Menuju konten utama
Round Up

Merunut Kasus Bocah Korban Dugaan Malapraktik di Bekasi

Kasus dugaan malapraktik di salah satu rumah sakit di Bekasi berujung pelaporan ke Polda Metro Jaya. Bagaimana duduk perkaranya?

Merunut Kasus Bocah Korban Dugaan Malapraktik di Bekasi
Sejumlah kerabat berdoa di samping peti jenazah Benediktus Alvaro Darren saat disemayamkan di Rumah Duka Rumah Sakit Elisabeth,Rawalumbu, Bekasi, Jawa Barat, Selasa (3/10/2023). Benediktus Alvaro Darren meninggal dunia pada Senin (2/10/2023) atas dugaan menjadi korban malapraktik setelah menjalani operasi amandel pada Senin (18/9/2023) di Rumah Sakit Kartika Husada. ANTARA FOTO/ Fakhri Hermansyah/rwa.

tirto.id - Nahas menimpa bocah laki-laki berumur tujuh tahun di Bekasi. Bocah berinisial A, meninggal dunia karena diduga menjadi korban malapraktik di salah satu rumah sakit di Bekasi, Jawa Barat, setelah didiagnosis menderita mati batang otak.

Kabar kematian A disampaikan sang ayahanda, Albert Francis. Ia mengatakan anaknya meninggal dunia pukul 18.45 WIB, Senin (2/10/2023). “Benar, anak saya sudah meninggal dunia,” kata dia kepada wartawan.

Pengacara keluarga korban, Cahaya Christmanto mengatakan, pihaknya memutuskan melaporkan kasus ini ke Polda Metro Jaya setelah anak kliennya diduga menjadi malapraktik. Laporan mereka teregister dengan nomor LP/B/5814/IX/2023/SPKT POLDA METRO JAYA tertanggal 29 September 2023.

Cahaya menuturkan, dalam pelaporan tersebut terdapat delapan orang yang dilaporkan, yakni dr RR, dr L, dr Z, dr WT, dr RI, dr K, dr D (Direktur RS) dan dr F (Manajer Operasional RS).

“Itu sudah meliputi dokter yang terkait yang melakukan tindakan, mulai dari dokter anestesi, dokter THT, spesialis anak, sampai dengan direktur RS tersebut. Karena ada kaitannya dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen,” kata dia.

Para terlapor dipersangkakan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (I) Juncto Pasal 8 ayat (1) dan atau Pasal 360 KUHP dam atau Pasal 361 KUHP dan atau Pasal 438 dan atau Pasal 440 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.

Cahaya mengatakan, sebelum mereka melaporkan kasus itu, pihaknya sempat melayangkan somasi kepada pihak rumah sakit pada 27 September 2023. Namun, hingga hari pelaporan, pihak rumah sakit urung merespons. Pada tanggal serupa, mereka juga meminta bukti rekam medis kepada pihak rumah sakit. Permintaan itu berujung adu mulut.

“Di situ ada perdebatan panas dan keributan, sehingga mereka mau memberikan rekam medis. Itu dua hal yang berbeda,” ucap Cahaya.

Dia mengatakan, kondisi pasien kala itu makin hari kian kritis. Mereka pun tak mengetahui alasan rumah sakit tidak memberikan rekam medis. Penjelasan rumah sakit, klaim dia, juga dinilai tidak masuk akal. Atas dasar itu, mereka memutuskan untuk membuat laporan ke pihak kepolisian.

“Kami berpikir untuk upaya hukum melaporkan ke PMJ. Kami mengharapkan kembali kepada Ditreskrimsus Polda Metro Jaya untuk segera mengambil keputusan ini, mengambil tindakan cepat agar pihak RS memberikan respons yang cepat juga,” kata Cahaya.

Korban Meninggal Usai Operasi Amandel

Cahaya mengatakan, sebelum didiagnosis mati batang otak, korban sempat menjalani operasi di rumah sakit itu pada Selasa (19/9/2023). Korban A (7 tahun) dan kakaknya J (10 tahun) sama-sama menjalani operasi amandel di rumah sakit itu. Korban A menjalani operasi terlebih dahulu sebelum kakaknya.

“Keduanya ini ada penyakit amandel, gangguan pernapasan lah, yang di mana akan dilakukan tindakan untuk operasi, amandel itu, kan, masih kategori operasi ringan," kata Cahaya.

Setelah operasi selesai, korban A tak kunjung sadarkan diri. Orang tua korban terus menunggu anaknya pulih. Namun, hingga berjalan 13 hari lamanya sejak operasi dilakukan, korban masih terkulai lemas. Pihak dokter mendiagnosis korban mengalami kondisi mati batang otak.

“Nah setelah itu kami tunggu-tunggu, lalu di hari setelah hari 3 itu, dokter rumah sakit mengatakan bahwa anak ini sudah mengalami mati batang otak,” ucap Cahaya.

Cahaya mengaku heran. Sebab, operasi amandel berujung didiagnosis mati batang otak. Menurut Cahaya, jika memang proses operasi sudah sesuai prosedur, maka seharusnya tak mungkin didiagnosis mati batang otak.

Polisi Turun Tangan

Direktur Reserse Kriminal Khusus (Dirkrimsus) Polda Metro Jaya, Kombes Ade Safri Simanjuntak mengatakan, penyidik bakal berkoordinasi dengan dua lembaga profesi kedokteran dan pemerintah daerah ihwal kasus dugaan malapraktik tersebut. Koordinasi itu dilakukan pada Rabu (4/10/2023). Ade mengatakan langkah itu ditempuh sebagai upaya penyelidikan dalam kasus itu.

“Tim penyelidik akan berkomunikasi, berkoordinasi awal dengan dua lembaga profesi kedokteran baik itu Konsil Kedokteran Indonesia maupun Ikatan Dokter Indonesia, termasuk kami akan berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan Kota Bekasi,” kata Ade kepada wartawan di Polda Metro Jaya, Rabu (4/10/2023).

Kombes Ade mengatakan, pihaknya mengagendakan pemanggilan klarifikasi terhadap pelapor pada Kamis (5/10/2023). Para terlapor itu antara lain, kuasa hukum, keluarga korban, dan saksi lainnya. Adapun pemanggilan terhadap pihak rumah sakit, akan menjadi agenda tahapan penyelidikan lainnya.

“Jadi, total ada empat orang yang akan kami mintai klarifikasi pada Kamis,” tutur Ade.

Kasus malapraktik rumah sakit yang terjadi di Bekasi ini, sejatinya bukan kasus pertama kali terjadi di Indonesia. Bayi baru lahir di RSUP Raja Ahmad Tahabib, Tanjungpinang, Kepulauan Riau juga diduga menjadi korban malapraktik. Tangan kanan bayi tersebut tak bisa bergerak bahkan membengkak. Bayi tersebut lahir pada Jumat (5/5/2023).

Menurut pengacara orang tua korban, kelahiran bayi itu terkesan dipaksakan. Alhasil, tangan kanan bayi itu mengalami cacat. Ayah bayi itu sempat meminta dua kali kepada pihak rumah sakit untuk melakukan tindakan operasi. Namun, permintaannya ditolak dan kelahiran tetap dilakukan secara normal.

Kasus serupa juga menimpa bocah berusia tujuh tahun, DA, pasien usus buntu yang diduga jadi korban malapraktik di RSUD Bari Palembang, Sumatera Selatan. DA dinyatakan meninggal dunia setelah tiga kali dioperasi.

Namun, kasus itu berujung damai. Keluarga korban diberikan bantuan uang tunai senilai Rp50 juta oleh pihak rumah sakit.

Respons Kemenkes, IAKMI hingga PB IDI

Terkait kasus ini, Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi, menyarankan pihak rumah sakit untuk melakukan audit medis setelah penanganan pasien.

“Rumah sakit harus melakukan audit medis melalui komite medik untuk melihat apakah ada kelalaian atau malapraktik,” kata Nadia.

Sementara itu, Anggota Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), Iqbal Mochtar memandang, ada sejumlah kemungkinan orang tiba-tiba meninggal setelah operasi. Menurutnya, bisa karena adanya gangguan tertentu pada pasien sendiri dan kelalaian dokter atau rumah sakit.

Iqbal mencontohkan, ada anak-anak yang sesaat setelah menerima obat anestesi atau pembiusan mengalami reaksi yang berat, bahkan meninggal. Ada juga komplikasi setelah lelah operasi terjadi pendarahan dan masalah saluran napas.

Oleh karena itu, kata dia, untuk mengetahui kasus tersebut benar malapraktik atau bukan, sebaiknya menunggu pembuktian di persidangan.

“Saya kira pertama dilanjutkan ke ranah hukum, nantikan bisa dibuktikan. Apakah memang terjadi malapraktik atau ada kondisi-kondisi lain yang mendasari terjadinya, sehingga meninggal,” kata Iqbal saat dihubungi reporter Tirto, Rabu (4/10/2023) malam.

Iqbal mengatakan, semua operasi mulai dari yang terkecil memiliki risiko bervariasi. Mulai dari ringan sampai berat (meninggal).

“Jangankan operasi seperti itu, kita melakukan treadmill test yang berjalan di atas treadmill pada saat kita melakukan diagnosa penyakit jantung, itu orang bisa meninggal. Karena itu, ada risiko,” ucap Iqbal.

Iqbal mengatakan, selalu ada risiko pada setiap tindakan medis. Oleh karena itu, sebelum melakukan tindakan medis biasanya orang tua harus menandatangani surat informed consent. Artinya orangtua, kata dia, telah menyadari semua risiko yang ada.

“Nanti akan dilihat dulu apakah kasus yang terjadi ini itu disebabkan oleh kelalaian dokter atau disebabkan oleh hal yang lain,” jelas Iqbal.

Menurut Iqbal, jika karena kelalaian dokter, maka itu berarti benar terjadi malapraktik. Iqbal mengatakan, misal setelah dilakukan operasi terjadi pendarahan terus-menerus. Akibatnya, kata dia, terjadi berkurangnya aliran darah yang menyebabkan matinya batang otak.

“Itu bisa ada kemungkinan,” kata Iqbal.

Di sisi lain, kata dia, bisa juga karena alergi. Dia mengatakan, ada orang tertentu setelah diberikan zat anestesi mengalami gangguan yang berat. “Jangankan zat anestesi saja, kalau kita suntik orang dengan penghilang sakit itu orang risiko mengalami gangguan seperti itu tetap ada,” tutur Iqbal.

Sedangkan Wakil Ketua II Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Mahesa Paranadipa mengatakan, pihaknya siap melakukan pendampingan terhadap anggota IDI yang diduga melakukan malapraktik bila diminta.

Pendampingan yang akan diberikan PB IDI, kata dia, berupa pendampingan hukum mulai dari proses penyidikan hingga persidangan.

“Pada prinsipnya, PB IDI siap mendampingi anggota kalau diminta yang bersangkutan,” kata Mahesa.

Di sisi lain, kata Mahesa, PB IDI akan bertindak kooperatif dengan pihak kepolisian. Apabila pihak kepolisian meminta salah satu anggota IDI sebagai saksi ahli, maka IDI akan bersedia. Hingga kini, PB IDI masih menunggu keterangan resmi dari rumah sakit ihwal kasus dugaan malapraktik itu.

PB IDI terus berkoordinasi dengan IDI Bekasi untuk mengetahui perkembangan kasusnya. Mahesa menambahkan, saat ini IDI Bekasi secara intens berkoordinasi dengan kepolisian setempat.

Baca juga artikel terkait KASUS MALAPRAKTIK DI BEKASI atau tulisan lainnya dari Fransiskus Adryanto Pratama

tirto.id - Hukum
Reporter: Fransiskus Adryanto Pratama
Penulis: Fransiskus Adryanto Pratama
Editor: Abdul Aziz