tirto.id - Muruah Mahkamah Konstitusi (MK) tengah menjadi sorotan masyarakat. Sikap MK dalam memutuskan permohonan uji materi terkait batas usia calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres) dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, mulai dipertanyakan. Pasalnya, MK dinilai lambat dalam memproses putusan perkara tersebut. Padahal pendaftaran capres-cawapres Pemilu 2024 kian mepet tenggat, yang dilaksanakan 19-25 Oktober mendatang.
Kritik datang dari Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD. Ia menilai seharusnya proses uji materi terkait perkara tersebut tidak butuh makan waktu.
“Menurut saya sederhana, sih, kok terlalu lama memutus itu?” ujar Mahfud kepada wartawan di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Selasa (26/9/2023).
Mahfud juga menjelaskan, pengujian batas usia capres dan cawapres menjadi minimal 35 tahun atau maksimal 70 tahun adalah open legal policy (kebijakan hukum terbuka ranah pembentuk undang-undang). Ia berpandangan, ini seharusnya menjadi kewenangan DPR dan pemerintah sebagai positive legislator.
Ketua MK periode 2008-2013 melanjutkan, tugas dan fungsi Mahkamah Konstitusi itu sebagai negative legislator, artinya hanya membatalkan kalau sesuatu bertentangan dengan UUD 1945.
“Kita tidak boleh mengintervensi biar dia (MK) melihat sendiri apakah benar ini open legal policy atau tidak. Kalau ini tidak open legal policy, ada masalah yang harus segera diselesaikan itu apa, harus jelas nanti di dalam putusannya,” ujar Mahfud.
Sementara itu, Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Feri Amsari menyatakan, MK sudah pasti mempertimbangkan banyak hal terkait putusan perkara ini. Menurutnya, MK akan sulit menghindar dari label ikut campur dalam kepentingan politik jika berhasil memenangkan keputusan soal batas usia capres-cawapres.
“Karena Ketua MK (Anwar Usman) adalah paman salah satu orang yang berpotensi diuntungkan dari perkara ini kalau diputuskan menang,” kata Feri dihubungi reporter Tirto, Rabu (27/9/2023).
Feri menambahkan, jika perkara yang diputuskan MK berdampak pada proses pemilu yang saat ini sudah dalam proses tahapan, maka itu merupakan bentuk kesalahan.
“Padahal MK harus tahu dampak keputusannya bagi ruang penyelenggaraan pemilu dan di sanalah MK terlibat dalam konflik kepentingan politik (jika terjadi perubahan konstelasi pemilu),” tegas Feri.
Sebagai informasi, MK tengah menguji konstitusionalitas norma batas minimal usia calon presiden dan calon wakil presiden yang diatur dalam Pasal 169 huruf q UU Pemilu. Pasal tersebut mengatur syarat capres dan cawapres berusia minimal 40 tahun. Rata-rata pemohon meminta batas usia tersebut diturunkan menjadi 35 tahun atau lebih rendah dari itu. Ada juga pemohon yang meminta ditambahkan frasa, sudah berpengalaman sebagai penyelenggara negara dan kepala daerah.
Setidaknya ada tiga permohonan yang diajukan, ada dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI) bersama empat warga (perkara 29/PUU-XXI/2023); permohonan Ketua Umum Partai Garuda Ahmad Ridha Sabana dan Sekretaris Jenderal Partai Garuda Yohanna Murtika (perkara 51/PUU-XXI/2023); dan permohonan yang diajukan sejumlah kepala daerah dalam perkara 55/PUU-XXI/2023.
Seperti diketahui, Wali Kota Surakarta, Gibran Rakabuming Raka, adalah satu-satunya kandidat di bursa cawapres Pemilu 2024 yang umurnya baru 35 tahun. Gibran digadang-gadang dilirik sejumlah poros koalisi partai politik. Namun, jika mengacu aturan saat ini dalam UU Pemilu, Gibran tidak bisa maju berkontestasi karena belum memenuhi batas umur. Putra Presiden Joko Widodo itu sendiri, berulang kali membantah ihwal dikaitkan dengan uji materi batas usia capres-cawapres di MK.
Wakil Ketua Dewan Pembina PSI, Grace Natalie tak ambil pusing dengan lambatnya MK memutuskan perkara yang pihaknya ajukan. “Yah kita tunggu saja mas. Mau bagaimana lagi,” kata Grace singkat kepada reporter Tirto, Rabu (27/9/2023).
Dihubungi terpisah, Sekretaris Jenderal Partai Garuda, Yohanna Murtika mendesak MK segera memberikan jawaban atas permohonan pihaknya. Partai Garuda, kata Yohanna, sudah mengajukan gugatan tersebut berbulan-bulan.
“Kami berharap MK bisa segera memutuskan judicial review tersebut” terang Yohanna kepada reporter Tirto.
Bukan Isu Konstitusional
Ketua Dewan Nasional SETARA Institute, Hendardi menyatakan, untuk kepastian hukum, pihaknya mendesak MK segera menggelar sidang pleno pembacaan putusan, mengingat tahapan pilpres akan memasuki masa pendaftaran pada 19-25 Oktober 2023.
Menunda pembacaan putusan padahal sudah diputus, kata Hendardi, sama saja menunda keadilan.
“Menunda keadilan berarti menolak keadilan sebagaimana doktrin justice delayed justice denied. Artinya, putusan MK tidak akan berarti bagi penegakan kehidupan berkonstitusi,” kata Hendardi dalam keterangannya, Rabu (27/9/2023).
Hendardi menambahkan, pentingnya menyegerakan pembacaan putusan juga ditujukan untuk memberi pembelajaran bagi warga dan elite yang nafsu berkuasa dengan terus mengorkestrasi argumen keadilan.
“Bahwa seolah-olah pembatasan usia capres/cawapres adalah diskriminatif sehingga harus ditafsir lain,” ujarnya.
Padahal, kata Hendardi, sejak lama ihwal pengaturan usia pejabat publik dikategorikan bukan sebagai isu konstitusional oleh MK. Hal ini sebagaimana dalam putusan putusan No. 37/PUU-VIII/2010 terkait usia pimpinan KPK, putusan 49/PUU-IX/2011 terkait syarat usia calon hakim konstitusi, No. 15/PUU-XV/2017 terkait usia calon kepala daerah, dan putusan No. 58/PUU-XVII/2019 dan putusan No. 112/PUU-XX/2022 terkait syarat usia pimpinan KPK yang tetap dinyatakan sebagai bukan isu konstitusional.
“Batas usia dalam pengisian jabatan publik jelas merupakan open legal policy atau kebijakan hukum terbuka, yang oleh karenanya bukan kewenangan MK untuk mengaturnya,” tegas Hendardi.
Sementara itu, dosen hukum tata negara di Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Bivitri Susanti menyampaikan, MK tidak bisa beralasan jika banyaknya perkara sejenis yang diajukan ke mereka, membuat pembacaan keputusan menjadi semakin lama.
“Karena sudah pernah ada presedennya tuh di mana MK bisa mempercepat proses pengambilan keputusan,” kata Bivitri dihubungi reporter Tirto, Rabu (27/9/2023).
Menurut Bivitri, MK sering sekali menerima perkara yang pasalnya itu sama walaupun dengan argumen dan petitum yang berbeda. Ia menduga ada alasan lain yang sifatnya lebih politis dalam lambatnya pembacaan putusan perkara ini.
“Saya sih melihat memang ini sangat politis ya. Kita tahu salah satu tujuan dari masuknya perkara-perkara itu kan walaupun enggak ada nama Gibran-nya,” ungkap Bivitri.
Bivitri mencatat, ada tujuh kali MK memutus bahwa model batasan usia pejabat ini memang tetapkan sebagai open legal policy. Jadi seharusnya tidak sulit memutuskan hal yang sama dalam batas usia capres-cawapres.
Bivitri juga menilai akan terjadi perubahan konfigurasi koalisi yang terlalu cepat jika MK menangkan putusan perkara ini. Bivitri menegaskan seharusnya jika memang terjadi perubahan yang berdampak pada UU Pemilu, itu tidak bisa digunakan dalam Pemilu 2024.
“Sehingga walaupun misalnya mau ada perubahan ya harusnya bukan untuk sekarang. Kalau untuk sekarang jadi makin kelihatan jelas bahwa ini memang sangat-sangat politis,” tegas Bivitri.
Di sisi lain, Direktur Eksekutif Perludem, Khoirunnisa Nur Agustyati mengatakan, jika MK belum memutuskan permohonan ini sampai dengan nanti masa pendaftaran capres-cawapres, maka ketentuan yang berlaku tetap mengikuti UU Pemilu saat ini.
“Putusan MK tidak berlaku surut,” kata Khoirunnisa kepada reporter Tirto.
Sementara dosen politik dari Unpad, Kunto Adi Wibowo menilai, sangat sulit membendung asumsi publik untuk tidak mengaitkan lambatnya putusan MK terkait dengan isu politik. Meski tidak ada bukti, kata Kunto, hubungan kekerabatan dari Ketua MK Anwar Usman dengan Presiden Jokowi dapat membangun opini publik adanya konflik kepentingan di balik perkara ini.
“Sangat mungkin ini soal Mas Gibran, meski sudah berunglang kali dibantah, tapi susah membantahnya,” kata Kunto kepada reporter Tirto.
Respons MK
Kepala Biro Hukum Administrasi dan Kepaniteraan MK, Fajar Laksono berdalih, belum adanya sidang putusan terkait batas usia capres-cawapres dikarenakan perkara yang sedang ditangani MK saat ini cukup banyak.
Termasuk, kata Fajar, terkait permohonan pengujian materiil soal batas usia capres-cawapres dalam UU Pemilu yang masih terus masuk.
“Semua permohan dan perkara dicermati secara seksama sebelum kemudian diputus. Mohon semua pihak bersabar,” kata Fajar dihubungi reporter Tirto, Rabu (27/9/2023).
Ia menambahkan, publik bisa memantau sendiri jadwal sidang MK di mkri.id. Adapun kalau sudah muncul di jadwal, berarti sudah diagendakan sidang pengucapan putusan.
“Sekiranya sudah siap, pasti akan segera diagendakan pengucapan putusan, termasuk utk perkara dimaksud,” tandasnya.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz