tirto.id - Mata Nurhalifah, warga Gundih, Bubutan, Surabaya, Jawa Timur, seakan menerawang jauh ke belakang ketika ditanya soal almarhum ayahnya, Syaiful Arief. Sang ayah meninggal saat menjalankan tugas sebagai petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). Nur dan ayahnya memang tak begitu akrab, tapi ketika tahu Syaiful meninggal, penyesalan yang tersisa di benaknya adalah “Andai saya tahu kemarin [bakal kelelahan begini], sudah saya larang lebih keras.”
Syaiful adalah satu dari 894 korban meninggal saat maupun paska pemilu serentak 2019. Berbeda dari lima tahun sebelumnya, pemilu serentak 2019 menyelenggarakan pemilu presiden, serta anggota DPR RI, DPRD provinsi, DPRD Kabupaten/Kota dan DPD RI. Kotak suara yang harus dipilih meningkat, persiapannya pun tambah sulit.
Yang cukup jadi sorotan adalah tidak adanya batasan usia maksimal untuk menjadi petugas KPPS. Syaiful tetap bertugas meski usianya sudah menginjak 69 tahun. Nur mengaku bapaknya memang aktif dalam kegiatan pemerintahan. Dia sempat menyarankan kepada ayahnya untuk digantikan oleh yang lebih muda, tetapi ayahnya menolak.
Selain faktor ekonomi, Syaiful merasa senang karena bisa terlibat aktif meski di umurnya yang sudah memasuki masa pensiun. Alhasil, setelah pemilu selesai dilaksanakan, Syaiful justru kelelahan dan meninggal beberapa hari kemudian.
Pelaksanaan Pemilu 2019 yang membuat ratusan petugas KPPS meninggal itu menjadi catatan penting. Bahkan tak sedikit yang meminta agar dilakukan evaluasi menyeluruh agar kejadian serupa tidak terulang.
Steidy Rundengan, Aparatur Sipil Negara (ASN) di Sekretariat KPU Minahasa Selatan, dalam artikelnya berjudul “Problematika Pemilu Serentak 2024 dan Rekonstruksi Regulasi” mencatat bahwa beban kerja KPPS harus dikaji ulang.
Dengan banyaknya surat suara, petugas KPPS harus mampu mengedarkan surat pemberitahuan kepada pemilih; membuat Tempat Pemungutan Suara (TPS); dan menyelenggarakan pemungutan dan penghitungan suara dengan surat suara yang banyak.
“Mereka sudah bekerja sejak H-3 tiada henti sampai larut malam, bahkan sampai pagi,” catat Steidy. “Hal ini membuat mereka kelelahan dan ada yang sampai tak mampu menyelesaikan pengisian Formulir C1 atau salah melakukan pengisian. Bahkan lebih buruk lagi, ada yang jatuh sakit dan bahkan meninggal dunia.”
Kelelahan ini masih sangat mungkin bertambah karena harus ada proses rekapitulasi penghitungan suara setelah pemilihan. Belum lagi banyaknya teknis soal surat suara dan pemilihan yang harus dipatuhi dan disosialisasi.
Karena itu pula, Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini menyatakan, perlu adanya pembinaan dan sosisalisasi yang menyeluruh kepada seluruh penyelenggara pemilu termasuk petugas KPPS.
Kekhawatiran dan masukan Titi sebenarnya beralasan mengingat keluarga korban KPPS sempat menyatakan bahwa tidak banyak anak muda atau petugas KPPS seutuhnya mengerti tentang sosialisasi dan teknis pemungutan suara.
“Itulah makanya KPU seharusnya bisa memberikan waktu yang lebih panjang untuk penyuluhan persiapan pemilu. Itu harus jelas biar nanti tidak terlalu melelahkan ketika pemilu diselenggarakan,” kata Titi kepada Tirto.
Memangkas Biaya?
Pemilu serentak yang harus menelan banyak korban diklaim sejak 2014 akan menghemat biaya. Nyatanya, perhelatan Pemilu 2019 harus merogoh kantong APBN sebesar lebih dari Rp25 triliun. Angka ini juga tidak terhitung hemat-hemat amat.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mencatat, malah ada pemborosan anggaran sebesar Rp179 miliar. Antara lain:
- 39 Permasalahan ketidakhematan Rp163,94 miliar, 5,04 ribu Dolar Australia, 6,60 juta Won Korea, 439,03 ribu Ringgit Malaysia; 12 permasalahan ketidakefisienan Rp1,51 miliar; 267 permasalahan ketidakefektifan Rp230,65 juta.
- Permasalahan ketidakpatuhan terhadap perundang-undangan. Masalah tersebut terdiri dari 55 permasalahan kerugian sebesar Rp7,57 miliar; 16 permasalahan kekurangan penerimaan sebesar Rp203,97 juta; serta 77 permasalahan administrasi.
Askolani yang saat itu menjabat Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan, mengakui adanya kenaikan anggaran pada Pemilu 2019 ini jika dibandingkan pelaksanaan sebelumnya.
Menurut dia, setidaknya terdapat dua faktor yang memengaruhi kenaikan anggaran tersebut. Faktor pertama, adanya pemekaran daerah. Hal tersebut berdampak pada bertambahnya jumlah penyelenggaran pemilu di daerah mulai dari Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan Suara (PPS), hingga petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS).
"KPU Provinsi jumlahnya bertambah satu ya, dari 33 sekarang jadi 34. Kemudian untuk KPU kabupaten, itu bertambah 17 KPU Kabupaten dari 497 menjadi 514 KPU Kabupaten/Kota," terang Askolani, seperti dilansir laman Kementerian Keuangan kala itu.
Meski disebut ada pemborosan pada Pemilu 2019, tapi pemilu serentak 2024 tetap diselenggarakan. Sekali lagi, Indonesia akan menguji efektivitas dari pemilu serentak yang sudah melahirkan korban jiwa yang di dalam piagam atau sertifikat dilabeli sebagai “pahlawan demokrasi.”
Biaya yang dikeluarkan awalnya disebut-sebut bisa mencapai lebih dari Rp110 triliun. Namun dalam keterangan terbaru, biaya yang dikeluarkan akhirnya menurun menjadi Rp76,6 triliun. Biaya ini tetap lebih besar daripada pemilu-pemilu sebelumnya.
Meski sekarang KPU sudah membatasi usia maksimal petugas KPPS menjadi 55 tahun, tetapi risiko kehilangan nyawa itu diprediksi belum akan hilang. KPU sendiri tak bisa menjamin tidak akan terulang kejadian yang sama. Yang jelas, pemilu serentak yang sudah merenggut nyawa ratusan orang dan diklaim bisa menjadi lebih hemat, justru menghasilkan pemilu yang boros biaya.
“Kami harus membuktikan hari ini lebih baik. Contohnya dalam pengaturan tentang pelaporan dana kampanye,” kata Komisioner KPU Idham Kholik kepada Tirto.
Idham menambahkan, “Dalam bentuk kebijakan-kebijakan strategis dan inovatif juga misalnya, membatasi usia yang di mana sekarang KPU membatasi usia badan ad hoc, KPPS itu 55 tahun.”
Idham menuturkan, dari pelbagai perubahan yang dilakukan KPU untuk pemilu serentak 2024 ini, yang paling utama adalah soal menjaga nyawa petugas KPPS dan meningkatkan kesejahteraan petugas. Sebelumnya, petugas KPPS dan perangkatnya diperkirakan hanya menerima Rp700 ribu. Namun sekarang mereka diperkirakan bisa mendapat bayaran antara Rp1,1 juta hingga Rp2,5 juta.
Meski, sekali lagi, kesejahteraan itu justru menghasilkan pemilu mahal yang berisiko nyawa. Kendati demikian, Idham tetap percaya diri pemilu ini tidak akan menghasilkan bloody pemilu.
“Dahulu kenapa penyelenggara itu wafat karena faktor comorbid (penyakit bawaan) dan dimotivasi kelelahan. Karena itu kami mendorong mereka yang punya imunitas yang bisa diandalkan untuk beban pekerjaan,” kata dia menambahkan.
===========
Tulisan ini merupakan hasil Fellowship Excel Awards bertajuk “Encouraging Free and Fair Election” bekerja sama dengan Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN).
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Abdul Aziz