tirto.id - Pasangan calon presiden-wakil presiden Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar atau Cak Imin resmi menyampaikan proposal visi, misi, dan program kerja kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI pada Kamis (19/10/2023). Dokumen berjumlah 148 halaman itu mengusung tema “Indonesia Adil Makmur untuk Semua.”
Paslon yang dijuluki AMIN ini mengusung delapan misi perubahan. Dalam misi dua poin delapan, Anies-Cak Imin ingin membangun kelembagaan yang berintegritas dan akuntabel, melalui pembagian kewenangan yang harmonis antar instansi. Salah satunya dengan merealisasikan Badan Penerimaan Negara.
“Merealisasikan badan penerimaan negara di bawah langsung presiden untuk memperbaiki integritas dan koordinasi antar-instansi guna menaikkan penerimaan negara,” demikian tertulis dalam dokumen tersebut sebagaimana dikutip Tirto, Senin (23/10/2023)
AMIN ingin mengintegrasikan fungsi perencanaan pembangunan dan penganggaran untuk meningkatkan konsistensi dan sinergi. Ia juga ingin memastikan proses penataan kelembagaan keuangan negara berjalan lancar melalui perencanaan dan eksekusi yang matang.
Juru bicara Anies Rasyid Baswedan, Hendri Satrio menyampaikan, pemisahan atau pembentukan Badan Penerimaan Negara sebetulnya bukan hal baru. Selama ini penerimaan Indonesia berpusat di bea cukai dan pajak berada di bawah Kemenkeu.
Jika nantinya dipisahkan, maka Kemenkeu akan mengelola khusus keuangan negara saja. Sementara penerimaan berasal dari pajak dan bea cukai akan dikelola Badan Penerimaan Negara yang berada di bawah presiden, sehingga diklaim akan menjadi lebih produktif.
“Seharusnya itu dilakukan sejak awal-awal Jokowi terpilih, ini kan di ujung-ujung, tetapi kalau mau dilakukan segera mungkin saja, jadi sangat baik impact-nya untuk Indonesia,” ujar Hendri kepada reporter Tirto, Senin (23/10/2023).
Rencana pemisahan Ditjen Pajak (DJP) dengan Kemenkeu sebetulnya sudah lama digagas. Wakil Ketua MPR RI, Fadel Muhammad termasuk yang ikut mendorong agar DJP dipisahkan dari Kemenkeu membentuk lembaga baru yang bernama Badan Keuangan Negara yang bertugas untuk menghimpun pajak sebagai pengganti atau perubahan nama dari DJP.
“Dalam hal ini, bisa dikatakan Badan Keuangan Negara yang mengurus pajak itu sifatnya semi-otonom,” kata anggota DPD RI ini beberapa waktu lalu.
Pemerintah, kata Fadel, sebenarnya sudah berinisiatif membuat draf Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Ketentuan Umum dan Tata Perpajakan (RUU KUP) pada 2015. Dalam RUU tersebut, pada Pasal 95, disebutkan penyelenggaraan tugas pemerintahan di bidang perpajakan dilaksanakan oleh lembaga sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Disebutkan juga bahwa lembaga tersebut berada di bawah dan bertanggung jawab kepada presiden.
Namun, sampai berakhirnya masa jabatan DPR RI periode 2014-2019, pembahasan tersebut tidak tuntas. Pada DPR RI periode berikutnya (2019-2024), pemerintah mengajukan RUU KUP dengan draf baru pada Mei 2021. Akan tetapi, tidak menyebutkan mengenai posisi DJP menjadi lembaga di bawah presiden.
“Tidak tahu apa alasannya. Sampai akhirnya, melalui pembahasan yang relatif cepat, RUU KUP yang baru itu disahkan pada 29 Oktober 2021 menjadi UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Pasca-penetapan UU itu, DJP tetap berada di bawah Kemenkeu,” terang Fadel.
Sejumlah Negara Pisahkan Otoritas Pajak dari Kemenkeu
Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI), Prianto Budi Saptono mengatakan, pemisahan tersebut sangat mungkin karena memang sudah pernah direncanakan sebelumnya di RUU KUP. Apalagi sudah ada beberapa negara yang mengimplementasikan pemisahan otoritas pajak dari Kementerian Keuangannya.
Contohnya Amerika Serikat (AS) dengan Internal Revenue Service (IRS), Singapura dengan IRAS (Inland Revenue Authority of Singapore), Malaysia dengan LHDN (Lembaga Hasil Dalam Negeri), dan Australia dengan ATO (Australian Tax Office).
“Seperti halnya praktik di beberapa negara, pemisahan tersebut berfungsi untuk fokus pada intensifikasi dan ekstensifikasi penerimaan. Pemisahan tersebut ada di ranah politik karena harus mengamandemen UU KUP,” ujar Prianto kepada reporter Tirto, Senin (23/10/2023).
Direktur Eksekutif Segara Research Institute, Piter Abdullah mengamini, rencana pemisahan DJP dengan Kemenkeu memungkinkan terjadi. Karena menurutnya hal ini menjadi salah satu rencana baik untuk mengoptimalkan pendapatan negara.
Dia menyebut rencana ini akan menjadi urgen atau tidaknya tergantung dari sudut pandang melihatnya. Dibilang sangat urgen, tapi selama ini sudah berjalan dan tanpa itu faktanya baik-baik saja.
“Tapi disebut tidak urgen, tidak penting, buktinya pemerintah tidak mampu menaikkan tax ratio sesuai target," ujar dia.
Opsi Lembaga Semi-Otonom
Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Fajry Akbar mengatakan, pembentukan Badan Penerimaan Negara sebenarnya isu lama yang diputar-putar kembali. Bahkan, kata dia, belum tentu pembentukan BPN akan memisahkan BPN dengan Kemenkeu karena ada opsi lembaga semi-otonom.
“Terakhir, usaha pembentukan BPN di pembahasan UU HPP, namun tertolak. Ada UU lain yang harus diubah. Itu secara hukum,” kata Fajry kepada reporter Tirto, Senin (23/10/2023).
Belum lagi, secara teknis, menjadi pertanyaan apakah DJP sudah bisa mengawasi dirinya sendiri? Lalu, apakah pengawasannya lebih baik jika vertikal di bawah Kemenkeu? “Itu pertanyaan-pertanyaan yang perlu dijawab,” imbuh dia.
Dia menyebut, sejarahnya salah satu alasan munculnya pembentukan BPN karena DJP sulit melakukan rekruitmen pegawai. Jadi ada isu keterbatasan pegawai. Sementara saat ini, teknologi terus berkembang, DJP kini memiliki Pembaruan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (PSIAP) yang akan mengoptimalisasi dan mengurangi kebutuhan penggunaan pegawai.
“Jadi, isu pembentukan BPN kini menjadi kurang relevan dan kurang urgen ya,” kata dia.
Justru yang urgen saat ini, kata Fajry, adalah memastikan agar PSIAP dapat berjalan sesuai ekspektasi. Serta reformasi birokrasi dan administrasi lainnya yang dibutuhkan oleh DJP. Begitu juga dengan peningkatan kualitas dan integritas SDM.
“Jadi bukan sekadar membuat lembaga baru. Kalau birokrasi, administrasi, dan kualitas serta integritas SDM-nya tak berubah maka pembuatan BPN hanya buang-buang uang saja,” kata dia.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Kemenkeu, Dwi Astuti memastikan, saat ini pihaknya sedang berfokus pada pelaksanaan reformasi pajak untuk mewujudkan institusi pajak yang kuat, kredibel dan akuntabel.
Pelaksanaan reformasi pajak tersebut dilakukan dengan cara penguatan sistem informasi pajak melalui PSIAP dan mengintegrasikan 21 proses bisnis DJP mulai dari proses pendaftaran hingga manajemen pengetahuan.
Melalui PSIAP, kata dia, DJP juga mengoptimalisasi Sistem Inti Administrasi Perpajakan (SIAP) atau Coretax Administration System (CTAS) melalui interoperabilitas data dengan berbagai sistem dari pihak lain guna mendorong SIAP sebagai sistem yang terbuka dan terintegrasi.
“Dengan upaya-upaya tersebut, diharapkan SIAP mampu memberikan kemudahan bagi Wajib Pajak dan mendorong kepatuhan, meningkatnya penerimaan pajak, dan membangun sinergi antarlembaga dalam mencapai institusi pajak yang kuat, kredibel, dan akuntabel,” ucap Dwi Astuti kepada Tirto, Senin (23/10/2023) malam.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz