tirto.id - Ketiga pasangan calon presiden dan calon wakil presiden sudah mulai membagikan visi misi mereka. Selain menyoroti target dalam pencapaian sektor ekonomi, hukum, dan kesejahteraan sosial, isu kesehatan menjadi salah satu sektor krusial yang hadir pada ketiga visi misi bakal capres-cawapres.
Salah satu permasalahan kesehatan yang mendasar tersebut adalah stunting (tangkes). Dalam ketiga paslon capres-cawapres, upaya pengentasan stunting menjadi salah satu fokus utama mereka dalam membenahi isu kesehatan Tanah Air.
Misalnya, pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (AMIN), menetapkan target untuk menurunkan stunting hingga 11-12,5 persen pada 2029. Misi ini tercantum dalam dokumen Visi, Misi, dan Program Kerja Pasangan Anies-Muhaimin.
“Menurunkan prevalensi stunting dari 21,6 persen (2022) menuju 11 - 12,5 persen (2029) melalui pendampingan ibu hamil hingga 1.000 hari pertama kehidupan anak,” demikian tertulis dalam dokumen visi misi AMIN.
Sementara itu, pasangan Ganjar Pranowo-Mahfud MD, menargetkan capaian penurunan prevalensi stunting yang lebih tinggi lagi. Mereka memiliki target menurunkan prevalensi stunting hingga di bawah 9 persen.
“Dukungan gizi dan akses layanan kesehatan selama masa kehamilan dan menyusui. Program 1.000 hari pertama, serta pasokan gizi untuk anak hingga usia lima tahun. Dengan target prevalensi stunting di bawah 9 persen serta ibu dan ayah menjadi penjaga kesehatan keluarga,” bunyi misi pasangan Ganjar-Mahfud, dikutip dari dokumen visi misi pasangan ini.
Di sisi lain, pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka tidak menargetkan angka prevalensi stunting dalam dokumen visi-misinya. Namun mereka menyebut beberapa program pengentasan stunting, seperti program memberi makan siang dan susu gratis di sekolah dan pesantren, serta bantuan gizi untuk anak balita dan ibu hamil.
“Menambahkan Kartu Anak Sehat yang dimasukkan dalam program perlindungan sosial dan kesehatan sebagai penanggulangan stunting,” tulis misi pasangan Prabowo-Gibran, dalam dokumen visi-misi mereka.
Prabowo-Gibran juga memiliki misi untuk memperbaiki kualitas gizi, air bersih, dan sanitasi masyarakat dalam mengatasi ancaman stunting.
Melihat ambisi ketiga paslon dalam mengatasi stunting, menyaratkan betapa pentingnya isu ini untuk dibenahi. Pasalnya, penurunan angka stunting di pemerintah Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat ini masih memiliki tantangan dan hambatan.
Penurunan angka prevalensi stunting tahun 2021 ke 2022 baru 2,8 persen, dari target idealnya 3,4 per tahun agar sesuai target pada 2024. Pemerintah Jokowi memiliki target prevalensi stunting mencapai 14 persen di tahun 2024.
Sementara itu, hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2022 menyatakan, angka prevalensi stunting di Indonesia baru mencapai 21,6 persen. Angka yang masih cukup tinggi untuk memenuhi target 14 persen di 2024.
Pemerhati kesehatan dari Global Health Security Griffith University, Dicky Budiman menyatakan, isu stunting memang sangat perlu dibenahi dalam pemerintahan mendatang. Ini menjadi permasalahan krusial karena berkaitan dengan kemaslahatan dari generasi masa depan Indonesia.
“Anak yang stunting ini akan cenderung untuk memiliki masalah di kognitif maupun masalah perkembangan, gangguan perkembangan, pertumbuhan. Ini akan berdampak pada kemampuan dia secara pendidikan, termasuk masalah produktivitas secara ekonomi,” ujar Dicky dihubungi reporter Tirto, Kamis (26/10/2023).
Menurut Dicky, masalah stunting secara historis di Indonesia erat kaitannya dengan malnutrisi kronik termasuk lemahnya akses pelayanan kesehatan. Tantangan yang terbesar, kata dia, Indonesia memiliki masalah meningkatkan nutrisi yang merata bagi anak-anak.
Tantangan ini berkelindan dengan masalah literasi di masyarakat yang masih kental dengan budaya dan kearifan tradisional serta kepercayaan norma. Hal ini biasanya mempengaruhi dalam cara mengasuh dan pemberian asupan makanan pada anak.
“Selain itu, penanganan masalah kemiskinan, root cause dari kemiskinan itu menjadi esensial dalam mengurangi kasus stunting,” tambah Dicky.
Upaya para Paslon
Waketum DPP Partai Gerindra, Habiburokhman menegaskan, penanganan stunting masuk dalam prioritas program dari paslon Prabowo-Gibran. Menurut dia, ini menjadi alasan mengapa program makan siang dan susu gratis ditempatkan dalam urutan pucuk.
“Kami sadar sekali bahwa sumber daya manusia harus dibenahi agar negara kita bisa benar-benar bersaing dengan negara lainnya,” ujar Habiburokhman saat dihubungi Tirto, Kamis (26/10/2023).
Menurut dia, budaya minum susu masih amat rendah di Indonesia. Padahal, kata dia, susu adalah nutrisi penting yang harus dikonsumsi anak perkembangan otak dan tubuh anak bisa maksimal.
“Kita ingin anak-anak kita cerdas dan sehat serta kuat tubuhnya,” ungkap Habiburokhman.
Sementara itu, pasangan Ganjar-Mahfud yakin target prevalensi stunting yang dikejarnya merupakan tujuan yang realistis. Hal ini disampaikan oleh Juru bicara TPN Ganjar-Mahfud, Sunanto.
Cak Nanto, sapaan akrabnya, menilai bahwa upaya pemerintah saat ini sudah baik dalam penanganan stunting. Sebab itu, paslon mereka akan mendukung dan menggenjot capaian yang sudah ada saat ini.
“Jadi kami menggenjot untuk lebih karena ini kan kebutuhan mendasar bagi masyarakat untuk bisa memiliki sumber daya manusia yang menyongsong Indonesia Emas 2045,” ujar Cak Nanto, dihubungi reporter Tirto, Kamis (26/10/2023) malam.
Ia menambahkan, pengentasan stunting penting dilakukan secara kolektif dan mendasar. “Agar pengentasan stunting diiringi pemahaman pentingnya gizi agar menjadi budaya. Ini problem mendasar yang harus dituntaskan,” kata dia.
Di sisi lain, saat dimintai konfirmasi, kubu Koalisi Perubahan AMIN tidak kunjung merespons permintaan wawancara Tirto soal visi misi mereka terkait stunting. Kami menghubungi tim, mulai Ketua DPP Nasdem Willy Aditya, Ketua DPP PKS Pipin Sopian, Ketua DPP PKB Cucun Syamsurizal, dan Waketum PKB Jazilul Fawaid.
Sedangkan cawapres dari kubu AMIN, Muhaimin Iskandar, hanya menjawab singkat soal target stunting yang akan dibereskan oleh pihaknya.
“Iya (jadi) kan (di visi misi ini) perlindungan untuk ibu hamil dan anak-anak. Jadi sejak nol usia (anak), negara harus campur tangan,” kata Cak Imin, kepada awak media di Jakarta, Kamis (26/10/2023) malam.
Target yang Tidak Mudah
Dosen Program Studi Kesehatan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Narila Mutia Nasir menyatakan, berkaca pada capaian stunting pemerintah saat ini, target yang dibawa capres-cawapres akan sangat berat untuk terealisasi. Apalagi beberapa paslon, kata dia, menargetkan prevalensi stunting lebih dari target pemerintah saat ini, yaitu 14 persen.
“Ini bukan sekadar angka dan kalau kita bicara realnya gitu ya bagaimana dengan yang stunting itu sendiri dengan segala validasi yang ada di lapangan itu kemungkinan besar untuk menurunkan ke angka 14 persen aja sekarang ini sulit,” jelas Narila dihubungi reporter Tirto, Kamis (26/10/2023).
Menurut Narila, memiliki suatu target yang tinggi memang sah-sah saja, namun intervensi yang realistis jauh lebih penting. Terlebih, isu stunting memang bisa saja dicatut untuk menjadi kepentingan paslon capres-cawapres menarik pemilih.
“Tapi memang stunting ini kan isu seksi ya gitu, maksudnya isu yang kemudian di mana-mana dan kayaknya jadi apa ya everything is related to stunting,” ujar Narila.
Ia menambahkan, penanganan stunting harus dilakukan secara holistik. Bagi Narila, stunting bukan hanya persoalan masalah gizi anak. Di baliknya ada kemiskinan yang mengakar, alur pangan yang harus baik, sanitasi dan kebutuhan air bersih, hingga bagaimana peran negara menjaga imunitas anak-anak dan memperhatikan ibu hamil.
“Jadi tantangannya bagaimana pendekatannya harus holistik dan yang disebut dengan lintas sektor bukan hanya di tataran pembicaraan gitu, tapi bagaimana implementasinya itu sampai ke bawah,” tegas dia.
Sementara itu, pemerhati kesehatan cum anggota Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Iqbal Mochtar menilai, masalah stunting akan selalu berulang jika pemerintah gagal dalam menangani isu-isu pendapatan keluarga dan bagaimana ketahanan pangan di masyarakat.
“Stunting itu bukan masalah kesehatan, tapi ada persoalan ekonomi yang memang belum tertuntaskan,” ujar Iqbal dihubungi reporter Tirto, Kamis (26/10/2023).
Ia menambahkan, perlu ada pemerataan pendapatan bagi orang-orang yang berada di bawah garis kemiskinan, terutama masyarakat yang berada di daerah-daerah tertinggal. Hal ini karena keadaan tersebut masuk dalam faktor risiko stunting.
“Nah kalau kita memperbaiki kondisi ini, itu secara otomatis akan membantu meningkatkan penghasilan pemerintah di dalam menurunkan prevalensi stunting ini,” kata dia.
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Siti Nadia Tarmizi menyatakan, penanganan stunting memang masih memiliki faktor hambatan utama. Masalahnya adalah, bagaimana memastikan intervensi pencegahan dan penanganan stunting dapat berjalan tepat sasaran dan dimanfaatkan oleh rematri, balita dan para ibu.
“Ini perlu dukungan semua pihak, termasuk pola asuh pemberian makanan yang baik perlu dilakukan oleh para ibu dengan benar,” ujar Nadia dihubungi reporter Tirto, Kamis (26/10/2023).
Pemerintah saat ini, kata Nadia, terus mengupayakan agar target prevalensi stunting 14 persen bisa dicapai pada 2024. Salah satunya, mendorong cakupan dan kualitas dari 11 intervensi spesifik stunting.
“Bahkan dengan strategi baru untuk mencegah munculnya stunting baru. Dengan mendeteksi dan mengintervensi dini balita yang berat badan (BB) tidak naik, BB-nya kurang ataupun yang kurang gizi,” jelas Nadia.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz