tirto.id - Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Budi Arie Setiadi menyampaikan, pembuat stiker WhatsApp (WA) bergambar wajah seseorang bisa dijerat dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), bila digunakan untuk hal negatif. Hal ini ia sampaikan merespons kontroversi penggunaan stiker wajah orang di aplikasi WhatsApp yang menjadi sorotan pengguna media sosial beberapa waktu terakhir.
“Nah itu, kan, macam-macam. Bisa ke UU ITE kalau dipakai buat hal-hal yang buruk, kan?” kata Budi Arie di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Senin (25/9/2023).
Budi Arie menekankan, ada unsur hak cipta sehingga butuh izin. Hal itu membuat stiker tidak bisa sembarangan dibuat. Kendati demikian, perdebatan justru mencuat karena membuka peluang penggunaan UU ITE untuk mengkriminalisasi pihak tertentu. Apalagi, Budi Arie tidak merinci pasal dan jenis pelanggaran semacam apa yang membuat pembuat stiker di WA bisa dijerat UU ITE.
Perbincangan ini sebelumnya ramai ketika pemilik akun TikTok bernama @BangHafidd menyampaikan soal masalah stiker WA yang bisa membuat seseorang dipidana. Menurutnya, pelaku bisa bisa dipidana dengan dasar hukum Pasal 32 ayat 1 UU ITE jika menggunakan foto orang lain sebagai stiker.
“Ini ada hukumnya yakni Pasal 32 ayat 1 UU ITE yang berisi 'Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apa pun mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmigrasi, merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu informasi elektronik atau dokumen elektronik milik orang lain atau milik publik, apabila melanggar terkena sanksi pidana',” ujar Hafid dalam videonya yang diunggah melalui Tiktok, Selasa, 12 September 2023.
Ahli hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar mengatakan, pembuatan dan penggunaan stiker --terutama yang menggunakan wajah seseorang– merek maupun ciptaan, memang berpotensi dikategorikan sebagai pelanggaran hukum.
“Maksudnya stiker WA wajah (merek atau ciptaan) orang lain, ya itu kenanya UU HAKI (mempublikasi hak atas kekayaan intelektual, seperti hak cipta, paten dan sebagainya) milik orang lain atau KUHP pasal penghinaan atau perbuatan tidak menyenangkan,” kata Fickar kepada Tirto, Selasa (26/9/2023).
Fickar menyebutkan sejumlah pasal yang bisa dikenakan para pelaku pembuat stiker antara lain Pasal 112 UU Hak Cipta (UU 28/2014), penggunaan komersial ciptaan orang lain dengan hukuman maksimal 2 tahun plus denda Rp300 juta.
Kemudian Pasal 113 UU Hak Cipta atau Pasal 114 UU Hak Cipta soal hak ekonomi dan dugaan pembajakan. Masyarakat bisa dikenakan ancaman hukuman maksimal 10 tahun penjara dan denda hingga Rp4 miliar. Ia pun membenarkan pelaku bisa dijerat UU ITE.
“Ya termasuk Pasal 32 (1) UU ITE mentransmisikan info atau dokumen elektronik milik orang lain tanpa hak, sanksinya 8 tahun penjara dan atau denda Rp2 miliar,” tutur Fickar.
Sebaliknya, Direktur Eksekutif ELSAM, Wahyudi Djafar menilai, jika mengacu UU ITE, tidak bisa ditemukan delik aduan untuk hal tersebut. Misal menggunakan UU ITE Pasal 27 tentang pencemaran nama baik, maka tidak sesuai dengan konteks yang ada di dalamnya.
“Untuk penghinaan atau Pasal 28 ayat 2 (UU ITE) yang konteksnya hate speech, itu mungkin, tapi nanti ujungnya ke UU PDP (Perlindungan Data Pribadi) karena itu rekam wajah seseorang dan itu kan objek pribadi seorang,” kata Wahyudi dihubungi reporter Tirto, Selasa (26/9/2023).
Menurut Wahyudi, pembahasan soal ini seharusnya tidak perlu sampai membuka peluang kriminalisasi atau pidana. Ia menilai, pembuatan stiker WA bergambar wajah seseorang masuk dalam pembahasan etis dan tidak etis saja dalam penggunaan media sosial.
“Sehingga tidak semua tindakan yang nilai bahayanya tidak ada, niat jahatnya tidak ada, pendekatannya malah pakai pidana atau kriminalitas. Ini malah mempersempit ruang berekspresi, tidak perlu terlalu jauh menggunakan pasal pidana baik UU PDP atau bahkan UU ITE yang deliknya saja tidak mungkin,” jelas Wahyudi.
Jika dibuka peluang menggunakan UU PDP untuk menjerat pembuat stiker WA, kata Wahyudi, justru malah membuka ruang kriminalisasi baru. Ia menyatakan bahwa pernyataan Menkominfo Budi Arie justru merupakan bentuk ancaman yang menakuti masyarakat.
“Mustinya mewanti-wanti tadi ke civil dan uncivil atau etis dan tidak etis. Bukan dengan ancaman kalau bikin stiker atau membuatnya bisa diancam pidana, ini mengesankan ini seperti chilling efek,” tegas Wahyudi.
Terlebih, jika memaksakan menggunakan UU ITE, hal ini terkesan memaksakan mencari kesalahan dengan aturan yang sudah usang. Apalagi, saat ini UU ITE sedang dalam proses revisi karena mencantumkan sejumlah pasal karet yang menggancam kebebasan berekspresi dan berpotensi melahirkan kriminalisasi.
“UU ITE tidak relevan lagi mengatur tindak pidana karena sejatinya ketentuan pidana itu sudah diatur dalam KUHP baru, tidak kemudian justru memungkinkan terjadinya double pengukuman,” ujar Wahyudi.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid menyatakan, pernyataan Menkominfo Budi Arie berlebihan dan patut dikritik karena hal itu dapat membuka peluang penyalahgunaan hukum.
“Dan membatasi kebebasan kreativitas serta berbicara di dunia maya, serta berpotensi mengancam kebebasan berbicara dan berekspresi,” ujar Usman dihubungi reporter Tirto, Selasa (26/9/2023).
Amnesty International Indonesia mencatat jumlah kasus kebebasan ekspresi di Indonesia yang dijerat UU ITE selama 2023 (hingga bulan September) paling tidak sebanyak 39 kasus dengan 44 korban. Apalagi, kata Usman, beberapa pasal dalam UU ITE telah digunakan secara kontroversial untuk membatasi kebebasan berbicara dan mengekang aktivitas di dunia maya sehingga patut direvisi dan dicabut.
“Maka, ketimbang terus menebar ancaman kepada warga dengan UU ITE yang masih bermasalah, lebih baik pemerintah bersama DPR serius merevisi UU tersebut seperti yang terus kami suarakan bersama dengan rekan-rekan sesama anggota Koalisi Serius Revisi UU ITE,” tegas Usman.
Sebanyak 28 organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Serius Revisi UU ITE menilai pembahasan revisi UU ITE antara pemerintah dengan Komisi I DPR RI dilakukan secara tergesa-gesa, tidak serius menjawab permasalahan (termasuk ancaman kriminalisasi/pembungkaman kebebasan berekspresi), tertutup dan minim partisipasi publik.
Berdasarkan catatan Indonesian Parliamentary Center (IPC) hingga 7 Juli 2023 yang dihimpun dari pemberitaan media dan risalah rapat, setidaknya Panja Komisi I DPR telah menggelar 12 rapat terkait revisi kedua UU ITE. Dari jumlah tersebut ternyata hanya 5 rapat yang diumumkan secara resmi di website DPR. Itu pun hanya mencantumkan siapa saja yang hadir tanpa menyertakan isi pembahasan.
Ahli hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Imam Bonjol, Rony Saputra menyatakan, memang normatif, membuat stiker meme menggunakan wajah seseorang, dan tidak ada persetujuan dari yang bersangkutan, maka dapat dikenakan Pasal 27 ayat (3) UU ITE dengan ancaman pidana Pasal 45 ayat (3) UU ITE. Namun, kata Rony, ini menunjukkan potensi pasal karet dalam UU ITE.
“Oleh karena pasal karet, ya bisa digunakan sekehendak penguasa, tidak hanya akan menyasar lawan politik, masyarakat ‘badarai’ pun bisa dijerat,” terang Rony saat dihubungi reporter Tirto, Selasa (26/9/2023).
Rony tidak yakin revisi UU ITE di tahun politik seperti saat ini bisa dijalankan dengan maksimal. Apalagi, kata Rony, pasal-pasal yang akan direvisi merupakan pasal-pasal potensial yang dapat digunakan untuk menjerat orang-orang yang tidak disukai secara politik.
Kendati demikian, Rony mendorong revisi UU ITE bisa dilakukan dengan komprehensif. Selain itu, revisi urgen dilakukan karena banyak pasal-pasal dalam UU ITE kemudian telah masuk dalam KUHP baru dan UU sektoral lainnya.
“Beberapa pasal yang perlu dihapus adalah pencemaran nama baik, pengancaman dan pemerasan, menyebarkan materi pornografi/kesusilaan, dan informasi bohong dan SARA,” jelas Rony.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz