Menuju konten utama
Pemilu Serentak 2024

Visi Misi Capres Harus Sesuai RPJPN: Demi Menjaga Legasi Jokowi?

Arifki Chaniago menilai pengaturan visi misi harus sesuai RPJPN sah-sah saja, karena pemerintah ingin keberlanjutan dan program Jokowi diteruskan.

Visi Misi Capres Harus Sesuai RPJPN: Demi Menjaga Legasi Jokowi?
Ilustrasi Capres-Cawapres. tirto.id/Quita

tirto.id - Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas meminta agar setiap pasangan capres dan cawapres taat pada Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045 dan Rancangan Undang-undang (RUU) RPJPN 2025-2045 saat membuat visi dan misi. Konsep mereka harus sesuai dengan Visi Indonesia Emas yang telah diluncurkan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Menteri PPN/Kepala Bappenas, Suharso Monoarfa menjelaskan, visi-misi capres-cawapres harus mengikuti RPJPN dan RPJMN karena telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 dan 2023 tentang Pemilu. Aturan tersebut berbunyi: “Visi, misi, dan program pasangan calon untuk kampanye pemilu presiden dan wakil presiden disusun mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

“Temanya keberlanjutan, untuk menjaga konsistensi pembangunan. Pembangunan itu harus kita jaga. Seperti Pak Jokowi sampaikan dan pasti kita semua setuju, bahwa kita tidak memulainya tidak seperti di pom bensin [SPBU]," kata Suharso dalam acara Sosialisasi RPJPN 2025-2045 dan RPJMN Teknokratik 2025-2029 kepada Partai Politik di Gedung Bappenas, Jakarta Pusat, Senin (9/10/2023).

Meski begitu, dirinya memberi sedikit keringanan bilamana ada capres maupun cawapres yang ingin mengubah isi rencana pembangunan tersebut. Dengan syarat, hanya sekadar koreksi dan tidak mengubah keseluruhan isi konten.

“Kalau mau ada yang dikoreksi, koreksi sedikit, ya monggo saja, tapi itu dalam rangka keberlanjutan," ujarnya.

Analis politik dan Direktur Eksekutif Aljabar Strategic, Arifki Chaniago melihat bahwa pengaturan visi dan misi tersebut merupakan sah-sah saja. Karena pemerintah ingin keberlanjutan dan warisan program Jokowi diteruskan.

“Tentu penting salah satunya untuk menghindari pembangunan yang mangkrak,” kata Arifki kepada reporter Tirto, Selasa (10/10/2023).

Jika kita tarik ke belakang, apa yang dikerjakan oleh Presiden Jokowi saat ini merupakan warisan peninggalan presiden sebelumnya, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Misalnya saja di sektor infrastruktur, terdapat lima proyek Infrastruktur era SBY yang diteruskan dan kemudian diresmikan oleh Jokowi.

Misalnya Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung. Proyek kereta cepat ini sudah digagas di pemerintahan SBY dan baru diresmikan di era kedua pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin. Artinya, pembangunan yang dicanangkan pemerintah berkelanjutan.

Di era SBY proyek kereta cepat menggandeng perusahaan Jepang bernama Japan International Cooperation Agency (JICA). Sayangnya, kerja sama tersebut tidak berhasil dan proyek kereta cepat belum bisa diselenggarakan.

Saat Jokowi dilantik sebagai presiden, proyek kembali dikaji ulang dengan dua perusahaan asal Jepang dan Cina. Kemudian Rini Soemarno yang saat itu menjabat sebagai Menteri BUMN menunjuk perusahaan Cina bernama Beijing Yawan HSR Co.Ltd.

Kedua adalah proyek Tol Trans Sumatera. Pembangunan Tol Trans Sumatera termasuk dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang dirancang di era kepemimpinan SBY.

Salah satu strategi utama dalam proyek MP3EI adalah penetapan enam koridor, termasuk Koridor Sumatra, Koridor Jawa, Koridor Kalimantan, Koridor Sulawesi, Koridor Bali-Nusa Tenggara, dan Koridor Papua-Kepulauan Maluku.

Di koridor Sumatra ada tiga proyek yang dicanangkan pembangunannya oleh Chairul Tanjung, selaku Menteri Koordinator Perekonomian saat itu. Ketiga proyek tersebut termasuk jalan Tol Trans Sumatera, transmisi 500 KV Sumatera, dan transmisi HVDC Interkoneksi Sumatera-Jawa.

Namun, belum sempat proyek tersebut diselesaikan, era kepemimpinan SBY sudah berakhir. SBY kemudian menitipkan sisa proyek tersebut kepada Jokowi sebagai presiden terpilih pada Pilpres 2014.

“Langkah yang dipilih oleh pemerintah dalam mengatur ini di RPJMN tentu demi mendorong kebijakan-kebijakan yang strategis tetap ada pasca 2024," tutur Arifki.

Mengebiri Substansi Demokrasi?

Pemerhati politik dari Universitas Padjadjaran, Kunto Adi Wibowo melihat, selama pengaturan itu hanya urusan teknis, harusnya tidak menjadi persoalan. Bahkan menurutnya boleh saja ketika presiden terpilih nantinya mengubah isi dari RPJMN.

“Akan tidak menarik kalau visi misi capres kita nanti sama semua, kan tidak menarik. Buat apa pemilu kalau begitu. Ini justru yang mengebiri substansi demokrasi atau yang lebih mengedepankan gagasan," ujar Kunto kepada reporter Tirto, Senin (10/10/2023).

Menurut Kunto, gagasan dibawa melalui visi misi pasangan calon presiden dan wakil presiden merupakan tawaran diberikan kepada pemilih. Jika pemilih lebih banyak sepakat untuk tidak meneruskan daripada visi misi Jokowi sebelumnya, maka harus diterima dengan partai politik.

“Proses politiknya, kan, ada dan tersedia bahkan kita bisa amandemen Undang-Undang Dasar, kalau itu kemudian di demokratiskan sebagai sesuatu yang tidak bisa dirubah, buat apa kita bernegara dan berpolitik?” kata Kunto mempertanyakan.

Menurut Kunto, ini yang menjadi problematik ketika masyarakat sedang merayakan demokrasi, merayakan kedaulatan rakyat, kedaulatan rakyat ini akhirnya habis digerogoti dengan argumen-argumen teknis belaka yang sebenarnya proses politiknya tersedia.

“Kalau ini kemudian dipandang sebagai upaya sistematis untuk menjaga legacy Jokowi boleh-boleh saja orang berpandangan seperti itu karena logikanya kebalik-balik," ucapnya.

Diperbolehkan KPU

Terlepas dari pengaturan tersebut, Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, Hasyim Asyari berjanji tidak akan mencoret nama pasangan capres dan cawapres yang visi-misinya tidak sesuai dengan RPJMN 2025-2029 dan RPJPN 2025-2045. Ia menilai proses perumusan visi dan misi kerap dibuat saat akhir jelang pendaftaran ke KPU.

“Karena berjodohnya pasangan calon seringkali last minute pada bagian-bagian akhir. Maka kemudian KPU akan memberikan kesempatan pasangan calon tersebut untuk memperbaiki dan melengkapi dokumen-dokumen visi-misi program pasangan calon tersebut," kata Hasyim di Gedung Bappenas, Jakarta Pusat pada Senin (9/10/2023).

Hasyim mengungkapkan bahwa pihak yang dapat menilai visi-misi bukanlah KPU. Namun masyarakat selaku pemegang hak suara untuk memilih capres dan cawapres di kotak suara.

“Jadi soal penilai apakah sesuai atau tidak dengan RPJMN yang sudah ada, bukan kewenangan KPU untuk menilainya. Masyarakat atau pemilih yang akan menentukan," tegasnya.

Ia menjelaskan, pasangan capres dan cawapres akan memiliki tantangan untuk menerjemahkan aturan RPJMN ke dalam aturan pelaksanaan. Kerja-kerja tersebut akan menjadi tolak ukur bagi masyarakat, apakah capres dan cawapres yang dipilih layak untuk memimpin Indonesia di lima tahun ke depan.

“Di situlah tantangan bagi capres maupun cawapres untuk membentuk rumusan teknokratis yang akan digunakan untuk meyakinkan pemilih bahwa pasangan calon tersebut layak dan yang terbaik untuk memimpin negeri ini. Sebagai hasil dari Pemilu 2024,” terangnya.

Sementara itu, Deputi Bappilu DPP Partai Demokrat, Kamhar Lakuman menilai, sikap KPU yang tak akan mencoret nama paslon capres yang tidak mencantumkan visi-misi yang tak sesuai RPJPN dan RPJMN merupakan keputusan yang bijak.

“Mengingat, sejatinya pada saat pemilu kontrak politik dilakukan dengan rakyat terhadap apa yang menjadi konsep kebijakan pembangunan dari paslon capres," kata Kamhar kepada Tirto, Selasa (10/10/2023).

Menurut dia, ini juga sekaligus sebagai bentuk akuntabilitas dan terbukanya diskursus publik terhadap konsep pembangunan yang ditawarkan capres. Jadi tidak top down, dan ada partisipasi publik.

“Ini yang menjadi semangat reformasi, yaitu pembangunan yang demokratis. Agar pembangunan yang dijalankan tidak bertentangan dengan prinsip partisipasi publik dalam pemerintahan,” ujarnya.

Partisipasi dan pelibatan publik ini, lanjut Kamhar, menjadi penting. Jangan sampai pengalaman seperti IKN yang serba top down kembali terulang yang terkesan cenderung dipaksakan hanya sekadar untuk mengejar ambisi legasi.

Baca juga artikel terkait PEMILU 2024 atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Politik
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz