Menuju konten utama
Pemilu Serentak 2024

Saat Harga Sembako Melesat Naik di Tengah Hiruk Pikuk Pilpres

Di tengah hiruk pikuk politik pendaftaran capres-cawapres, publik justru dihadapkan dengan masalah harga pangan yang belakangan melesat naik.

Saat Harga Sembako Melesat Naik di Tengah Hiruk Pikuk Pilpres
Buruh pelabuhan membongkar beras impor dari kapal kargo berbendera Vietnam di Pelabuhan Malahayati, Krueng Raya, Kabupaten Aceh Besar, Aceh, Rabu (11/10/2023). ANTARA FOTO/Ampelsa/tom.

tirto.id - Tiga pasangan capres-cawapres telah resmi mendaftar ke KPU RI sejak 19-25 Oktober 2023. Ketga paslon tersebut, antara lain: Anies Baswedan-Abdul Muhaimin Iskandar, Ganjar Pranowo-Mahfud MD, serta Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.

Dari ketiga pasangan tersebut, yang cukup menyita perhatian publik adalah pasangan Prabowo-Gibran. Selain karena mendaftar ke KPU pada hari terakhir pendaftaran, yaitu 25 Oktober 2023, paslon ini juga dikaitkan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 16 Oktober yang menuai kontroversi.

Namun di tengah hiruk pikuk politik pendaftaran capres-cawapres tersebut, publik justru dihadapkan dengan masalah harga pangan yang belakangan melesat naik. Rapat koordinasi pengendalian inflasi yang digelar virtual, Senin (23/10/2023), pemerintah berupaya mengontrol kenaikan harga pangan ini.

Mengutip data Badan Pusat Statistisk (BPS), sebagaimana dirilis Kemendagri, mereka mencatat ada kenaikan harga pangan secara signifikan. Komoditas pangan beras misalnya mengalami kenaikan harga hingga Rp17 ribu per liter. Kenaikan terjadi di 283 kabupaten/kota dengan 141 kabupaten/kota mengalami kenaikan harga ekstrem.

Kemendagri juga menyoroti kenaikan gula pasir, bawang putih, cabe rawit hingga daging ayam ras. Gula pasir misalnya, naik di 327 kabupaten/kota dengan harga minimal di Pulau Jawa mencapai Rp14.893, sementara tertinggi di Papua dengan harga Rp21.165. Harga bawang putih juga tembus Rp40 ribu, padahal harga ideal berada pada Rp26 ribu-Rp28 ribu.

Bahkan berdasarkan pantauan reporter Tirto di lapangan, harga gula pasir di tingkat konsumen sudah tembus antara Rp16 ribu hingga Rp17 ribu per kilogram. Hal ini tentu membuat resah bagi warga, terutama yang penghasilan rumah tangga yang kecil.

Hal tersebut membuat Inspektur Jenderal (Irjen) Kemendagri, Tomsi Tohir, meminta pemerintah daerah untuk mengontrol inflasi dan harga pangan. Ia juga meminta agar harga pangan dikendalikan, apalagi jelang pemilu.

“Kita harus mengantisipasi ke depan berkaitan dengan di November-Desember, berkaitan dengan adanya kampanye, biasanya kebutuhan sembako itu meningkat, di hari-hari biasa saja, saat ini kenaikan sudah sangat signifikan, oleh sebab itu segera lakukan upaya persiapan, masih ada waktu,” kata Tomsi pada Rapat Koordinasi (Rakor) Pengendalian Inflasi Daerah secara virtual, Senin (23/10/2023).

Pedagang gula di pasar Kopro

Pedagang gula di pasar Kopro, Jakarta, Selasa (24/10/2023). (Tirto.id/Hanif Reyhan Ghifari)

Penyebab Harga Pangan Naik

Direktur Eksekutif Indef, Tauhid Ahmad menilai, permasalahan pangan, terutama beras saat ini terjadi karena dua faktor utama. Pertama, pengaruh El Nino yang membuat produksi beras turun 1-1,5 juta ton. Kedua, Indonesia memasuki musim ketiga (Oktober-Desember) sehingga produksi atau panen padi mengalami kekurangan akibat kekeringan.

“Dua fenomena itu yang menyebabkan suplai dari pangan, terutama beras jauh [dari kebutuhan], sementara pengadaan beras impor terlambat masuknya ke kita,” kata Tauhid kepada reporter Tirto, Selasa (24/10/2023).

Dua fenomena tersebut lantas berimbas pada kenaikan harga beras. Di sisi lain, kata Tauhid, dunia internasional juga enggan melepas komoditas beras mereka. Mereka enggan melepas stok cadangan beras karena situasi internasional juga kesulitan. Kalaupun ada, harga pangan akan mahal. Hal ini juga terjadi pada komoditas lain.

Lantas, apakah kenaikan pangan terjadi karena jelang pemilu? Tauhid mengatakan, kenaikan pangan bukan karena akibat pemilu. Ia justru menilai, kenaikan pangan terjadi sudah sejak Juli atau sebelum kampanye dimulai.

Selain itu, harga pangan seharusnya turun karena banyak program akan dikeluarkan peserta pemilu pada musim kampanye mendatang untuk menarik simpati pemilih. Berdasarkan pengalaman, komoditas akan banyak dan daya beli akan naik akibat banyak barang murah.

“Pasti kalau mau kampanye justru harusnya rendah dong. Kenapa? Ya banyak orang nawarin beras murah kan?" kata Tauhid.

Dalam kacamata Tauhid, ada kemungkinan pemerintah gagal dalam tata kelola pangan. Jika memang ada pihak yang ingin berkampanye dengan menggunakan isu pangan, maka pemerintah seharusnya bisa bertindak cepat. Sebab, kata Tauhid, kelangkaan pangan merugikan citra pemerintah maupun partai penguasa saat ini.

Apa Dampak Politiknya?

Analis politik dari Universitas Jember, M. Iqbal menilai, pemerintahan Jokowi memang belum sepenuhnya menyelesaikan masalah pangan ini. Apalagi, kata dia, selama pemerintahan Jokowi ketergantungan terhadap impor pangan, terutama beras dan gula masih sangat tinggi.

“Dicitrakan sebagai sosok pemimpin yang mampu membawa Indonesia swasembada pangan, tetapi tiap menjelang pemilu impor beras gila-gilaan,” kata Iqbal.

Iqbal juga melihat saat ini sejumlah komoditas sembako melesat naik, seperti beras, gula pasir, daging ayam, telur, cabai hingga bawang putih. Kenaikan pangan tersebut dinilai mempunyai dua dampak, yakni menggerus daya beli masyarakat dan menguntungkan pemburu rente.

Dari sisi pemerintahan, kata dia, kenaikan pangan secara terus-menerus memicu sentimen buruk di mata publik. Akan tetapi, elemen tersebut bisa saja dilihat sebagai positif bagi 'pemain sektor pangan'.

Iqbal menilai, kenaikan harga pangan, kebijakan impor pangan, dan kenaikan program bantuan sosial jelang pemilu memang kerap linier. Momen tersebut bisa dirasionalisasi dengan kamuflase 'kebijakan publik'. Hal ini tidak terjadi di Indonesia saja, tetapi juga di negara lain, seperti Australia.

“Operasi pasar untuk stabilisasi harga, BLT dan bansos sebetulnya bagian dari strategi politik pencitraan yang sangat problematis dan cenderung sangat sarat potensi manipulasi,” kata Iqbal.

Iqbal menambahkan, “Tujuan dari semua kebijakan itu semata sebagai upaya merebut simpati masyarakat pemilih, seolah kuasa pemerintah hadir membantu keterhimpitan ekonomi dari merosotnya daya beli.”

Iqbal menambahkan, operasi pasar dan skema bantuan dengan dalih untuk meringankan rakyat memang kerap dikaitkan untuk meningkatkan citra positif pemerintah. Kala itu, sejumlah lembaga survei kerap turun untuk merekam data tingkat kepuasan publik.

Jika dilihat dari segi politik kebijakan, maka kondisi serba 'instan' itu justru tidak menyelesaikan akar masalah tata kelola pangan dan kedaulatan ekonomi bangsa.

Lantas, apakah bisa digunakan capres untuk memenangkan pilpres? Iqbal tidak memungkiri hal itu. Ia yakin, ketiga poros akan bermain dengan isu tata kelola pangan, harga komoditas pangan, dan impor pangan dengan narasi kampanye tertentu.

Di kubu PDIP dan Koalisi Indonesia Maju, semangat pangan tentu akan sejalan dengan program Jokowi. Di sisi lain, koalisi perubahan bisa saja meraih simpati. Mereka bisa memainkan narasi implementasi hingga solusi aktif dalam penyelesaian pangan bisa membuat publik melirik mereka.

“Boleh jadi jika sentimen publik cenderung banyak yang negatif, maka kebijakan BLT, bansos dan isu kenaikan harga komoditas bisa jadi blunder politik tersendiri," kata Iqbal.

Baca juga artikel terkait PEMILU 2024 atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz