Menuju konten utama

Isu Perubahan Iklim & Lingkungan Kian Sepi di Kontestasi Politik

Parpol memiliki sumber daya untuk membahas isu perubahan iklim. Sayangnya, isu ini belum menjadi prioritas dalam agenda politik.

Isu Perubahan Iklim & Lingkungan Kian Sepi di Kontestasi Politik
Ilustrasi Perubahan Iklim, foto/Istockphoto

tirto.id - Dinamika persaingan partai politik kian memanas menjelang Pemilu 2024. Gerbong koalisi parpol mulai bergerak bersama bakal calon presiden dan calon wakil presiden masing-masing, untuk tampil di tengah-tengah calon pemilih. Kendati demikian, kontestasi politik belakangan ini semakin sepi dari isu-isu soal perubahan iklim, lingkungan, atau permasalahan agraria.

Elite politik masih sibuk dalam hiruk pikuk konsolidasi politik yang semakin memanas antarkubu. Rakyat rawan terpinggirkan dan hanya menjadi objek pendulang suara bagi target kekuasaan aktor politik.

Persoalan perubahan iklim, sosial ekologis, hingga konflik agraria nyatanya merupakan isu yang berdampak langsung bagi rakyat. Pengabaian isu-isu tersebut berpotensi berdampak langsung pada kesejahteraan sosial-ekonomi masyarakat. Padahal, urusan ekonomi dan kesejahteraan sosial sering kali menjadi janji manis para kandidat.

Juru Kampanye Yayasan Auriga Nusantara, Hilman Afif meyakini, para aktor politik sudah sadar atas pentingnya isu-isu agraria dan lingkungan hidup. Terutama, kata Afif, permasalahan yang berkaitan dengan konservasi ataupun menyoal perubahan iklim.

Afif merasa skeptis aktor-aktor politik yang tengah bertarung untuk Pemilu 2024, memahami detail isu lingkungan dan perubahan iklim. Ia juga ragu, mereka mau menjadikan isu-isu tersebut sebagai prioritas untuk diselesaikan.

“Sebab hingga hari ini, kami tidak melihat adanya wacana atau narasi yang dibangun oleh partai politik mengenai penyelesaian isu-isu yang disebutkan. Publik selalu disuguhkan dengan fenomena manuver politik yang sama sekali tidak substantif,” ujar Afif dihubungi reporter Tirto, Kamis (19/10/2023).

Ia menambahkan, partai politik sesungguhnya memiliki sumber daya untuk membahas isu-isu tersebut lebih dalam. Sayangnya, isu ini belum menjadi prioritas untuk masuk dalam agenda politik.

Di sisi lain, Yayasan Auriga Nusantara mencatat sepanjang 2014-2023, telah terjadi 123 kasus ancaman kepada para pembela lingkungan hidup. Mereka mendesak agar partai politik dapat melek atas penyelesaian kasus tindakan-tindakan represif kepada para pembela lingkungan hidup (environmental defender).

“Komitmen dari parpol beserta anggotanya yang akan ikut dalam kontestasi politik sangat dibutuhkan,” kata Afif.

Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Melky Nahar berkomentar senada. Melky melihat sesungguhnya sebagian parpol di Indonesia sudah melek dengan isu-isu lingkungan, utamanya terkait krisis iklim.

Namun, kata Melky, seluruh parpol ini tampak pragmatis melihat satu isu dari kaca mata dampak terhadap politik elektoral semata. Isu-isu terkait lingkungan digunakan biasanya hanya di permukaan saja, dan orientasinya sebatas keuntungan secara elektoral.

“Isu lingkungan yang barangkali kalah seksi dengan isu-isu lainnya, kemudian tidak menarik perhatian parpol, capres/cawapres, dan tim pemenangan,” terang Melky dihubungi reporter Tirto, Kamis (19/10/2023).

Ia menyoroti bahwa isu lingkungan dan perubahan iklim, seperti persoalan pangan dan krisis air yang sudah ambruk akibat ekspansi industri ekstraktif seperti pertambangan, penting digaungkan. Alih-alih berdampak pada kesejahteraan, yang terjadi angka kemiskinan di wilayah pertambangan terus meningkat.

Melki mencontohkan, di Kalimantan Timur. Batu baranya terus dibongkar hingga berdampak pada kebutuhan pangan, terutama beras, mesti bergantung ke pulau lain, terutama Jawa.

“Maka, perlu ada upaya serius untuk melakukan evaluasi menyeluruh atas seluruh kebijakan dan regulasi yang membuka ruang bagi ekspansi tambang, berikut harus mulai menyelamatkan ruang hidup tersisa warga,” kata Melky.

Sementara itu, Kepala Departemen Kampanye Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Benni Wijaya menilai, narasi-narasi yang berkembang dalam kontestasi pilres saat ini tidak ada menyentuh isu-isu struktural seperti penyelesaian konflik dan mengurai ketimpangan penguasaan tanah.

“Para Parpol masih cenderung parsial melihat reforma agraria melalui sertifikasi. Padahal hal tersebut tidak menyentuh akar masalah agraria yang sesungguhnya,” ujar Benny dihubungi reporter Tirto, Kamis (19/10/2023).

Benny menilai krisis perubahan iklim dan agraria terjadi saat ini membutuhkan pemimpin dan partai yang mengerti persoalan agraria struktural serta berani membuat gebrakan.

Misalnya, kata Benny, menghentikan perusakan alam di berbagai sektor yang semakin memperparah bencana alam dan krisis iklim serta menghancurkan daya dukung linkungan. Selain itu, memastikan perlindungan, penghormatan dan pemenuhan HAM bagi masyarakat adat, petani, nelayan, dan perempuan yang sedang berjuang melindungi lingkungan, wilayah adat, tanah dan laut.

Isu Lingkungan dan Perubahan Iklim bagi Elektoral

Chair Monash Climate Change Communication Research Hub (MCCCRH) Indonesia Node, Ika Idris menyampaikan, momen pemilu seharusnya menjadi kesempatan bagi partai politik dan anggotanya untuk membawa isu perubahan iklim.

Sebaliknya, ia justru menemukan bahwa isu-isu sentral perubahan iklim seperti ketahanan pangan, pertanian, kekeringan, air bersih, cuaca ekstrem, dan menyadarkan komunitas tentang perubahan iklim, paling kurang dilakukan para politikus saat ini. Hal ini ia sampaikan berdasarkan riset yang memperlihatkan bahwa unggahan soal isu ini di media sosial para aktor politik masih minim.

“Isu perubahan iklim yang dibicarakan politisi pun masih di taraf kebijakan dan tidak menyentuh dampak yang dirasakan langsung masyarakat,” ujar Ika ditemui di Perpustakaan Nasional, Jakarta Pusat, Kamis (19/10/2023).

Menurut Ika, perubahan iklim adalah isu global yang semua masyarakat dapat merasakan. Di sejumlah negara seperti Amerika Serikat, Brazil, Australia, dan Jerman, aktor politik sudah membawa isu-isu perubahan iklim dan lingkungan ke agenda politik mereka.

“Pada dasarnya politisi inilah yang nanti yang akan berperan dalam membuat kebijakan dan mengatasi dampak perubahan iklim,” terang Ika.

Di luar negeri, misalnya Jerman, isu perubahan iklim dan lingkungan terbukti bisa diterima di masyarakat dan bahkan menggaet mayoritas suara pemilih muda. Partai hijau di Jerman sempat meraih suara elektoral yang besar dari pemilih muda yang melek akan isu-isu perubahan iklim dan lingkungan.

Country Director Greenpeace Indonesia, Leonard Simanjuntak menyampaikan, ingin agar perubahan iklim bisa menjadi isu elektoral yang ditawarkan kubu parpol dalam kontestasi pemilu. Leo, sapaan akrabnya, menyatakan bahwa sudah banyak contoh kalau isu iklim memiliki ceruk pemilih tersendiri bagi parpol.

Kendati demikian, Leo menyadari pemilih di Indonesia juga belum memprioritaskan isu ini sebagai pertimbangan dalam memilih pemimpin. Bahkan, kontestasi pemilu di Indonesia juga cenderung abai pada isu-isu penting seperti pendidikan dan kesehatan.

“Yang saat ini terjadi, sayangnya, siapa yang lebih nasionalis siapa yang lebih agamis. Siapa yang lebih dekat dengan nahdliyin, siapa yang kurang dekat nahdliyin,” ujar Leo dalam kesempatan yang sama.

Leo menilai, partai politik memiliki tanggung jawab moral dan politik untuk menyampaikan isu perubahan iklim dan lingkungan di masyarakat. Persoalan lainnya, di setiap kubu parpol ada aktor-aktor politik yang tidak ingin perubahan. Hal ini perlu dibenahi dan menjadi tantangan parpol untuk menyampaikan isu-isu ini ke masyarakat.

“Termasuk elite kekuasaan yang akan bertarung sekarang,” kata Leo.

Respons Para Politikus

Juru Bicara Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP) Surya Tjandra mengakui, mayoritas masyarakat memang tidak terlalu umum dengan isu perubahan iklim. Namun, ia menilai ini menjadi tugas dan tantangan partai politik untuk menyampaikan agenda ini ke masyarakat.

“Kuncinya adalah kolaborasi dan penting mengombinasikannya dengan aksi nyata,” ujar Tjandra ditemui di Jakarta Pusat, Kamis (19/10/2023).

Dalam kesempatan yang sama, Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra, Rahayu Saraswati Djojohadikusumo mengingatkan, agar isu perubahan iklim dan lingkungan jangan dijadikan monopoli suatu kubu atau satu partai politik tertentu. Ia meyakini, seluruh pasangan capres-cawapres sudah memiliki agenda perubahan iklim dalam programnya.

“Ini yang justru harus ditekankan, jangan menjadikan perdebatan soal krisis iklim untuk melihat siapa yang punya ide paling baik. Jangan, karena malah menjadi ini ide-nya punya saya. Padahal kan harusnya kalau idenya bagus, semuanya harus ikut sama-sama sukseskan,” kata Saraswati.

Baca juga artikel terkait PEMILU 2024 atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - Politik
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz