tirto.id - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah menerbitkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2023 tentang Penyediaan Alat Memasak Berbasis Listrik Bagi Rumah Tangga. Sebagai turunannya telah diterbitkan pula Petunjuk Teknis Penyediaan Alat Memasak Berbasis Listrik (AML) melalui Keputusan Menteri ESDM Nomor 548.K/TL.04/DJL.3/2023.
Tujuan program ini menjamin akses energi bersih yang terjangkau, andal dan berkelanjutan. Selain itu, program ini bertujuan mengurangi impor LPG yang digunakan untuk memasak, meningkatkan konsumsi listrik perkapita, serta mendukung teknologi memasak yang lebih bersih. Program ini juga diklaim berpotensi menghemat LPG sekitar 29 juta kilo atau setara 9,7 juta tabung 3 kg.
Namun di tengah tujuan mulia tersebut, kebijakan bagi-bagi rice cooker gratis tersebut menjadi ironi. Sebab, program ini dicetuskan di tengah harga beras yang tengah mencekik kantong masyarakat belakangan ini. Mengutip info pangan Jakarta, rerata harga beras pada Rabu, 11 Oktober 2023 terpantau naik.
Misalnya untuk beras IR I (IR 64) di pasaran menyentuh Rp13.702 per kilogram (kg), beras IR II (IR 64) ramos Rp13.018 per kg, beras IR III (IR 64) Rp12.525 per kg. Sementara beras muncul I menyentuh Rp14.208 per kg, beras IR 42/pera Rp14.853 per kg, dan beras setra I/premium sebesar Rp14.135 per kg.
Sementara merujuk data terakhir Badan Pusat Statistik (BPS) pada September 2023, perubahan rata-rata harga beras terjadi hampir di semua lini. Secara detail pada bulan lalu, harga beras di tingkat konsumen sebesar Rp13.799 dan di tingkat grosir sebesar Rp13.037. Sementara rata-rata harga beras di penggilingan kualitas premium tercatat sebesar Rp12.900 per kg, naik sebesar 9,75 persen dibandingkan bulan lalu.
Demikian pula, rata-rata harga beras kualitas medium di penggilingan sebesar Rp12.685 per kg, naik sebesar 10,55 persen, dan rata-rata harga beras di penggilingan luar kualitas sebesar Rp11.746 per kg, naik sebesar 11,59 persen.
“Sekarang ini masalahnya bukan clean cooking, masalahnya tidak ada yang dimasak, apalagi kalau dibagikan ke masyarakat miskin rentan miskin. Padahal sekarang harga berasnya terus naik," ujar Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira kepada reporter Tirto, Rabu (11/10/2023).
Komoditas beras belakangan juga menjadi penyumbang utama inflasi. Pada September 2023 misalnya, rilis BPS menunjukan secara bulanan inflasi beras menjadi tertinggi sejak Februari 2018 dan secara tahunan tertinggi sejak 2014.
Inflasi beras pada September 2023 mencapai 5,61 persen secara bulanan (mtm) dengan andil inflasi 0,18 persen. Sedangkan secara tahunan (yoy), inflasi beras sebesar 18,44 persen dan memberikan andil inflasi 0,55 persen.
“Inflasi beras sudah 18 persen secara tahunan ditambah ada program pemerintah yang aneh tidak akan menyelesaikan masalah justru bisa menambahkan beban bagi keluarga miskin," ujar Bhima.
Ketua DPP PKS Bidang Perempuan dan Ketahanan Keluarga (BPKK), Kurniasih Mufidayati juga mengkritik bantuan alat masak nasi atau rice cooker gratis di saat harga beras melambung tinggi. Bagi Kurniasih, saat ini yang dibutuhkan masyarakat adalah harga pangan murah dan terjangkau, bukan bantuan alat masak yang memakan anggaran besar.
“Sederhana saja, saat ini harga beras lagi tinggi-tingginya. Yang diperlukan mak-mak hari ini adalah Pangan Murah, itu saja. Kendalikan harga pangan agar terjangkau dan murah, itu lebih prioritas dibandingkan program bagi-bagi rice cooker yang menelan anggaran besar ini," ujar Kurniasih dalam keterangannya, Rabu (11/10/2023).
Pengadaan alat memasak berbasis listrik ini diketahui menelan anggaran Rp340 miliar untuk 500.000 calon penerima manfaat. Menurut Kurniasih, masyarakat akan lebih terbantu dengan subsidi bantuan harga pangan pokok untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Menurut dia, ini menjadi sebuah kebijakan paradoks jika sebelumnya salah satu menteri meminta agar masyarakat beralih tidak mengonsumsi beras, tapi beralih ke umbi-umbian melihat melambungnya harga beras. Namun, kementerian lain justru memberikan bantuan alat memasak nasi dengan anggaran besar.
“Rakyat diminta makan umbi-umbinya karena beras mahal, namun diberikan bantuan alat memasak nasi. Daripada tidak sinkron kebijakan, pastikan harga pangan pokok terjangkau. Itu saja yang dibutuhkan mak-mak Indonesia," kata Kurniasih.
Alasan Terselubung Pemerintah?
Koordinator Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), Said Abdullah mengatakan, urgensi dari kebijakan bagi-bagi rice cooker ini perlu dipertanyakan. Karena di tengah situasi saat ini, ketersediaan dan akses terhadap pangan menjadi lebih penting yang mesti diurus oleh pemerintah.
“Soal urgensi, tentu saja ini jadi pertanyaan kita semua. Apakah bukan lebih urgen jika kemudian pemanfaatannya untuk menopang sektor pertanian,” kata dia kepada Tirto, Rabu (11/10/2023).
Dia tidak menampik bahwa kebijakan ini lahir karena ada alasan terselubung dari pemerintah. Salah satunya menyerap listrik milik PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang tengah mengalami over supply.
Jika merujuk ke laporan Statistik PLN 2021, fenomena over supply ini memang sudah terlihat setidaknya sejak sembilan tahun terakhir. Selama periode 2013-2021 total pasokan listrik PLN (yang diproduksi sendiri plus dibeli dari pihak lain) jumlahnya selalu lebih banyak sekitar 28 ribu-30 ribu GWh ketimbang total listrik yang terjual.
Kelebihan pasokan atau over supply listrik masih terjadi pada tahun ini, terutama di sistem kelistrikan Jawa-Bali dengan reserve margin atau cadangan daya terhadap beban puncak sebesar 44 persen.
Berdasarkan data PLN per Juni 2023, yang disampaikan dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi VII DPR, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (5/7/2023), reserve margin ini antara lain pada sistem Jawa-Bali sebesar 44 persen, interkoneksi Kalimantan 57 persen, Sumatera 24 persen, Lombok 37 persen, dan Sulawesi Bagian Selatan 25 persen.
“Jika memang demikian, ini bisa dimanfaatkan (kelebihan) listrik itu untuk pengolahan pangan lokal untuk menggantikan beras misalnya,” kata Said.
Said menambahkan, “Kita jadi bertanya apa maksud di balik kebijakan ini. Apakah ada persoalan atau tujuan lain di balik kebijakan ini? Karena seperti tidak sensitif situasi yang ada.”
Belum Ada Solusi Konkret Atasi Harga Beras?
Dalam upaya mengatasi persoalan harga beras, pemerintah memang sudah melakukan beragam cara. Salah satunya melalui penyaluran bantuan pangan beras kepada 21,353 juta Keluarga Penerima Manfaat (KPM) dengan total 640.000 ton yang telah rampung pada Maret, April dan Juni 2023. Program ini kemudian kembali dilanjutkan pada Oktober, November, dan Desember 2023.
Besaran bantuan pangan beras tersebut sama dengan bantuan sebelumnya sebesar 10 kg per penerima yang akan digelontorkan dalam tiga tahap, sehingga setiap KPM akan menerima 30 kg beras. Bantuan tersebut bersumber dari Cadangan Beras Pemerintah (CBP) yang dikelola Perum Bulog.
“Ini adalah bagian dari upaya untuk menahan supaya harga tidak naik lebih tinggi. Kalau berharap harga turun nanti dulu, karena pasti tidak mudah,” ujar pengamat pangan dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia, Khudori saat dihubungi Tirto, Rabu (11/10/2023).
Namun, program penyaluran tersebut dinilai belum maksimal menekan harga beras di tingkat konsumen. Pertama, karena periode bulan ini belum full terealisasi semua karena ada keterlambatan. Kedua, pasar lebih 'lapar' dibandingkan periode sebelumnya.
“Jadi pasokan itu butuh lebih besar, tapi yang dikucurkan segitu. Kalau lihat volume operasi pasar di September turun dibandingkan Juli ya,” ucapnya.
Kalau pemerintah bisa melakukan penjenuhan pasar, dalam artian berapapun kebutuhan pasar itu akan dipenuhi, maka ada potensi harga tertahan bahkan turun. Tinggal, kata Khudori, bagaimana melihat durasi yang bisa dilakukan pemerintah sepanjang berapa lamanya.
“Cuma kalau kita berharap pemerintah melakukan penjenuhan menjadi pertanyaan adalah stok cukup tidak? Cadangan ada di Bulog cukup tidak karena itu butuh volume yang besar?" ucapnya mempertanyakan.
Pemerintah sendiri akan menambah jumlah impor beras sebanyak 1,5 juta ton. Langkah tersebut dilakukan untuk menambah pasokan cadangan beras nasional.
Sekretaris Perusahaan Perum Bulog, Awaludin Iqbal bahkan siap menerima tambahan kuota penugasan impor dari pemerintah untuk memperkuat Cadangan Beras Pemerintah (CBP) guna menstabilkan harga beras di pasaran.
Fokus pemerintah saat ini adalah mempertahankan stabilitas harga beras di masyarakat, untuk itu Bulog akan melaksanakan penugasan tersebut secara maksimal demi kepentingan rakyat banyak, terlebih ditengah situasi saat ini yang menjelang musim tanam.
“Pemerintah memang memberikan tambahan kuota penugasan impor kepada Perum Bulog sebanyak 1,5 juta ton, namun pelaksanaannya akan disesuaikan dengan kebutuhan penyaluran di dalam negeri,” ujar Iqbal dalam keterangan tertulisnya.
Iqbal juga menambahkan terkait isu negara asal impor bahwa Bulog akan melaksanakan penugasan importasi beras ini dari negara mana saja yang memungkinkan dan memenuhi semua standar persyaratan.
“Untuk negara asal impor ini bisa dari manapun tidak terpatok hanya 1 negara saja, jadi bisa banyak negara seperti penugasan sebelumnya. Kami cari negara mana yang masih banyak produksinya dan memenuhi standar persyaratan,” tambah Iqbal
Di samping itu, Iqbal mengemukakan, Bulog juga melakukan pemantauan intensif terkait harga beras saat ini. Terjadinya kenaikan harga beras dikarenakan beberapa faktor baik eksternal maupun internal dalam negeri, seperti bencana El Nino dan juga situasi dalam negeri yang menjelang musim tanam.
“Masyarakat jangan khawatir, pemerintah melalui bulog menjamin kebutuhan beras tersedia di masyarakat dengan harga terjangkau walau di pasaran ada sedikit kenaikan harga. Kami melakukan pemantauan secara terus menerus di tengah situasi saat ini agar tetap terkendali,” kata Iqbal.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz