tirto.id - Prabowo Subianto dan Ganjar Pranowo belum mengumumkan nama bakal cawapres yang akan mendampinginya meski pendaftaran capres-cawapres ke KPU RI tinggal hitungan hari. Hingga saat ini, masih ada sejumlah nama yang disebut-sebut akan menjadi pendamping keduanya. Salah satunya adalah Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presiden Joko Widodo.
Gibran yang saat ini menjabat Wali Kota Surakarta bahkan telah melaporkan ke PDIP –partai di mana Gibran dan Jokowi berlabuh—bila dirinya telah dilamar Prabowo sebagai bakal cawapres. Di sisi lain, Sekjen DPP PDIP, Hasto Kristiyanto menyebut bila partai moncong putih juga melirik Gibran.
Namun terlepas dari itu, ada sejumlah indikator yang menjadi pertimbangan Prabowo dan Ganjar untuk menentukan wakilnya. Mulai dari jabatan di parpol, kursi parpol, kekuatan di akar rumput, hingga elektabilitas atau tingkat keterpilihan.
Merujuk sejumlah hasil lembaga survei terkait elektabilitas cawapres, sejak jauh hari Gibran memang cukup konsisten berada di posisi atas dan bersaing dengan sejumlah tokoh lainnya. Gibran juga memegang jabatan publik sebagai wali kota di Solo, salah satu kandang banteng di Jawa Tengah.
Lembaga Survei Polling Institute misal, baru-baru ini secara khusus merilis hasil elektabilitas atau tingkat keterpilihan kandidat cawapres untuk Prabowo. Survei itu digelar pada periode 21–25 Agustus 2023. Hasilnya, elektabilitas Gibran menduduki posisi kedua dengan persentase 17,3 persen. Dia kalah dengan Erick Thohir yang mengantongi 28,8 persen.
Sementara hasil survei Litbang Kompas (Agustus 2023) juga memperlihatkan simulasi sejumlah kandidat cawapres yang dinilai potensial mendampingi Ganjar di Pilpres 2024. Hasilnya, elektabilitas simulasi Ganjar-Ridwan Kamil memperoleh suara tertinggi, yaitu 34,8 persen. Namun, simulasi pasangan Ganjar-Erick Thohir juga mendapat proporsi suara yang sama.
Di bawahnya, ada pasangan Ganjar-Mahfud MD dengan elektabilitas 33,9 persen. Diikuti oleh simulasi pasangan Ganjar-Sandiaga Uno dengan perolehan 33,7 persen. Sebagai catatan, saat ini kandidat pendamping Ganjar mengerucut ke tiga nama, yaitu: Mahfud MD, Sandiaga Uno, dan Khofifah Indar Parawansa. Sementara nama Ridwan Kamil hingga Erick gugur karena berada di barisan Koalisi Indonesia Maju atau kubu Prabowo.
Sedangkan nama Gibran, meski belum ada survei elektabilitas yang memasangkannya dengan Ganjar, tapi internal PDIP tetap meliriknya. “Mba Puan [Maharani] menyampaikan [PDIP] ikut melirik [Gibran]” kata Hasto saat Rakernas IV, Minggu (1/10/2023).
Gibran sendiri sudah ditugaskan PDIP menjadi Juru Kampanye Ganjar sejak Juli 2023. Penetapan ini merupakan tugas yang harus dilakukan lantaran ia merupakan kader aktif PDIP. Sebagai Juru Kampanye Capres Ganjar Pranowo, tentunya Gibran harus bersiap keliling wilayah untuk sosialisasi mengenai pemenangan saat Pemilu 2024.
Analis politik dari Aljabar Strategic, Arifki Chaniago menilai, PDIP tengah mengambil opsi yang pasti menang dengan membuka peluang Gibran menjadi bakal calon wakil presiden dari Ganjar. Sebab jika ini terjadi, tentu saja mendapat dukungan dari Jokowi.
“Paling tidak, dengan Gibran cawapres. Tidak mungkin Jokowi tidak dukung,” kata Arifki kepada reporter Tirto, Selasa (3/10/2023)
Peneliti politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Wasisto Raharjo Jati pun mengamini bahwa dalam konteks politik semua peluang itu dimungkinkan. Termasuk menjadikan Gibran sebagai pendamping Ganjar.
“Namun tentu di sini keputusan soal wacana duet itu kembali lagi pada ibu ketua umum [Megawati],” kata Wasisto kepada Tirto, Selasa (3/10/2023).
Jejak Historis Kebiasaan Megawati Pilih Figur
Sebaliknya, Ketua Majelis Pertimbangan PPP, Muhammad Romahurmuziy mengatakan, mustahil bagi Gibran menjadi pendamping Ganjar pada Pilpres 2024. Apalagi, kata dia, Megawati memiliki pola tersendiri dalam menentukan figur. Selain itu, Megawati juga tidak menyukai politikus instan.
“Kita lihat empat kali Bu Mega memilih calon wakil presiden, baik yang mendampingi beliau atau kemudian orang lain yang dijagokan beliau, itu semuanya itu petanya sama NU dan tua, dua ini,” kata pria yang akrab disapa Romi ini dalam podcast di Youtube Akbar Faizal Uncensored.
Pada 2001, Megawati berpasangan dengan Hamzah Haz dari PPP. Hamza Haz sendiri pernah menjadi Wakil Ketua DPW Nahdlatul Ulama (NU) Kalimantan Barat. Selain itu, pria kelahiran 15 Februari 1940 ini juga pernah mewakili NU di Gedung DPR/MPR Senayan pada 1971.
Kemudian pada Pilpres 2004, Megawati kembali mengambil tokoh dari NU sebagai pendampingnya, yakni KH Hasyim Muzadi. Namun, pasangan Megawati-Hasyim kalah dari duet anak buah Megawati, yaitu SBY-JK. Sebagai informasi, Hasyim Muzadi merupakan Ketua Umum PBNU selama dua periode pada 1999–2010.
Pola yang sama terjadi pada Pilpres 2014 dan 2019. Saat itu, Megawati tidak maju sendiri, tapi mencalonkan Jokowi yang notabene kader PDIP sebagai capres. Sementara pendampingnya juga dari tokoh NU, yaitu Jusuf Kalla di Pilpres 2014 dan KH Ma'ruf Amin pada 2019.
“Bahkan saya mendapat informasi Ibu Mega sudah menanyakan kepada pengurus besar NU, meskipun NU bukan partai politik, tapi sebagai sebuah kekuatan ormas berdasarkan survei baru-baru ini, 56 persen rakyat Indonesia mengaku NU. Itu artinya perlu sangat diperhitungkan,” kata Romi.
Romi mengatakan, Megawati merupakan sosok politikus klasik yang selalu memegang pola yang sama dalam menentukan tiket cawapres. Karena dilihat secara historisnya sosok yang didapuk selalu dari tokoh NU atau religius. “Dan itu tidak ketemu kalau Mas Gibran [cawapresnya Ganjar]," imbuh dia.
Saat ini bahkan Megawati sudah bertemu dengan Mahfud MD dan Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa. Setelah pertemuan itu, nama keduanya pun muncul sebagai kandidat bakal calon wakil presiden Ganjar.
Peluang Gibran Maju Terhalang Regulasi?
Di sisi lain, analis politik dari Ipsos Public Affairs, Arif Nurul Iman mengatakan, peluang Gibran maju dalam pilpres, baik sebagai cawapres Prabowo maupun Ganjar masih terhalang regulasi. Sebab secara aturan UU Pemilu, Gibran belum memenuhi syarat usia.
Mahkamah Konstitusi (MK) saat ini memang sedang menguji setidaknya tiga permohonan uji materi UU Pemilu, khususnya terkait syarat capres-cawapres. Namun hingga saat ini, belum ada keputusan apa pun.
“Jadi secara regulasi belum memenuhi secara usia (Gibran),” kata Arif kepada reporter Tirto, Selasa (3/10/2023).
Pada Senin, 2 Oktober 2023, MK bahkan telah mengeluarkan Ketetapan Nomor 100/PUU-XXI/2023 dalam perkara pengujian Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 (UU Pemilu). Pada intinya, MK telah mengabulkan penarikan permohonan soal uji materi syarat usia capres-cawapres. Akan tetapi, masih ada uji materi lain yang isinya sama dan belum diputus MK.
Dalam keterangannya, Ketua MK Anwar Usman menyebut, penarikan kembali permohonan para pemohon tersebut, Pasal 35 ayat (1) UU MK menyatakan, “Pemohon dapat menarik kembali permohonan sebelum atau selama pemeriksaan Mahkamah Konstitusi dilakukan,” dan Pasal 35 ayat (2) UU MK menyatakan bahwa penarikan kembali mengakibatkan permohonan a quo tidak dapat diajukan kembali.
Sebagai informasi, permohonan yang dicabut adalah yang diajukan oleh Hite Badenggan Lumbantoruan dan Marson Lumbanbatu. Sidang perdana untuk perkara Nomor 100/PUU-XXI/2023 ini digelar pada Rabu (13/9/2023) di Ruang Sidang Pleno MK.
“Pasal 169 huruf q UU Pemilu menyatakan, “Persyaratan menjadi calon presiden dan calon wakil presiden adalah: q. berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun”.
Para pemohon adalah warga negara Indonesia berusia 30 dan 38 tahun yang memiliki hak untuk memilih dan dipilih sebagai calon presiden dan wakil presiden. “Secara fakta, Pemohon dalam melaksanakan hak hukumnya yakni untuk mencalonkan dirinya sebagai wakil presiden tidak dapat dilaksanakan karena secara diskriminatif UU 7/2017 telah membatasi hak Pemohon karena calon Wakil Presiden harus minimal berusia 40 tahun,” kata Marson.
Fakta selanjutnya, syarat usia minimal calon kepala daerah adalah usia 30 tahun. Beberapa kepala daerah berusia di bawah 40 tahun, misalnya Gubernur Lampung M. Ridho Ficardo (34 Tahun), Wali Kota Medan Boby Nasution (32 tahun), Wali Kota Solo Gibran Rakabuming (35 Tahun).
Maka, adalah hal yang cukup beralasan bagi para Pemohon untuk mendalilkan bahwasanya Pasal 169 huruf q UU Pemilu tersebut tidak konsisten jika merujuk kepada ketentuan peraturan mengenai pencalonan kepala daerah yang memperbolehkan calon kepala daerah berusia di bawah 40 tahun.
Untuk itu, dalam petitum para pemohon meminta MK menyatakan frasa “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun” dalam Pasal 169 huruf q UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun.”
Gugatan yang ditarik ini hanya satu dari sekian gugatan yang sama terhadap Pasal 169 huruf q UU Pemilu. Gugatan lainnya masih berproses di MK. Artinya, bila gugatan yang belum dicabut dikabulkan MK, maka Gibran masih berpeluang maju pilpres.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz