tirto.id - Kasus Gregorius Ronald Tannur (31) menambah daftar panjang kekerasan yang dilakukan anak pejabat publik. Kali ini, pihak kepolisian telah menetapkan Ronald sebagai tersangka kasus penganiayaan terhadap kekasihnya Dini Sera Afrianti (28), yang menyebabkan korban meninggal dunia. Ronald adalah anak Edward Tannur yang merupakan anggota DPR RI Komisi IV periode 2019-2024.
Kapolrestabes Surabaya, Kombes Pol Pasma Royce menyebutkan, Ronald Tannur dijerat dengan pasal berlapis berdasarkan fakta kejadian dan alat bukti. Pasal yang dikenakan terhadap Ronald ialah Pasal 351 ayat 3 dan Pasal 359 KUHP. Ia terancam hukuman penjara maksimal 12 tahun.
“Atas dasar fakta-fakta penyidikan, yang disesuaikan dengan kronologis dan didukung alat bukti, maka kami telah menaikkan status saksi menjadi tersangka terhadap GR,” ujar Pasma Royce, dikutip dari Antara.
Imbas perbuatan anaknya, Edward Tannur dinonaktifkan oleh PKB, partai yang menaunginya di kursi DPR RI. Sekretaris Jenderal DPP PKB, Hasanuddin Wahid menjelaskan, hal ini ditempuh agar Edward bisa fokus pada penyelesaian masalah penganiayaan yang diperbuat anaknya.
“Kami dari DPP PKB memutuskan sejak malam ini untuk menonaktifkan saudara Edward Tannur dari semua tugasnya di komisi. Dalam konteks ini, namanya sanksi, kami jatuhkan pencabutan dia dari anggota komisinya dan besok PKB ajukan surat pencabutan dari komisinya itu di DPR,” kata Hasanuddin dalam keterangannya ditulis Senin (9/10/2023).
Hasanuddin mengaku prihatin atas kejadian tersebut, dan mengklaim bahwa PKB tidak akan berpihak pada setiap pelaku tindak kekerasan. “Karena kami sangat prihatin terjadi hal semacam itu dan hati kami ada di korban,” kata dia.
Kasus yang membelit Ronald, mengingatkan kita dengan sederet kasus penganiayaan yang dilakukan oleh anak pejabat belakangan ini. Masih segar diingatan bagaimana kasus Mario Dandy, anak dari mantan pejabat Ditjen Pajak Rafael Alun Trisambodo, menghebohkan publik dengan tindakan keji yang dilakukannya.
Mario melakukan penganiayaan terhadap Cristalino David Ozora pada malam tanggal 20 Februari 2023. Tindakan kekerasan ini menyebabkan David Ozora mengalami kondisi kritis akibat luka parah di kepalanya.
Teranyar, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) menilai Mario terbukti melakukan penganiayaan berat dengan terencana terhadap David Ozora. Dalam putusannya, PN Jaksel memvonis Mario dengan hukuman pidana penjara 12 tahun. Hakim juga membebankan pembayaran restitusi sebesar Rp25,14 miliar terhadap Mario.
Ketika kasus Mario tengah bergulir, publik juga dikagetkan dengan kasus penganiayaan yang dilakukan oleh Aditya Hasibuan. Aditya merupakan anak dari Kabag Binopsnal Direktorat Narkoba Polda Sumatera Utara, AKBP Achiruddin Hasibuan. Aditya menjadi tersangka atas penganiayaan yang dilakukannya terhadap Ken Admiral.
Imbas kasus penganiayaan yang dilakukan Aditya, satu per satu dugaan kejahatan yang dilakukan ayahnya, Achiruddin Hasibuan juga terungkap. Polisi sempat menggeledah rumah mewah milik Achiruddin. Dan di dekat rumahnya juga ditemukan gudang yang diduga tempat penimbunan bahan bakar minyak solar bersubsidi.
Efek serupa juga menghantam Rafael Alun Trisambodo yang diberhentikan dari jabatannya di Ditjen Pajak dan tersandung kasus Tindak Pidana Pencucian Uang. Ia juga didakwa atas dugaan menerima gratifikasi melalui tiga perusahaan konsultan pajak miliknya yaitu PT ARME, PT Cubes Consulting, dan PT Bukit Hijau Asri.
Relasi Kuasa Akar Kekerasan
Psikolog Klinis, Veronica Adesla menyatakan, tindakan kekerasan atau sewenang-wenang identik dengan relasi kuasa yang timpang antara pelaku dengan korban. Ihwal penganiayaan yang dilakukan oleh anak pejabat, jelasnya, pelaku merasa lebih dominan, merasa lebih punya kuasa dan kendali atas diri korban sehingga bersikap semenan-mena, tidak menghargai dan menghormati korban.
“Sikap dan perilaku demikian muncul atas sebuah pemikiran bahwa dirinya (pelaku) lebih tinggi, lebih berkuasa, lebih penting, lebih memiliki status, dan seterusnya,” kata Vero, sapaan akrabnya, dihubungi reporter Tirto pada Senin (9/10/2023).
Vero menambahkan, pemikiran demikian muncul dari pembelajaran atas pengalaman hidup. Juga ditambah dari apa yang kemudian disimpulkan dan dipegang sebagai pola pikir, cara, dan gaya hidup.
“Hal ini mempengaruhi dirinya dalam bagaimana memandang orang lain, memperlakukan orang lain, bersikap terhadap orang lain,” ujar Vero.
Mirisnya, Vero menilai, kerapkali perempuan yang menjadi korban kekerasan atas ketimpangan relasi kuasa ini. Ini terkait juga dengan masih kuatnya ketidaksetaraan gender di mana budaya patriarkis di keluarga, komunitas, dan masyarakat menempatkan perempuan lebih rendah dari laki-laki.
“Memperlakukan perempuan sebagai miliknya sehingga bebas memperlakukan seenaknya, menjadikan perempuan sebagai objek kebencian untuk ditindas ataupun untuk dinikmati,” tegas Vero.
Peneliti di Laboratorium Psikologi Politik Universitas Indonesia (UI), Wawan Kurniawan, menilai penganiayaan yang dilakukan oleh anak pejabat publik berkaitan dengan kesadaran bahwa mereka (pelaku penganiayaan) adalah seseorang yang spesial. Secara psikis, hal ini memberikan dorongan untuk membenarkan segala tindakan atau bentuk perilaku yang mereka lakukan.
Menurut Wawan, dilihat dari teori identitas sosial, anak-anak pejabat ini kemungkinan mengidentifikasi diri mereka sebagai bagian dari ‘kelompok elite’ atau spesial. Hal ini menimbulkan perasaan bahwa mereka memiliki hak istimewa tertentu yang tidak dimiliki oleh orang lain.
“Di sisi lain, sebagai anak pejabat atau pesohor, mereka memiliki tekanan sosial tersendiri dan kadang hal ini mengganggu kemampuan dalam mengendalikan emosi mereka. Tuntutan sosial yang tinggi dan pengendalian yang lemah akhirnya membuat mereka lepas jika tidak punya kematangan psikologis yang mumpuni,” ujar Wawan dihubungi reporter Tirto, Senin (9/10/2023).
Ia menambahkan, pola asuh menjadi salah satu faktor penting dalam tindakan kekerasan yang dilakukan seoran anak. Wawan menyatakan bahwa anak menjadi peniru paling jitu dari orang tua atau orang sekitarnya.
“Bisa jadi, perilaku sewenang-wenang itu hadir karena melihat bentuk-bentuk kuasa atau kekerasan dalam ruang keluarga dan akhirnya diadopsi oleh si anak di lingkungan luarnya,” terang Wawan.
Hal ini ditambah potensi orang tua yang berprofesi sebagai pejabat atau pesohor, cenderung kesulitan memenuhi kebutuhan psikologis anaknya. Wawan menilai, meski kebutuhan secara materi terpenuhi bahkan bisa berlebihan, ini tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan psikologis anak.
Pengamat sosial dan politik Universitas Negeri Medan (Unimed), Bakhrul Khair Amal menilai, status sosial yang tinggi anak seorang pejabat publik memang berkorelasi dengan potensi tindakan semena-mena yang bisa dilakukan. Hal ini karena mereka memiliki daya tawar lebih tinggi dalam memandang fasilitas publik.
“Orang yang melakukan kekerasan ini punya confident dengan status pendapatan dan jabatan. Ini termasuk orang yang punya beking duit dan jaringan,” kata Bakhrul dihubungi reporter Tirto, Senin (9/10/2023).
Bakhrul menilai, faktor tidak harmonisnya komunikasi di lingkup keluarga juga akan menimbulkan ego yang tinggi dalam diri seorang anak. Ia menyoroti komunikasi dalam keluarga yang perlu terjalin baik untuk mencegah anak melakukan tindakan kekerasan.
Respons Pemerintah
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mengecam keras adanya tindakan yang dilakukan Ronald tersebut. Deputi Perlindungan Hak Perempuan Kemen PPPA, Ratna Susianawati menegaskan, pihaknya akan terus mengawal proses hukum sehingga pelaku dapat dijatuhkan hukuman maksimal.
“Kami juga menyampaikan belasungkawa yang mendalam atas meninggalnya korban perempuan DSA di Surabaya yang dikarenakan tindakan kekerasan oleh pelaku yang juga merupakan pasangannya, serta akan terus mengawal proses hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga korban dan keluarga korban mendapatkan keadilan,” ujar Ratna dalam keterangannya, Senin (9/10/2023).
Sementara itu, pakar hukum dari Universitas Andalas, Feri Amsari mengingatkan, kasus penganiayaan yang dilakukan oleh anak pejabat jangan sampai menimbulkan impunitas dalam penanganannya. Secara konstitusional, katanya, setiap orang berhak mendapatkan perlakuan yang adil.
Ia menambahkan, anak pejabat yang melakukan pelanggaran hukum tidak boleh kebal hukum hanya karena status dan segala relasinya. Adalah hal yang janggal, menurut Feri, kalau status anak pejabat membuat perkara hukum menjadi terhambat.
“Kalau itu terjadi, jangankan pejabatnya bahkan aparatnya juga bisa dimasalahkan. Bahkan menjadi terkena sanksi bila terbukti adanya kelalaian-kelalaian,” tegas Feri dihubungi reporter Tirto, Senin (9/10/2023).
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz