera mengimplementasikan pajak karbon untuk mendapatkan sumber pendapatan transisi energi. Regulasi pajak karbon sudah ada, jadi tinggal di eksekusi secepatnya," kata dia.

Di samping pendanaan secara tunai, pemerintah juga bisa mengurangi berbagai insentif perpajakan dari sektor berbasis fosil. Dengan begitu, maka tercipta ruang fiskal yang lebih lebar untuk pendanaan transisi energi.

Lebih lanjut, kata Bhima, pemerintah perlu memastikan agar proses pendanaan dari dana publik APBN bersifat transparan dan partisipatif. Misalnya untuk pendanaan early retirement dari PLTU batu bara juga memasukkan dana kompensasi kepada masyarakat sekitar dan pekerja yang terdampak.

“Bentuk dana kompensasi bisa berupa dana tunai kepada masyarakat, tambahan dana ke BPJS Ketenagakerjaan, dan reskilling atau peningkatan skill dari pekerja existing," ucap dia.

Penggunaan APBN Dinilai Bukan Langkah Strategis

Direktur Eksekutif Energy Watch, Daymas Arangga Radiandra justru berpandangan, penggunaan APBN untuk pensiunkan dini PLTU batu bara menjadi langkah tidak strategis. Sebab, nilai tambah yang didapatkan oleh pemerintah sedikit.

"Ini kami ibaratkan ingin memancing ikan tongkol, tapi menggunakan umpannya pakai ikan kerapu," kata Daymas kepada Tirto, Selasa (31/10/2023).

Pemerintah, kata dia, seharusnya bisa lebih melihat dan menelaah kenapa progres percepatan transisi energi di Indonesia berjalan lambat. Padahal Indonesia memiliki potensi EBT yang besar yakni mencapai 3.686 GW yang terdiri dari surya, air, bioenergi, angin, panas bumi, serta yang bersumber dari laut.

Walau demikian, pemanfaatan energi terbarukan di Indonesia masih sangat kecil, berada di angka 11.612 MW per Juni 2022, atau sekitar 0,3 persen dari total potensi yang ada. Hal ini tentu mengindikasikan bahwa sektor energi terbarukan masih kurang menarik bagi investor.

“Pemerintah justru harus mendorong ekosistem transisi energi ini supaya lebih menarik, baik melalui kebijakan-kebijakan ataupun insentif dan disinsentif yang menarik investor," ujar dia.

Meski begitu, dia memahami salah satu alasan kenapa proses transisi energi ini berjalan lambat, salah satunya adalah karena masih terjadinya over supply listrik, yang mana sumber tenaga listrik kita masih 60 persen ditopang oleh PLTU batu bara.

“Pemerintah harus melihat dari poin tersebut, bagaimana permasalahan over supply ini dapat terselesaikan. Barulah kita bisa fokus dalam percepatan transisi energi," terang dia.

Sementara itu, Anggota Komisi VII DPR RI, Mulyanto mengaku tidak setuju, jika program transisi energi ini harus ditanggung APBN. Sebab yang berkepentingan terhadap program ini bukan hanya Indonesia, sehingga ini semestinya ditanggung bersama.

“Masa kita harus merogoh kocek sendiri dari APBN untuk program yang bersifat global seperti ini?" tegas Mulyanto dalam keterangannya diterima Tirto.

Mulyanto khawatir jika pendekatan seperti ini berlanjut, maka APBN akan jebol, pembiayaan sektor lain terbengkalai. Ujung-ujungnya tarif listrik naik dan masyarakat lagi yang dirugikan.

Pendapat sama disampaikan Wakil Ketua Komisi VII DPR, Eddy Soeparno. Menurut Eddy, APBN tidak kuat untuk menanggung biaya program pensiun dini PLTU batu bara. Sebab masih banyak kebutuhan bangsa Indonesia lainnya yang tidak kalah pentingnya.

“APBN tidak kuat untuk menanggung pensiun dini seluruh PLTU. Harus ada sumber lainnya," ujar Eddy.

Dia menjelaskan, saat ini untuk mempensiunkan dini PLTU Pelabuhan Ratu dan PLTU Cirebon dibutuhkan dana Rp25 Triliun, dengan rincian Rp12 triliun untuk Pelabuhan Ratu dan Rp13 triliun untuk PLTU Cirebon-1. Untuk Cirebon-1 ini sudah ada komitmen dari ADB untuk membiayainya.

"Nah ini kan besar sekali, baru dua PLTU. Setidaknya harus ada sumber-sumber pendanaan lain yang dapat digunakan untuk mendukung program pensiun dini PLTU ini," kata dia.

Sejauh ini, mekanisme suntik mati terhadap PLTU Pelabuhan Ratu dilakukan dengan cara alih kelola dari PT PLN kepada PT Bukit Asam. Semula PLTU ini direncanakan beroperasi selama 24 tahun, namun setelah pengalihan tersebut, masa operasional pembangkit dipangkas hanya menjadi 15 tahun.

Sedangkan rencana suntik mati kepada PLTU Cirebon-1 akan menggunakan skema Energy Transition Mechanism (ETM) dengan dukungan Asian Development Bank (ADB). ADB telah meneken perjanjian untuk memensiunkan PLTU berbahan bakar batu bara Cirebon-1 di Kanci, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat.

Rendahnya Komitmen Alternatif Pembiayaan Lain

Selain menggunakan APBN, untuk mempercepat proses transisi energi, Indonesia telah mendapatkan komitmen pendanaan alternatif lain dari beberapa negara dan lembaga keuangan global. Pertama melalui skema mekanisme Transisi Energi atau Energy Transition Mechanism (ETM), di mana pendanaan ini berasal dari Climate Investment Fund (CIF) yang disalurkan lewat Asian Development Bank (ADB).

Skema ETM terdiri dari dua, pertama Fasilitas Pengurangan Emisi (Carbon Reduction Facility) yang digunakan untuk pensiun dini dari pembangkit listrik tenaga batu bara (PLTU) di Indonesia. Kedua, Fasilitas Energi Bersih (Clean Energy Facility) ditujukan untuk mengembangkan atau menginvestasikan pembangunan fasilitas energi hijau.

Kemudian ada Just Energy Transition Parthership (JETP). Pembiayaan skema JETP fokus dalam upaya pensiun dini Pembangkit Listrik Tenaga UAP (PLTU) dan transisi ke energi yang lebih bersih.

Dalam hal ini, Indonesia mendapatkan komitmen mobilisasi pendanaan sebesar 20 miliar dolar AS akan berlangsung selama 3-5 tahun setelah JETP diluncurkan. Di mana porsi pendanaan 10 miliar dolar AS berasal dari anggota IPG dan 10 miliar dolar AS lainnya dari aliansi bank-bank swasta Global Financial Alliance for Net Zero (GFANZ).

Namun, dari beberapa skema pembiayaan di atas dirasa masih kurang menarik dan tidak ada komitmen jelas dari negara-negara pendonor, sehingga pemerintah terpaksa menggunakan opsi APBN.

“Saya melihat JETP ini tidak serius membantu kita. Jaminan pendanaan murah untuk pensiun dini PLTU tidak jelas. Kalau menggunakan dana komersil jelas memberatkan pihak pembangkit atau PLN," kata Mulyanto kepada Tirto, Selasa (31/10/2023).

Penggunaan dana APBN untuk suntik mati PLTU juga tidak adil bagi sektor lain yang membutuhkan APBN. Agenda global ini, kata Mulyanto, harusnya dipikul bersama terutama peran negara maju sangat vital untuk membantu aspek pendanaan.

“Sementara terkesan mereka sibuk dengan urusan domestik masing-masing, sehingga komitmen membantu negara berkembang dalam implementasi NZE ini terlihat lemah,” kata politikus PKS tersebut.

Sementara itu, Bhima berharap proses pendanaan dalam JETP dan ETM hingga komitmen investasi Cina yang baru di sektor energi bersih bisa segera direalisasikan. Tentu besar harapan bentuk pendanaan bagi Indonesia dari berbagai negara dan lembaga multilateral lebih banyak berbentuk hibah dibandingkan pinjaman.

“Seluruh bentuk pendanaan dalam transisi energi perlu dipastikan tidak menciptakan beban utang baru, disaat rasio pembayaran bunga dan pokok utang di 2024 mencapai lebih dari 42 persen dari total pendapatan negara,” ucap dia.

Oleh karena itu, pemerintah bisa menggunakan berbagai instrumen dana penutupan PLTU batu bara seperti debt swap for coal retirement, yakni menukar pembayaran utang dengan penutupan PLTU batu bara. Cara lain dengan debt cancellation yang bisa didorong ke negara maju-G7 sehingga pemerintah memiliki ruang fiskal yang lebih luas untuk melakukan transisi energi secara cepat.

“Jika bentuk pendanaan adalah pinjaman (consessional loan), pemerintah diminta memperhatikan faktor kenaikan tingkat suku bunga global, dan syarat-syarat yang akan dibebankan ke Indonesia sehingga tidak memberatkan dalam jangka panjang," tegas Bhima.

Baca juga artikel terkait PLTU BATU BARA atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Bisnis
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz