tirto.id - Mentari memanggang kulit dengan terik tanpa henti. Saat itu tengah hari di calon ibu kota baru negeri ini. Selasa, 3 September 2023, udara sumuk disertai banjir peluh memenuhi dahi. Saya bersama beberapa rekan wartawan dari belasan media daring, cetak, dan stasiun TV bertandang ke Titik Nol Nusantara. Menjejakkan kaki dan melihat langsung ikon beken dari Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara.
Perjalanan menuju kawasan IKN kami tempuh dari Balikpapan pada pagi hari, sekitar pukul 7.20 WITA. Untuk menuju lokasi, akses perjalanan tidak terlalu sulit, tapi tak juga bisa dibilang mudah. Rombongan menggunakan minibus untuk berhelat ke Titik Nol Nusantara melalui jalan darat. Tim dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) turut membersamai perjalanan, sebagai empunya hajat yang mengundang kami dalam kunjungan kali ini.
Dari Balikpapan, rombongan melesat mengarah ke Pintu Tol Manggar dengan tujuan Pintu Tol Samboja. Cuaca cerah dengan langit terang membiru. Perjalanan di jalan tol menempuh waktu satu jam dengan jarak sekitar 57 km. Keluar pintu tol di Samboja, perjalanan disambung melalui jalan arteri.
Jalan arteri ini mulus dan tanpa hambatan. Hanya ada satu-dua kendaraan yang berpapasan dengan kami pagi itu. Di kanan-kiri jalan, pepohonan berjajar seperti pagar betis. Jalur ini seakan membelah hutan yang masih menampakkan pesonanya di kedua sisi jalan. Pada salah satu titik jalan, ada marka dengan gambar siluet seekor beruang.
“Itu beruang madu, masih bisa ditemui di hutan sini,” gumam Herman, supir minibus yang mengantarkan kami menuju kawasan IKN.
Alih-alih khawatir soal beruang madu yang tiba-tiba mungkin muncul mencegat kendaraan kami, saya lebih takut isi perut yang tergedor keluar. Jalan arteri mulus ini memiliki kontur bergelombang khas areal perbukitan Kalimantan. Turunan curam bisa langsung dibalas dengan tikungan tajam. Menguji ketangkasan pengendara dalam menaklukan jalan raya.
Herman tampak santai melaju kendaraan dengan kecepatan tinggi ketika melewati perbukitan ini. Saya bahkan ragu ia menginjak pedal rem dengan sering. Di kursi belakang, saya terdiam menahan mual. Setelah 30 menit mengguncang perut di jalan bergelombang tersebut, saya melihat gapura dengan ukiran khas bertuliskan Penajam Paser Utara (PPU).
Gerbang kedatangan ini menjadi tanda bahwa rombongan sudah dekat dengan kawasan Titik Nol Nusantara yang terletak di Pemaluan, Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Memasuki wilayah PPU, pemandangan di sisi jalan berganti rumah-rumah penduduk dan beberapa proyek galian.
Tidak terlalu padat, namun memunculkan kesan adanya nadi kehidupan. Ini sekaligus menjadi tanda, detak jantung pembangunan yang digenjot di kawasan IKN terus dilancarkan. Dari gerbang PPU hingga sampai di kawasan inti IKN memakan waktu 30 menit. Dengan begitu, total waktu tempuh yang kami lalui dari Balikpapan menuju IKN sekitar 2 jam, dengan jarak kurang lebih 104 km.
***
Tiba di kawasan IKN sekitar pukul 10.00 WITA, kami disambut dengan sebuah tenda acara yang tampak mencolok dari kejauhan. Debu menggulung dan deru aktivitas proyek pembangunan terdengar dari kejauhan. Di sisi tenda, perbukitan hijau terhampar dengan bibit tanaman yang terlihat lesu di musim kemarau.
Dari dekat, lanskap hijau tersebut ternyata adalah jaring-jaring plastik yang berfungsi meneduhkan tanah tempat tanaman-tanaman itu terpancang. Musim panas seakan terasa berkali-kali lipat lebih kuat di tempat ini. Kipas-kipas besar berdiri gagah meniupi bagian dalam tenda acara yang rombongan sambangi.
“Ini padahal (panasnya), belum setengahnya loh, biasanya lebih panas,” kata Herman sambil terkekeh.
Di samping panas yang mengikis energi, di tenda itu, justru duduk puluhan warga dengan air muka penuh semangat dan antusiasme. Puluhan warga ini tergabung dari berbagai komunitas. Ada komunitas dengan latar belakang di bidang UMKM lokal hingga perkumpulan masyarakat adat. Mereka menghadiri gelaran Nemuin Komunitas (Netas) yang diadakan oleh Kemenparekraf dan Otorita IKN.
Ditemui selepas acara, Sekretaris Kemenparekraf, Ni Wayan Giri Adnyani menyatakan, acara Netas dimaksudkan sebagai proses pengembangan destinasi wisata di kawasan IKN Nusantara.
Untuk membangun sektor pariwisata dan ekonomi kreatif (parekraf), jelasnya, tidak bisa hanya mengandalkan pemerintah atau hanya salah satu aspek masyarakat. Dibutuhkan kolaborasi stakeholders yang terdiri atas akademisi, pelaku bisnis, pemerintah, komunitas/masyarakat, dan media.
Ia menambahkan, kawasan IKN memang masih dalam tahap pembangunan infrastruktur. Kendati demikian, IKN tetap memerlukan sumbangan pemikiran-pemikiran dari sisi sektor parekraf. Giri menyatakan, banyak potensi pariwisata yang bisa dikembangkan di sekitar kawasan IKN.
“Dan itu dalam rangka untuk pelestarian budaya yang ada,” ucap Giri.
Setelah acara Netas rampung dilaksanakan, saya dan rekan-rekan wartawan diarahkan menengok Titik Nol Nusantara yang ikonik itu. Tidak perlu makan waktu, Titik Nol Nusantara berada tepat di belakang tenda acara yang telah kami ikuti. Hanya saja, perlu melewati sejumlah anak tangga untuk sampai ke sana. Titik Nol Nusantara berada di area bukit yang tidak terlalu tinggi untuk ditapaki.
Hadirnya tangga penghubung menuju area titik nol, menawarkan kemudahan sekaligus sajian pemandangan. Dari area Titik Nol Nusantara, pengunjung bisa melihat area hutan yang masih hijau. Kontras dengan pemandangan proyek pembangunan IKN yang tengah berjalan di sisi lainnya.
Di salah satu sudut, terdapat marka penunjuk jalan yang berisi beragam lokasi di sekitar Titik Nol Nusantara. Di salah satu marka tertulis, ‘Istana Negara.’ Tentu jika mengikuti penunjuk jalan tersebut, belum kita temui istana sang Presiden. Masih berupa proyek pembangunan di tanah lapang. Istana Negara anyar ini, rencananya baru akan rampung dibangun tahun depan.
Jarum jam di tangan menunjukkan waktu merapat tengah hari. Dengan topi dan kacamata hitam terpasang, Direktur Kebudayaan, Pariwisata, dan Ekonomi Kreatif Otorita IKN, Muhsin Palinrungi, tampak tak goyah dengan panas terik siang itu. Ditemui di Titik Nol Nusantara, Muhsin membeberkan potensi wisata kawasan IKN juga meliputi sektor ekowisata.
Menurut Muhsin, terdapat potensi ekowisata yang berada di sekitar kawasan inti IKN Nusantara. Destinasi ekowisata ini meliputi Gua Batu Tapak Raja di Wonosari, kawasan hutan mangrove Mentawir, Gunung Parung, air terjun Tembinus, dan Bukit Bangkirai.
Di sisi lain, kata Muhsin, kawasan inti IKN Nusantara akan disuguhi wellness tourism dan wisata hiburan mulai dari pusat perbelanjaan, wisata kesehatan, pusat olahraga, dan lain-lain.
“Tapi yang saya lihat rencana pengembangannya (untuk sektor wisata di tahun) 2025. Kalau tahun ini fokus ke pembangunan Kawasan Inti Pusat Pemerintahan (KIPP) IKN,” ujar Muhsin.
Mushin menyatakan, pengembangan sektor ekowisata bisa menjadi upaya untuk membangun perekonomian masyarakat lokal. Meski mengaku belum menghitung keuntungan ekonomis yang dapat digali, Muhsin percaya potensi ekowisata di kawasan sekitar IKN akan berdampak positif pada warga.
Dia menambahkan, pihaknya tengah memetakan potensi-potensi wisata lain di sekitar IKN. Menurut Muhsin, untuk memaksimalkan potensi objek wisata tersebut, perlu akses, amenitas, dan atraksi yang harus dilengkapi. Kualitas sumber daya manusia (SDM) juga perlu ditingkatkan melalui pelatihan.
“Tentu untuk kunjungan itu harus dilakukan pelayanan yang baik. Nah, itu yang harus dilakukan, dan juga melatih mereka (warga lokal) bagaimana memandu wisata,” terang Muhsin.
Mushin mengklaim, IKN Nusantara dibangun dengan tetap memperhatikan aspek kelestarian lingkungan. Pohon-pohon yang terkena dampak pembangunan, kata dia, akan ditanam kembali dengan jumlah mencapai jutaan bibit.
“Saat ini sudah ada 3 juta lebih (bibit pohon) yang sudah siap tanam, nunggu musim hujan. Pembibitanya di Mentawir, itu dari berbagai jenis tanaman. Karena balik lagi ke prinsip sponge city, smart city, dan forest city,” ujar Muhsin.
***
Satu persatu anggota rombongan kami memasuki mulut Gua Batu Tapak Raja. Bau apek dan udara terasa lembab di dalam gua. Dingin di tengkuk, cahaya matahari remang-remang mengintip masuk. Langit-langit di area utama gua dipenuhi batuan stalaktit berbentuk runcing.
Sementara batuan stalagmit di permukaan gua berjajar tak beraturan. Mirip deretan nisan yang rompang dimakan waktu. Bunyi-bunyi binatang dari areal hutan menyusup sayup dari celah-celah gua. Masuk ke dalam Gua Batu Tapak Raja terasa seperti menuju lorong waktu.
“Untuk perempuan yang berhalangan (menstruasi) dilarang masuk ke area bagian dalam,” kata Ruslan, salah satu pemandu gua, mengingatkan rombongan.
Saya dan rekan-rekan wartawan berkunjung ke Gua Batu Tapak Raja setelah merampungkan kegiatan di Titik Nol Nusantara. Dari kawasan inti IKN Nusantara, butuh waktu sekitar 50 menit untuk menuju ekowisata purba ini. Destinasi wisata ini masih berada di sekitar kawasan IKN, tepatnya berlokasi di Desa Wonosari, Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara.
“Larangan lainnya cuma jangan itu mengotori dan berbuat sembarangan di gua,” sambung Ruslan menyebutkan beberapa larangan di dalam gua.
Jalan menuju Gua Batu Tapak Raja mayoritas sudah mulus. Hampir tiga perempat jalan yang dilalui sudah dilapisi aspal. Hanya di bagian akhir perjalanan atau ketika hendak memasuki area destinasi tersebut, jalan masih dipenuhi batu dan bergelombang.
Nantinya, jalan yang terbentang sepanjang 9,7 km menuju lokasi Gua Batu Tapak Raja diharapkan memiliki akses yang nyaman. Hal ini berkat sokongan pemerintah pusat melalui Inpres Jalan Daerah (IJD) yang salah satunya mendukung akses menuju Gua Batu Tapak Raja. Pembangunan jalan ini ditargetkan rampung akhir tahun ini.
Ruslan mengajak saya memasuki bagian lebih dalam di gua tersebut. Terdapat lubang yang lebih kecil di bagian dalam gua. Ia berkata hanya dua orang yang boleh masuk. Untuk masuk ke sana, saya harus menunduk agar muat ke dalam. Bagian gua ini gelap total dan butuh pencahayaan senter atau lampu gawai.
“Itu batu yang disebut ‘Tapak Raja’,” Ruslan menunjuk ke suatu sudut.
Memang terlihat sebuah stalaktit besar tergantung rendah. Batuan itu berbentuk pipih ujungnya dan melebar. Sekilas, memang nampak seperti sebuah telapak kaki raksasa. Saya memberikan kode ke Ruslan agar tidak berlama-lama di sana. Udara di areal tersebut terasa sesak dan panas.
Kepala Desa Wonosari, Kasiyono menuturkan, gua tersebut merupakan peninggalan dari tokoh-tokoh adat setempat dan para raja terdahulu. Ia menceritakan, para raja menggunakan gua tersebut sebagai tempat pertapaan. Gua itu juga disebutnya memiliki ‘penghuni’ bernama Bea. Maka gua ini juga kerap disebut Gua Bea.
“Semacam makhluk halus,” kata Kasiyono ditemui di lokasi, saat menjelaskan soal Gua Batu Tapak Raja.
Kasiyono menambahkan, sejak 1980-an, gua ini sudah menjadi destinasi wisata bagi masyarakat lokal. Namun belum ada pengelolaan yang betul-betul resmi dan serius di ekowisata tersebut. Maka dari itu, dengan adanya pembangunan IKN, ia ikut sumringah karena memberi kesempatan pengelolaan Gua Batu Tapak Raja bisa dilakukan serius dengan bantuan pemerintah.
“Saya sudah dikunjungi Bu Menteri Siti Nurbaya (Menteri LHK) foto di sini dan saya kemarin minta tolong juga untuk dibangunkan jalan ini. Alhamdulillah beliau berkoordinasi dengan presiden, melalui instruksi presiden melalui Bapak Menteri Basuki (Menteri PUPR) sudah membangunkan jalan menuju wisata ini,” terang Kasiyono.
Kasiyono menambahkan, Gua Batu Tapak Raja memiliki potensi wisata alam yang masih bisa dikembangkan lebih jauh. Baru terdapat dua mulut gua yang berhasil dieksplorasi, dari sekitar 10 mulut gua yang ditemukan. Belum lagi, kata Kasiyono, area hutan di sekitar gua juga menyimpan kekayaan fauna.
“Ada monyet ekor panjang, beruk, bahkan burung rangkong (enggang) bisa ditemukan di sini,” kata Kasiyono kepada saya.
Areal hutan di sekitar Gua Batu Tapak Raja memang masih asri dan teduh. Pohon-pohon kariwaya raksasa tampak eksotis gagah terpancang. Sulur-sulur pohon bajakah juga tampak mengisi sudut-sudut hutan di kawasan tersebut.
Kasiyono berharap, lokasi ini juga dapat menjadi destinasi edu-wisata. Beberapa penelitian, katanya, telah dilakukan sejumlah pihak untuk mengidentifikasi flora dan fauna di sekitar Gua Batu Tapak Raja.
“Kita pampang (nanti hasil) penelitiannya, tumbuhannya apa saja jenisnya, hewannya apa saja jenisnya, supaya jadi tempat pembelajaran. Itu harapan kami wisata selain menyajikan wisata alam, kita menjaga lingkungan,” ungkap Kasiyono.
Ia juga berencana mengajak warga lokal untuk berjualan di lokasi wisata Gua Batu Tapak Raja. Kini tengah dibangun area khusus kuliner, sekaligus tempat UMKM lokal menjajakan dagangan. Saat ini, destinasi ini masih dalam penyempurnaan agar lebih siap menjamu pengunjung. Kasiyono menargetkan, akhir tahun ini Gua Batu Tapak Raja akan resmi dibuka kembali.
“Jadi sekaligus membantu perekonomian masyarakat sini juga,” terangnya.
Gua Batu Tapak Raja hanya salah satu contoh potensi ekowisata yang bisa dikembangan dengan serius di sekitar kawasan IKN. Pengelolaan sektor parekraf ini juga berpotensi memberikan keuntungan ekonomis kepada masyarakat lokal di sekitar IKN. Hal ini menunjukkan juga bahwa tanah di kawasan IKN Nusantara punya nilai budaya, sejarah, dan keanekaragaman hayati yang perlu dikelola dan dijaga bersama.
Seperti Kasiyono, kita menanti, pembangunan IKN tak hanya sekadar menjadi ‘rumah baru’ bagi pemerintahan Indonesia. Namun juga membawa secercah harapan baru dan kesejahteraan yang merata.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz