tirto.id - “Tidak akan ada tawa, kecuali tawa kemenangan atas musuh yang kalah,” kata George Orwell dalam novel 1984.
Penggalan kalimat di atas datang dari seorang tokoh juru bicara partai dalam novel klasik George Orwell berjudul 1984 yang dengan tangan besi memimpikan dunia ideal. Dunia di mana humor atau tertawa hanya boleh menjadi tanda bagi kekalahan dan penaklukan musuh. Suatu bentuk satu-satunya loyalitas yang disebut Orwell dalam novelnya sebagai, ‘loyalitas kepada partai.’
Untungnya, kita tidak hidup dalam dunia Orwellian. Indonesia pascareformasi tumbuh menjadi negara yang jatuh-bangun menganyam demokrasi. Demokratisasi disalurkan sebisa mungkin pada aspek-aspek kehidupan masyarakat, termasuk humor.
Humor dan panggung komedi kini menjadi konsumsi sehari-hari masyarakat. Lewat acara saluran televisi, pentas komedi, hingga diskusi informal, menyajikan humor untuk menghibur kesumpekan hidup warga. Humor sebagaimana sifatnya yang bisa mencairkan suasana, dapat menjadi sarana menyampaikan agenda kritik sosial, budaya, hingga agenda politik dengan cara yang universal.
Maka tak heran jika dinamika politik terkini kerap beririsan dengan humor dan panggung komedi. Sudah tidak asing lagi bagi masyarakat melihat politikus sekelas calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres), melontarkan guyonan untuk memancing tawa dan bercanda bersama warga biasa.
Panggung komedi tak jarang digunakan politikus untuk tampil dan numpang eksis sambil menunjukkan sisi mereka yang humanis. Termasuk juga dilakukan para capres yang akan berlaga dalam Pemilu 2024.
Teranyar, capres Ganjar Pranowo tampil di acara komedi yang ada di sebuah stasiun tv. Dalam salah satu adegan acara tersebut, Ganjar di-roasting atau digojlok oleh komedian, Kiky Saputri. Adegan mereka menjadi viral di media sosial setelah Kiky mengaku kecewa karena banyak lelucon dan adegannya yang dipotong pihak produksi.
Alhasil, tidak sedikit netizen yang menganggap Ganjar tak kerasan menanggapi lelucon Kiky yang ditujukan padanya. Ditambah, beredar video potongan adegan yang menggambarkan mimik wajah capres dari PDIP ini tertekuk masam dalam acara tersebut.
Asumsi tersebut belakangan dibantah oleh Ganjar Pranowo. “Roasting stand up comedian itu kan pasti juga dalam konteks lucu, masa gitu aja baper (bawa perasaan), wong yang lain aja kita enggak baper,” kata dia di Sekolah Partai PDIP, Jakarta Selatan pada Sabtu (28/10/2023).
Ganjar di beberapa kesempatan memang kerap memakai humor dalam berpidato atau bertemu politikus lain. Ia kerap menggunakan humor untuk melunakkan kesan formal dan mencairkan suasana.
Tidak hanya Ganjar, capres dari Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP) Anies Rasyid Baswedan, juga pernah tampil dalam acara stand up comedy. Anies bahkan beberapa kali melakukan komedi tunggal atau open-mic di panggung untuk menyampaikan lelucon.
Prabowo Subianto, capres dari Koalisi Indonesia Maju (KIM), juga tak mau ketinggalan. Belakangan, Prabowo sering menampilkan kesan humoris dan humanis di hadapan khalayak. Sikap ini banyak dinilai jauh berbeda dari dua pilpres sebelumnya.
Efektif Sampaikan Pesan
Pakar komunikasi Universitas Pelita Harapan, Emrus Sihombing menilai, humor memang merupakan sarana yang tepat dalam menyampaikan pesan politik. Lewat komedi, kata Emrus, proses mendidik dan penyerapan informasi tersampaikan dengan balutan hiburan.
“Biasanya informal dan bisa melepaskan manusia di situ dari ketegangannya dalam kehidupan kesehariannya,” ujar Emrus dihubungi reporter Tirto, Senin (30/10/2023).
Selain itu, humor menjadi media yang efektif bagi politikus karena tidak semua masyarakat bisa menyerap informasi secara formalistik. Dengan komedi, masyarakat bisa terhibur dan tertawa sambil menyerap pesan yang disampaikan kepada mereka.
Bahkan lebih jauh, Emrus menyatakan, komedi bisa mengarahkan sikap pemilih. Contohnya, saat politikus bekerja sama dengan komedian dalam menyampaikan visi-misi, humor bisa memantik emosi warga dan menimbulkan kesan positif.
“Ini bisa berefek pada voting behavior. Substansi persoalan (yang ingin disampaikan) bisa tetap disampaikan dan khalayak bisa merasa senang dalam hiburan dan merasa bahagia,” kata Emrus.
Kendati demikian, ia menyatakan, politikus yang ingin menggunakan humor dalam sarana menyampaikan pesan politik, perlu bekerja sama dengan komedian secara profesional. Hal ini menghindari kejadian seperti humor yang melampaui batas sehingga menimbulkan kesan negatif pada politikus itu sendiri.
“Tidak ada pesan komunikasi yang tidak dirancang. Harus dirancang dan harus ada deal yang positif antara komedian dengan kandidat paslon. Jadi dikontrak secara profesional dan dibayar komedian itu,” jelas Emrus.
Kerja sama antara politikus dan komedian memang bukan hal yang baru. Seperti ketika Presiden AS Barack Obama pada 2014, menggandeng komedian Zach Galifianakis dalam menyampaikan pesan politiknya. Obama memanfaatkan parodi dan komedi untuk menggaet pemilih muda.
Pengamat politik dari Populi Center, Usep Saepul Ahyar menilai, komedi memang saat ini menjadi salah satu cara bagi capres-cawapres untuk dilabeli merakyat. Selain itu, komedi diharapkan mampu menyasar pemilih muda agar bisa menangkap pesan politik paslon.
“Isi bisa serius tapi kemasan itu yang harus kreatif karena tuntutan zaman. Tidak disampaikan terlalu panjang dan tidak terlalu pendek,” ujar Usep dihubungi reporter Tirto, Senin (30/10/2023).
Melalui komedi, kata Usep, pemilih juga akan menjadi penasaran dengan program-program yang ditawarkan capres-cawapres. Ia menegaskan, substansi menjadi penting agar pesan politik yang disampaikan bisa diterima oleh masyarakat.
“Ini bisa membuat orang semakin penasaran dan akhirnya memperdalam dengan pakai sarana lain yang lebih serius,” tutur Usep.
Adapun hadirnya politikus di panggung komedi atau dalam acara roasting, disebut sebagai cara baru agar dinilai sebagai sosok yang demokratis, tidak otoriter, dan menerima kritikan. Karena menanggapi komedi membutuhkan kedewasaan dan kontrol diri.
“Menyikapi seperti itu perlu kecerdasan dan kedewasaan. Dan itu bisa menjadi media merakyat karena sering ditonton, maka capres bisa dilirik pemilih,” jelas Usep.
Komedi memang terbukti menjadi media menyampaikan pesan yang efektif dan dapat mengubah cara pandang politik masyarakat. Tentu kita tidak lupa dengan kisah fenomenal Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy, yang memenangi Pemilu Ukraina pada 2019 meskipun berlatar belakang komedian.
Zelenskyy dikenal warga Ukraina sebagai aktor yang memerankan sosok presiden dalam parodi di serial televisi. Siapa sangka, rakyat Ukraina betul-betul memilih Zelenskyy sebagai presiden dengan meraup 70 persen perolehan suara. Komedian itu menggeser petahana Petro Poroshenko dari bangku presiden.
Komedi, Demokrasi, dan Nalar Kritis
Komedi pada fungsinya sering kali menjadi media untuk menjaga sikap kritis dan semangat berdemokrasi. Fungsi komedi sebagai alat kritik sosial punya sejarah panjang dalam menyampaikan resistensi dan perlawanan pada keadaan yang menjepit. Tak jarang komedi juga pernah ada pada masa menjadi sebuah simbol perlawanan terhadap represi penguasa.
Litbang Kompas dalam laporan 2020 berjudul ‘Gus Dur, Humor, dan Demorkasi’ mencatat, “saat ketegangan mewarnai perjalanan demokrasi, pesan dalam bentuk guyonanlah yang menjadi jalan tengah untuk terus merawat kewarasan bangsa.” Laporan tersebut mencontohkan figur Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, sebagai politikus yang sering memakai humor untuk mencairkan suasana dan permasalahan bangsa.
“Guyonan yang ditampilkan oleh Gus Dur seakan menjadi pengingat bagi bangsa ini betapa pentingnya humor untuk merawat semangat demokrasi di Indonesia,” tulis Litbang Kompas.
Di sisi lain, komedi juga memiliki sifat paradoksikal yang sulit dipisahkan. Komedi dapat melanggengkan status quo dan menjadi sarana untuk merendahkan kelompok terpinggirkan. Pada bentuk yang lain, komedi bisa berubah menjadi media menormalisasi penindasan.
Seperti trend yang belakangan viral di media sosial TikTok, ketika beberapa pengguna dari negara Israel membuat video olok-olokan dengan menampilkan parodi korban perang di Palestina. Video ini mengundang reaksi geram dari netizen yang mengutuk keras tindakan keji Israel membombardir rakyat Palestina sejak awal Oktober 2023.
Itulah mengapa, menurut pengamat sosial dan politik Universitas Negeri Medan (Unimed) Bakhrul Khair Amal, komedi harus selalu disikapi dengan nalar kritis. Termasuk, kata dia, politikus yang menggunakan komedi akhir-akhir ini untuk menampilkan dirinya di khalayak.
“Instrumen humor bisa menjadi kamuflase dan memantik empati sesaat pada penonton,” ujar Bakhrul dihubungi reporter Tirto, Senin (30/10/2023).
Bakhrul tak menampik bahwa komedi mudah diterima masyarakat sehingga tak jarang kerap digunakan politikus mencapai tujuannya. Kendati demikian, publik harus ingat bahwa dalam tiap manuver politik, memiliki unsur drama yang dimainkan sehingga perlu disikapi dengan kejelian.
“Karena drama ini termasuk melalui panggung komedi, akan menghilangkan objektivitas berpikir. Padahal kita ingin lihat calon melalui integritas dan jejak rekamnya,” terang Bakhrul.
Jangan sampai, kata Bakhrul, eksistensi politikus di panggung komedi dan penampilan humoris menggerus sifat pemilih kritis. Namun, ia tak menampik komedi sebagai sarana berpolitik yang dibutuhkan untuk memecah suasana kaku, formal, dan kelewat angker dari sosok politikus.
Ini mengingatkan kita pada kontestasi Pilpres 2024 yang perlu dibawa santai dengan tetap mengedepankan objektivitas. Sebagaimana filsuf Belanda Johan Huizinga, yang menyatakan manusia sebagai Humo Ludens atau mahluk yang sejatinya senang bercanda dan bermain-main. Jadi, jangan serius-serius banget gitu lho, dibawa rileks saja dan penuh tawa.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz