Menuju konten utama

Menelusuri Penyebab Bentrok Polisi vs Warga di Seruyan, Kalteng

Video pendek yang menampilkan keadaan setelah Gijik tertembak beredar luas di media sosial. Apa penyebab bentrok polisi vs warga terjadi?

Menelusuri Penyebab Bentrok Polisi vs Warga di Seruyan, Kalteng
Tim gabungan dari Polda Kalteng dan Polres Seruyan melakukan patroli di kawasan PT HMBP di Desa Bangkal, Kabupaten Seruyan, Jumat (22/9/2023). ANTARA/Humas Polda Kalteng

tirto.id - Bentrok antara aparat kepolisian dan warga terjadi di Desa Bangkal, Kecamatan Seruyan Raya, Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah (Kalteng) pada Sabtu (7/10/2023). Seorang warga bernama Gijik, 35 tahun, meninggal akibat bentrokan tersebut. Gijik, diduga terkena terjangan peluru tajam saat kerusuhan memanas.

Video pendek yang menampilkan keadaan setelah Gijik tertembak beredar luas di media sosial. Tubuhnya yang roboh bersimbah darah digotong sejumlah warga sambil diiringi teriakan meminta tolong. Dalam video yang lain, memperlihatkan dada pria berusia 35 tahun itu bolong tertembus peluru.

Bentrokan terjadi dalam agenda unjuk rasa yang dilakukan warga Bangkal untuk menuntut penyediaan kebun plasma oleh PT Hamparan Masawit Bangun Persada (HMBP) I. Protes warga ini sudah terjadi sejak 16 September 2023. Warga melakukan unjuk rasa dengan menduduki lahan di luar hak guna usaha (HGU) yang bertahun-tahun digarap PT HMBP I seluas 1.175 hektar.

Direktur WALHI Kalimantan Tengah, Bayu Herinata menyampaikan, selain Gijik, masih ada satu orang warga lain yang diduga ikut terkena tembakan peluru tajam. Informasi ini dihimpun Bayu dari warga di lokasi kejadian bentrokan.

“Gijik telah di bawa ke RS di Kota Sampit. (Ada lagi) Taufik Nurahman, 21 tahun terkena tembakan di pinggang. Kondisi saat ini sedang dalam penanganan di RS di kota Palangka Raya,” kata Bayu dihubungi reporter Tirto, Senin (9/10/2023).

Bayu menuturkan, secara umum ada dua tuntutan yang didesak warga kepada perusahaan HMBP I. Pertama, ihwal pemberian lahan plasma 20 persen untuk warga Bangkal dan desa lain yang dijanjikan perusahaan sawit itu. Ditambah, menuntut pengembalian lahan di luar HGU PT HMBP I seluas 1.175 hektar kepada masyarakat Bangkal.

“Kedua tuntutan itu dari beberapa kali mediasi yang dilakukan masih belum disepakati oleh perusahaan,” terang Bayu.

Saat insiden dugaan penembakan terjadi, jelas Bayu, unjuk rasa dimulai warga pada pagi hari sekitar jam 10 pagi. Warga yang menjadi massa aksi sedang menyiapkan lokasi pendudukan lahan dengan membangun tenda. Ia menambahkan, tanpa ada dasar dan pemicu tindakan anarkis oleh massa, sekitar jam 11.30 siang, dimulai tindakan represif oleh aparat yang mengamankan unjuk rasa.

“Dengan menembakan gas air mata dan dugaan kuat penggunaan senjata api dengan peluru tajam kepada massa aksi. Massa aksi yang di represif berlarian dari lokasi tenda menghindar tembakan kepolisian,” tutur Bayu.

Menurut laporan Bayu, awalnya ada informasi sebanyak 20 orang warga ditangkap pihak kepolisian. Namun informasi teranyar, katanya, hanya ada 11 orang yang diamankan dan ditahan di Polres Kotawaringin Timur.

Pada 21 September 2023, bentrokan antara warga dan pihak kepolisian juga terjadi. Situasi kala itu memanas akibat unjuk rasa warga direspons dengan tembakan gas air mata. Massa yang meradang, membakar sejumlah fasilitas perusahaan. Hingga berita ini ditulis, Tirto masih kesulitan mendapatkan akses langsung keterangan dari warga Bangkal ihwal insiden dugaan penembakan yang menewaskan seorang warga.

Polisi Tepis Gunakan Peluru Tajam

Polda Kalimantan Tengah (Kalteng) buka suara terkait dugaan pihak kepolisian menembaki warga peserta unjuk rasa di Bangkal dengan peluru tajam. Kabid Humas Polda Kalteng, Kombes Erlan Munaji menegaskan, personel pengamanan di lokasi tidak dibekali oleh peluru tajam.

“Anggota tidak dibekali peluru tajam, hanya peluru karet dan gas air mata,” kata Erlan kepada reporter Tirto, Sabtu (7/10/2023) sore.

Kendati demikian, Erlan berjanji akan menginvestigasi insiden ini. Hal ini agar memberikan informasi tervalid atas dugaan insiden penembakan dalam bentrokan warga dan kepolisian di Bangkal.

“Semua itu, tapi akan tetap diinvestigasi, sementara kami menuju ke sana,” kata dia.

Menurut Erlan, situasi terakhir yang dilaporkan di lokasi memang sulit terkendali. Ia mengklaim massa aksi melakukan penyerangan dengan membawa senjata tajam, tombak, bahkan senapan.

“Ada sejumlah massa yang memang membawa senjata, kami amankan,” tutur Erlan.

Ia menambahkan, pihaknya akan mencoba menelusuri jangan sampai dalam aksi ini ada penyusupan yang terjadi. Kepolisian, kata Erlan, sudah sempat mencoba memediasi kedua pihak. Kendati demikian, belum ada titik temu keduanya.

Tirto berupaya menghubungi Erlan lebih lanjut pada Minggu (8/10/2023) malam, untuk mendapatkan informasi lebih lanjut ihwal situasi terkini di lokasi dan nasib warga yang ditangkap polisi. Namun hingga berita ini ditulis, Erlan tidak merespons pesan dan telepon yang ditujukan ke ponselnya.

Koordinator Subkomisi Penegakan HAM, Komnas HAM Indonesia, Uli Parulian Sihombing mendesak Kapolda Kalimantan Tengah untuk melakukan penegakan hukum terhadap anggota kepolisian atau pihak-pihak lain yang melakukan kekerasan dan mengakibatkan jatuhnya korban meninggal dunia, dan luka berat.

Uli menambahkan, Komnas HAM akan melakukan penyelidikan atas insiden kekerasan yang terjadi di Desa Bangkal tersebut. Komnas HAM juga mendorong semua pihak untuk tidak melakukan tindakan kekerasan serta mengutamakan dialog untuk mencari solusi atas permasalahan ini.

“Komnas HAM secara proaktif tengah melakukan pemantauan konflik agraria antara warga Desa Bangkal, Kec. Seruyan Raya, Kab. Seruyan, Kalimantan Tengah dengan PT Hamparan Masawit Bangun Persada sejak September 2023,” ujar Uli dalam keterangan resminya.

Respons & Tuntutan Berbagai Pihak

Direktorat Penegakan Hukum Yayasan Auriga Nusantara, Rony Saputra menyampaikan, penembakan warga Bangkal oleh aparat dari Polres Seruyan dan Polda Kalimantan Tengah menambah catatan kebengisan aparat kepolisian terhadap masyarakat.

Berdasarkan catatan Auriga, setidaknya sudah tercatat 23 kali warga Bangkal melakukan aksi menuntut kebun plasma sawit, tapi perusahaan tak bergeming. Termasuk bentrok dengan aparat kepolisian juga sudah terjadi sebanyak 2 kali.

“(Bentrok juga) terjadi di 23 September, aksi saling dorong (kepolisian) dengan warga mengakibatkan beberapa warga mengalami luka-luka,” kata Rony dihubungi reporter Tirto, Minggu (8/10/2023) malam.

Atas kejadian ini, kata Rony, keberadaan aparat sebagai alat negara yang memiliki tugas utama melindungi dan melayani masyarakat semakin jauh dari harapan. Ia menambahkan, tugas kepolisian sudah diatur dalam Pasal 18 UU Nomor 2/2002 tentang Polri untuk melaksanakan tugas dan wewenangnya bertindak berdasarkan norma hukum, kesopanan, kesusilaan serta menjunjung tinggi hak asasi manusia.

“Tindakan represif yang dilakukan oleh aparat Kepolisian Seruyan terhadap warga Desa Bangkal sama sekali tidak melaksanakan apa yang sudah diatur secara tegas oleh konstitusi dan peraturan internal Polri itu sendiri,” tegas Rony.

Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Kartika menyebut, insiden Seruyan menandakan Pemerintahan Presiden Jokowi tidak bergeming untuk mengubah pola-pola penanganan aparat di wilayah konflik agraria yang selalu menggunakan pendekatan represif dan intimidatif.

“Pemerintah tidak pernah belajar dari wajah buruk penanganan dan penyelesaian konflik agraria selama 9 (sembilan) tahun terakhir,” kata Dewi dikonfirmasi reporter Tirto, pada Minggu (8/10/2023) malam.

KPA mencatat, selama dua periode pemerintahan Presiden Jokowi (2015-2022) sudah tercatat 69 korban tewas di wilayah konflik agraria. “Peristiwa yang terjadi di Seruyan ini semakin menambah daftar panjang korban tewas di wilayah konflik agraria,” tambah Dewi.

Dewi menambahkan, warga yang seharusnya dilindungi, sebab mereka justru korban dari PT HMBP I yang telah membuka bisnis dan operasi perkebunan mereka di atas tanah masyarakat sejak 2006.

Inilah penjajahan gaya baru, kata Dewi, mirip seperti konsesi-konsesi kebun Belanda memulai operasinya, memasuki wilayah masyarakat tanpa consent (persetujuan) dan lalu mengklaim secara sepihak dengan dalih mengantongi ijin lokasi dan/atau hak guna usaha (HGU).

“Kemudian menggunakan ketakutan dan ketidaktahuan warga, perusahaan menjanjikan iming-iming kerjasama inti-plasma, yang secara tidak langsung didesak untuk menyerahkan tanahnya,” tegas Dewi.

Dewi menyatakan, sejak 2006, anak perusahaan Best Agro Internasional itu tidak kunjung menunaikan janji plasma sawit hingga saat ini. Masyarakat, kata dia, sudah protes sejak 2008, dan tak pernah mendapatkan jawaban dari perusahaan maupun pemerintah.

Adapun pada 3 Oktober 2023, sudah ada pertemuan antara masyarakat, pemerintah dan perusahaan yang berujung kekecewaan warga. “Karena HMBP I menolak tuntutan masyarakat,” tuturnya.

Di sisi lain, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) mendesak kepolisian membebaskan sejumlah masyarakat adat yang ditangkap ketika berunjuk rasa. Mereka juga meminta Polri untuk memberikan dan memenuhi hak-hak hukum masyarakat adat di Desa Bangkalan, baik yang tertembak maupun yang saat ini masih ditahan kepolisian.

Menurut AMAN, pihak kepolisian mengetahui bahwa masyarakat adat di Desa Bangkal mayoritas merupakan Masyarakat Adat Dayak Temuan dan Kuhin. Konflik yang terjadi juga merupakan akumulasi sikap perusahaan yang tidak tunduk pada sebuah proses perjanjian.

“Akan tetapi, sepertinya pihak kepolisian lebih berpihak ke perusahaan, bukan menjadi pihak netral dalam melakukan pengamanan,” ujar Deputi II Sekjen AMAN bidang Politik dan Hukum, Erasmus Cahyadi, dalam keteranganya, Minggu (8/10/2023).

Dihubungi terpisah, Divisi Hukum Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Muhammad Yahya Ihyaroza menyampaikan, hingga saat ini pihaknya belum mendapatkan informasi resmi atas dasar hukum apa polisi melakukan penangkapan terhadap warga desa Bangkal.

Menurut Yahya, pihaknya menilai bahwa telah terjadi tindakan atau penangkapan sewenang-wenang yang dilakukan oleh pihak kepolisian.

“Kami juga mendesak kepada pihak kepolisian untuk dapat mengungkap kasus ini seterang-terangnya dan juga mengadili pelaku penembakan melalui mekanisme pidana bukan hanya terbatas melalui etik tapi juga melalui pidana guna memberikan efek jera,” ujar Yahya dihubungi reporter Tirto, Senin (9/10/2023).

Pemerintah Daerah Turun Tangan

Ketua Dewan Adat Dayak (DAD) Kalimantan Tengah, Agustiar Sabran menyampaikan, forum komunikasi pimpinan daerah (forkopimda) setempat sudah turun tangan menyelesaikan persoalan dan bentrok yang terjadi di Desa Bangkal, Kabupaten Seruyan.

Kakak kandung dari Gubernur Kalteng Sugianto Sabran ini menambahkan, pihaknya mendukung penuh kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah daerah dan instansi vertikal terkait agar konflik yang terjadi antara masyarakat dan PT HMBP di Desa Bangkal segera diselesaikan.

“Pak Gubernur (Sugianto Sabran) dan forkopimda sudah berangkat ke Kabupaten Kotawaringin Timur untuk rapat dengan Pemerintah Kabupaten Seruyan dan pihak terkait untuk menyelesaikan persoalan tersebut,” kata Agustiar dikutip dari Antara, Senin (9/10/2023).

Reporter Tirto sudah berupaya menghubungi Kutut Wibowo selaku bagian legal PT Hamparan Masawit Bangun Persada (HMBP). Namun hingga berita ini dirilis, pesan yang dilayangkan ke nomor WhatsApp Kutut belum direspons dan hanya berstatus terkirim.

Baca juga artikel terkait POLISI atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - Hukum
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz