Menuju konten utama
Kebijakan Energi

Menjaga Migrasi Konsumen saat Disparitas Harga BBM yang Tinggi

Harga BBM non subsidi naik per 1 Oktober 2023. Pertamax naik menjadi Rp14.000 per liter. Bagaimana agar konsumen tidak migrasi ke Pertalite?

Menjaga Migrasi Konsumen saat Disparitas Harga BBM yang Tinggi
Petugas bersiap melakukan pengisian Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Pertamax Green 95 saat peluncuran BBM tersebut di SPBU MT Haryono, Jakarta, Senin (24/7/2023). ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/aww.

tirto.id - Ridwan Aji Pitoko memilih opsi kembali menggunakan bahan bakar minyak (BBM) jenis RON 90 Pertalite untuk kendaraan roda duanya. Selisih harga antara BBM subsidi jenis Pertalite dengan Pertamax RON 92 saat ini menjadi salah satu alasan ia bermigrasi.

“Pertamax mahal,” ucap Aji saat ditanya kenapa alasan beralih menggunakan Pertalite, kepada reporter Tirto, Kamis (5/10/2023).

PT Pertamina (Persero) memang baru saja melakukan penyesuaian harga untuk seluruh jenis BBM non subsidi per 1 Oktober 2023. Harga BBM Pertamax mengalami kenaikan dari sebelumnya Rp13.300 per liter menjadi Rp14.000 per liter.

Kemudian, Pertamax Turbo (RON 98) ikut mengalami kenaikan menjadi Rp16.600 per liter dari sebelumnya dipatok Rp15.900 per liter. Pertamina Dex (CN 53) naik jadi Rp17.900 per liter dari sebelumnya 16.900 per liter.

Sedangkan Dexlite (CN 51) dibanderol Rp17.200 per liter dibandingkan sebelumnya sebesar Rp16.350 per liter. Terakhir, BBM jenis baru yaitu Pertamax Green (RON 95) juga ikut mengalami kenaikan Rp16.000 per liter dari yang sebelumnya hanya Rp15.000 per liter.

Kenaikan harga BBM non subsidi itu memang menjadi keniscayaan bagi Pertamina. Karena penetapan harga BBM non subsidi ditentukan berdasarkan mekanisme pasar. Variabel utama penetapan harga BBM non-subsidi adalah harga minyak dunia, yang saat ini membumbung tinggi hingga mencapai 95,31 dolar AS per barrel.

Kendati harga minyak dunia mendekati 100 dolar AS per barrel, namun pemerintah bersikukuh tidak menaikkan harga BBM subsidi, Pertalite dan solar. Harga BBM keduanya tetap dipatok Rp10.000 per liter dan Rp6.800 per liter. Dengan kata lain, tidak mengalami perubahan harga.

“Mendingan Pertalite angkanya sudah genap Rp10.000 per liter,” imbuh Aji.

Secara kualitas, Aji meyakini performa bahan bakar RON 90 masih cukup standar. Buktinya, selama menggunakan Pertalite kendaraan yang sehari-hari menemani kegiatannya tidak mengalami kendala apa pun.

“Kan, Pertalite enggak jelek-jelek amat kualitasnya,” katanya.

Dari sisi volume, lanjut Aji, Pertalite juga lebih menguntungkan. Sebagai perbandingannya, jika ia mengeluarkan Rp50.000 untuk Pertalite, maka bisa mendapatkan lima liter. Sebaliknya, jika uang sama digunakan untuk beli Pertamax, hanya mendapatkan 3,5 liter.

"Beli Rp50.000 dapat lima liter langsung full tank," ucapnya.

Pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Fahmy Radhi mengatakan, kenaikan harga tersebut memang akan memperbesar disparitas harga BBM non-subsidi dengan harga BBM subsidi. Disparitas harga itu akan memicu gelombang migrasi konsumen Pertamax ke Pertalite.

“Migrasi tersebut berpotensi menjebolkan kuota Pertalite, yang akan memperberat beban APBN dalam pemberian subsidi BBM," kata Fahmy kepada Tirto, Kamis (5/10/2023)

Upaya Agar Tak Terjadi Migrasi

Fahmy mengatakan, untuk mencegah migrasi dari Pertamax ke Pertalite, pemerintah bisa menaikkan harga RON 90 untuk memperkecil disparitas antara harga Pertamax dengan Pertalite. Dengan disparitas harga yang tidak menganga, konsumen Pertamax akan berpikir ulang untuk migrasi ke Pertalite.

Namun, langkah itu dinilai berisiko. Karena jika harga BBM subsidi naik akan memicu terjadinya inflasi yang menurunkan daya beli masyarakat. Dengan risiko tersebut, Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun diperkirakan tidak akan menaikkan harga BBM subsidi di tahun politik ini.

“Alternatifnya, pemerintah harus melakukan pembatasan penggunaan BBM subsidi dengan mekanisme yang bisa diterapkan (applicable),” kata Fahmy.

Mekanisme pembatasan itu, bisa dilakukan dengan revisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 191 Tahun 2014 tentang penyaluran BBM. Salah satu poinnya, kata Fahmy, bisa memasukan bahwa konsumen BBM subsidi adalah konsumen pemilik sepeda motor dan kendaraan angkutan penumpang dan barang.

Hal senada diungkapkan Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI), Yusri Usman. Ia tak menampik bakal terjadi migrasi besar-besaran konsumen Pertamax ke Pertalite akibat selisih harga yang jauh. Terlebih disparitas harga per liternya saat ini mencapai Rp4.000.

Karena itu, untuk mencegah pembelian BBM subsidi penugasan oleh yang tak berhak, Yusri menyarankan pemerintah untuk melakukan digitalisasi SPBU dengan nilai investasi Rp3,6 triliun oleh PT Telkom.

"Dengan begitu diharapkan mampu mencegah penyimpangannya, jika tidak maka sia-sialah proyek digitalisasi SPBU tersebut," kata Yusri kepada Tirto, Kamis (5/10/2023).

Direktur Eksekutif Energy Watch, Daymas Arangga Radiandra mengatakan, salah satu langkah yang perlu dilakukan pemerintah agar tidak terjadinya migrasi yakni merampungkan revisi Perpres Nomor 191/2014. Karena faktanya, sudah berlarut-larut sampai hari ini tidak kunjung selesai.

“Oleh karena itu revisi Perpres perlu segera dirampungkan,” ujarnya kepada Tirto, Kamis (5/10/2023).

Selain itu, pemerintah juga perlu melakukan langkah-langkah strategis lainnya untuk mengurangi beban impor. Di antaranya dengan melakukan percepatan pengembangan biofuel, percepatan infrastruktur penunjang transportasi publik, dan percepatan adopsi kendaraan listrik.

Revisi Perpres Sudah Sampai Mana?

Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM, Tutuka Ariadji mengatakan, pemerintah akan memulai membahas kembali kelanjutan revisi Perpres Nomor 191 Tahun 2014 tentang penyaluran BBM dan LPG bersubsidi. Kata Tutuka pihaknya sudah melakukan komunikasi dengan Kementerian Keuangan perihal revisi ini.

Kementerian ESDM, kata dia, akan terus mendorong agar BBM subsidi ini tepat sasaran. Salah satunya lewat revisi Perpres 191/2014 sebagai payung hukumnya.

Apalagi, melihat histori fluktuasi harga minyak dan situasi global erat kaitannya dengan pengaruh ke harga jual BBM. Jika terjadi gap harga yang besar antara BBM subsidi dengan BBM non subsidi, maka akan mendorong adanya peralihan.

“Kalau kemungkinan shifting (peralihan) pasti ada, tapi jumlahnya kan saya kira tidak banyak, tapi kemungkinan sih pasti ada," kata Tutuka.

Anggota Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas), Saleh Abdurrahman mengatakan, hingga saat ini pihaknya juga masih menunggu tindak lanjut dari revisi Perpres tersebut. Ia berharap, revisi itu dapat segera selesai.

“Belum, kita masih nunggu,” kata Saleh kepada Tirto, Kamis (5/10/2023).

Di sisi lain, saat disinggung mengenai masalah disparitas harga BBM, Saleh mengaku, belum mengetahui apakah selisih tersebut akan berdampak terhadap peralihan. Pihaknya terus melakukan monitor.

“Kami berharap konsumen yang selama ini konsumsi Pertamax, mereka memang konsumen yang memilih jenis BBM yang lebih ramah lingkungan, lebih hemat. Dan semoga harga minyak segera turun dan stabil, sehingga gap harga antara Pertalite dan Pertamax semakin kecil,” kata dia.

Sementara itu, Corporate Secretary Pertamina Patra Niaga, Irto Ginting mengharapkan, konsumen pengguna BBM non subsidi tidak migrasi ke Pertalite. Karena segmen ini umumnya memahami perlunya BBM yang sesuai dengan spesifikasi kendaraannya.

“Ada juga berbagai program promo untuk BBM non subsidi," tukasnya.

Baca juga artikel terkait HARGA BBM atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Bisnis
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz