tirto.id - Badan Pangan Nasional (Bapanas) menginstruksikan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sektor pangan dan swasta untuk segera mempercepat realisasi impor gula kristal atau konsumsi pada tahun ini. Selain karena realisasinya baru 26 persen dari total kuota 1,01 juta ton yang diizinkan, percepatan ini juga perlu mengingat harga gula belakangan tengah meningkat.
Merujuk panel harga Bapanas, harga rata-rata nasional untuk komoditas gula per Rabu (18/10/2023) menyentuh Rp15.550 per kilogram (kg). Harga tertinggi berada di Papua sebesar Rp19.300 per kg dan terendah ada di Jawa Timur Rp14.600 per kg.
Harga rerata tersebut jauh lebih tinggi jika dibandingkan pada Harga Acuan Penjualan (HAP) di tingkat konsumen dan HAP di tingkat produsen sebagaimana telah ditetapkan dalam Peraturan Badan Pangan Nasional (Perbadan) Nomor 17 Tahun 2023.
Dalam aturan terbaru itu, Bapanas melakukan penyesuaian HAP gula konsumsi menjadi Rp12.500 per kg di tingkat produsen dan HAP di tingkat konsumen Rp14.500 per kg, serta Rp15.500 per kg khusus Indonesia Timur dan daerah Tertinggal, Terluar, Terpencil, dan Perbatasan (3TP).
Di sisi lain, data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat sebanyak 338 kota dan kabupaten telah mengalami kenaikan Indeks Perkembangan Harga (IPH) yang dikontribusikan oleh gula pasir. Kenaikan ini terjadi pada minggu kedua Oktober 2023.
“Sehingga secepatnya saudara-saudara kita yang memegang kuota impor harus merealisasikan importasinya,” kata Kepala Bapanas, Arief Prasetyo Adi dalam gerakan Pangan Murah Serentak, di Kantornya, Jakarta, Senin (16/10/2023).
Sejak periode Januari-Agustus 2023, Indonesia sebetulnya sudah melakukan impor gula sebanyak 3,5 juta ton. Impor gula tersebut mayoritas berasal dari Thailand, yakni mencapai 2,1 juta ton atau berkontribusi 60,63 persen dari total impor gula nasional.
Negara asal impor gula terbesar berikutnya adalah Australia dengan volume 551 ribu ton (15,89 persen), diikuti Brasil 500 ribu ton (14,43 persen), dan India 308 ribu ton (8,90 persen). Sementara, impor gula dari negara-negara lainnya hanya sekitar 5 ribu ton (0,15 persen).
Ketua DPP Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), Soemitro Samadikoen mengingatkan, jangan sampai pemerintah dalam hal ini Bapanas melupakan tujuan daripada impor. Tujuan impor, kata dia, pertama bila terjadi kelangkaan komoditas tersebut.
Sekalipun bila gula langka, kata dia, pemerintah harus punya hitungan valid berapa stok awal tahun dan berapa stok produksi bisa dihasilkan dalam negeri. Namun, faktanya sampai hari ini, data produksi yang benar-benar riil tidak pernah ditampilkan oleh pemerintah.
“Impor itu yang pertama kalau terjadi kelangkaan komoditas, kita harus impor berapapun harganya,” kata Soemitro saat dihubungi Tirto, Rabu (18/10/2023).
Kondisi kedua, kata Soemitro, impor diperbolehkan ketika terjadi kenaikan harga di luar nalar. Maka pemerintah bisa melakukan hal tersebut untuk mengendalikan harga di lapangan. Namun, kata dia, harga yang sekarang ini justru masih diambang batas wajar.
“Tetapi dua-duanya bisa ditangani kalau kita punya jenis impor ketiga yaitu ketika kita impor itu untuk cadangan yang bisa dipegang oleh pemerintah,” kata dia.
Dia mengasumsikan untuk stok gula aman itu katakanlah berada di 1 juta ton. Jika tujuannya adalah untuk cadangan, maka biarkan saja gula tersebut berada di gudang. Jadi sewaktu ada daerah yang tiba-tiba harganya melonjak bisa diintervensi atau kirim ke tempat tersebut.
“Kalau di Papua hari ini ada harga melonjak, kirim ke Papua gula itu. Dengan harga yang wajar. Jangan baru melakukan kegiatan kalau itu sudah terjadi kelangkaan. Kalau kita pegang bumper stock, pedagang tidak bakal main-main ini. Dengan kita memberikan satu contoh strategis, maka harga gula ini mestinya terkendali,” kata dia.
Akar Masalah Penyebab Harga Gula Naik
Pengamat pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Khudori menyampaikan, kenaikan harga gula saat ini terjadi karena memang produksi-produksi dalam negeri tidak maksimal. Di sisi lain, jumlah kebutuhan konsumsinya besar.
Kebutuhan gula nasional secara umum adalah 7,3 juta ton, sementara gula konsumsi 3,2 juta ton dan gula industri 4,1 juta ton. Sementara produksi gula nasional masih sangat rendah, yaitu 2,35 juta ton.
Pada 2022 misalnya, produksi Gula Kristal Putih (GKP) hanya sebesar 2,45 juta ton yang diperoleh dari luas areal 488.982 hektare (Ha). Produksi ini meningkat sekitar 2,34 persen dibandingkan dengan produksi GKP 2021, begitu juga jumlah tebu digiling meningkat 12,67 persen. Peningkatan ini disebabkan oleh adanya peningkatan luas areal dan produktivitas tebu. Namun untuk rendemen 2022 lebih rendah dibandingkan 2021.
“Tahun ini diperkirakan 2,2 juta ton produksi lebih rendah dibandingkan tahun lalu hampir 2,4 juta ton. Salah satunya karena memang El Nino yang membuat produktivitas itu menurun,” kata Khudori saat dihubungi Tirto, Rabu (18/10/2023).
Dia menyebut penurunan produktivitas tersebut terjadi karena masalahnya ada pada pupuk. Menurut dia, tidak semua petani bisa menutup semua kebutuhan mereka menggunakan pupuk subsidi, sehingga sebagian memilih komersil yang harganya jauh lebih tinggi. Tentu ini memengaruhi ongkos produksi petani.
Sementara itu, Soemitro menjelaskan harga gula sebetulnya sudah mulai naik semenjak harga-harga barang lain atau penopang dari produksi itu naik. Kenaikan paling signifikan bahkan terjadi pada 2019-2020, di mana sebagian petani terpaksa menggunakan pupuk non subsidi.
“Terus kenapa kok tidak naik? Karena pemerintah melakukan tekanan agar gula tidak dijual mengalami kenaikan dengan cara menerapkan HET (Harga Eceran Tertinggi) yang itu terus berlaku sejak 2016 sampai 2021," ucap dia.
Di sisi lain, Soemitro melihat harga saat ini sebetulnya bukan harga tertinggi. Namun ini adalah struktur harga baru yang mendekati harga riil sesuai dengan biaya produksi petani.
“Kalau pemerintah tidak mau memberikan Harga Pokok Penjualan (HPP) kita Rp15.000 minimal, maka saya minta penuhi HPP kita pada angka Rp13.600, jadi itu baru biaya produksi kita yang terpenuhi," ucap dia.
Dia menambahkan, “Ke depan akan jadi susah ketika kita mau swasembada gula kalau pendapatan petani ini tidak dijaga. Emang pemerintah mau tanam tebu? Mereka tidak mau nanam. Kalau mereka untung mereka pasti menanam,” kata dia.
Saat ini, kata Soemitro, problemnya adalah tidak ada keseriusan pemerintah dalam rangka meningkatkan produksi tebu dan gula. Padahal 50 persen tanaman tebu itu milik petani. “Serius lah. 50 persen tanaman kita itu milik petani, kok petaninya tidak boleh kaya,” kata dia.
Swasembada Gula Mustahil Terjadi?
Di tengah kondisi permasalahan di atas, pemerintah bertekad mengakselerasi swasembada gula nasional dengan target pada 2028. Hal ini sejalan dengan diterbitkannya Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2023 tentang Percepatan Swasembada Gula Nasional dan Penyediaan Bioetanol sebagai Bahan Bakar Nabati (Biofuel).
Sebagaimana pada Pasal 3, dalam rangka percepatan swasembada gula nasional dan penyediaan bioetanol sebagai bahan bakar nabati (biofuel), disusun peta jalan (road map). Pertama, meliputi peningkatan produktivitas tebu sebesar 93 (sembilan puluh tiga) ton per hektar melalui perbaikan praktik agrikultur berupa pembibitan, penanaman, pemeliharaan tanaman, dan tebang muat angkut.
Kedua, penambahan areal lahan baru perkebunan tebu seluas 700.000 (tujuh ratus ribu) hektar yang bersumber dari lahan perkebunan, lahan tebu rakyat, dan lahan kawasan hutan. Ketiga, peningkatan efisiensi, utilisasi, dan kapasitas pabrik gula untuk mencapai rendemen sebesar 11,2 persen (sebelas koma dua persen).
Keempat, peningkatan kesejahteraan petani tebu; dan peningkatan produksi bioetanol yang berasal dari tanaman tebu paling sedikit sebesar 1.200.000 kL (satu juta dua ratus ribu kilo liter).
“Mana bisa 2028 itu tercapai swasembada. Sudahlah ngapain kita jauh-jauh 2028. 2024 ini apa yang mau kau capai naik tidak produksi?” kata Soemitro mempertanyakan.
Sementara itu, Khudori menilai, swasembada gula ditargetkan pemerintah cukup berat. Karena tantangannya adalah bagaimana pemerintah bisa memetakan itu di level operasional pada tahap pelaksanaan.
“Asumsi-asumsi di atas kertas oke, bagus, tapi ada banyak hal menjadi pertanyaan. Misalnya harus ada penambahan 700.000 ribu hektar. Pertanyaan ini bisa tidak?” kata dia meragukan.
Jika seluruh peta jalan dicanangkan pemerintah berjalan betul di lapangan, maka bisa saja tercapai. Namun, berkaca pada peta jalan lainnya pernah dibuat pemerintah pelaksanaannya tidak selalu mulus di lapangan. “Salah satu krusial lahan dan produktivitas,” kata dia.
Terlepas dari itu, Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian tetap berkomitmen dalam melakukan gerakan swasembada gula demi meningkatkan produksi gula nasional. Direktur Jenderal Perkebunan, Andi Nur Alam Syah memastikan, pihaknya akan memetakan kendala yang bisa menghambat perkembangan perkebunan tebu, serta mencari solusi untuk menjawab tantangan dalam pengembangan tebu Indonesia
Andi mengatakan, dalam pengembangan sentra kebun tebu dan percepatan pencapaian swasembada gula harus diimbangi dengan melakukan kolaborasi atau kerja sama dengan lembaga riset, salah satunya melalui Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI). Kerja sama juga perlu dilakukan dengan perusahaan-perusahaan yang bergerak pada produksi gula baik BUMN maupun perusahaan swasta serta pihak terkait lainnya, demi mengembalikan kejayaan Swasembada Gula Nasional.
“Diharapkan seluruh perusahaan perkebunan dapat proaktif, membuat perencanaan dalam anggaran, perkuat SDM, menyiapkan kebutuhan benih, serta solusi tepat jitu atasi kendala yang dihadapi pada perkebunan tebu,” kata dia dalam keterangannya kepada Tirto.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz