Menuju konten utama
Pemilu Serentak 2024

Saat Anies, Prabowo & Ganjar Bicara Kebebasan Berekspresi

Anies Baswedan sebut kebebasan berpendapat di Indonesia bermasalah, sementara Prabowo dan Ganjar bilang lebih baik. Bagaimana faktanya?

Saat Anies, Prabowo & Ganjar Bicara Kebebasan Berekspresi
Header News Ganjar Prabowo Anies. tirto.id/Tino

tirto.id - Bakal capres dari Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP), Anies Baswedan menyentil soal kebebasan berekspresi di Indonesia. Dia memandang kebebasan berpendapat saat ini sedang bermasalah. Anies bahkan memberi nilai tingkat kebebasan berpendapat di Indonesia dengan skor lima dan enam dari skala 10.

“Skor angkanya mungkin sekitar lima dan enam,” kata Anies dalam acara Mata Najwa on Stage seperti disiarkan akun YouTube Najwa Shihab dikutip reporter Tirto, Rabu (20/9/2023).

Anies juga menyinggung penggunaan kata Wakanda yang kerap digunakan masyarakat Indonesia sebagai upaya menyampaikan kritik secara langsung. “Selama kita menulis tentang Indonesia masih harus menggunakan Wakanda, maka skor kita masih rendah,” ujar Anies.

Menurut Anies, selama kita masih menggunakan nama-nama selain diri sendiri untuk mengungkapkan pikiran, maka skor kebebasan berekspresi di Indonesia masih rendah. Ia menilai tidak seharusnya masyarakat merasa takut menggunakan diksi “Indonesia” secara langsung ketika melakukan kritik.

Namun, Anies mengatakan, pemberian skor tidak dapat menggambarkan secara utuh bagaimana kondisi kebebasan berpendapat di Indonesia. “Kita tidak bisa sesederhana, sekadar angka saja, tapi menurut saya kita masih jauh dari harapan sekarang,” tutur Anies.

Bukan kali ini saja Anies menyentil kebebasan berpendapat. Ia bahkan sempat menyuarakan revisi UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Anies kala itu merespons kritik publik yang kerap berujung laporan polisi. Dia khawatir suara kritis masyarakat hilang lantaran takut berhadapan dengan penegak hukum. Bagi Anies, kritik itu berdampak pada dua hal: nyaman dan tidak nyaman di telinga.

Anies menuturkan, kritik adalah hak setiap warga untuk menyampaikan isi pikirannya. Menurutnya, seharusnya pemerintah menjawab kritik, bukan justru dibalas laporan ke polisi.

Bicara gagasan bacapres di UGM

Bakal calon presiden dari partai Nasional Demokrat Anies Baswedan menyampaikan gagasan di UGM, Sleman, DI Yogyakarta, Selasa (19/9/2023). ANTARA FOTO/Hendra Nurdiyansyah/foc.

Dalam acara serupa, bakal capres dari Koalisi Indonesia Maju (KIM) Prabowo Subianto mengaku mendukung kebebasan berpendapat. Ketum Partai Gerindra itu memastikan kebebasan berpendapat penting untuk mengontrol pemerintahan.

Sebab, Prabowo mengaku khawatir dengan upaya penyalahgunaan media sosial sebagai tempat berekspresi. Prabowo ingin memberi perhatian pada ujaran yang mengarah hal negatif seperti hoaks dan ujaran kebencian.

“Intinya yang khawatir adalah nanti platform-platform itu (digunakan) untuk mengujar kebencian, untuk manas-manasin kebencian dan sering (dipenuhi) dengan kebohongan, hoaks dan sebagainya. Menurut saya ini rawan, itu harus diperhatikan,” tutur Prabowo.

Mantan Pangkostrad itu menilai, kebebasan berpendapat di era Pemerintah Jokowi lebih baik. Dia memberikan nilai 8 untuk kebebasan berpendapat. Prabowo mengaku sering difitnah, tetapi tidak merespons permasalahan itu.

Bicara gagasan Bacapres di UGM

Bakal calon presiden dari partai Gerindra Prabowo Subianto menyampaikan gagasan di UGM, Sleman, DI Yogyakarta, Selasa (19/9/2023). ANTARA FOTO/Hendra Nurdiyansyah/YU

Hal senada diungkapkan bakal capres dari PDIP, Ganjar Pranowo. Ia memandang kebebasan berpendapat di Indonesia sudah jauh lebih baik. Mantan Gubernur Jawa Tengah itu menyebut skor 7,5 soal kebebasan berekspresi.

Ganjar memandang kebebasan berpendapat di Indonesia sudah membaik, karena semua masyarakat bisa menyampaikan isi pikiran dan kritik secara langsung atau lewat media sosial, tanpa khawatir diseret ke ranah hukum.

“Saya tiap hari di-bully kok, Mbak. Saya menuntut mereka? Tidak. Mereka yang mem-bully saya saat gubernur, saya anggap mereka kasih energi koreksi buat saya. Mereka tidak saya penjarakan kok," kata Ganjar.

Bicara gagasan Bacapres di UGM

Bakal calon presiden dari partai PDI Perjuangan Ganjar Pranowo menyampaikan gagasan di UGM, Sleman, DI Yogyakarta, Selasa (19/9/2023). ANTARA FOTO/Hendra Nurdiyansyah/YU

Melihat Fakta dan Data Kebebasan Bicara di Indonesia

Kepala Divisi Riset dan Dokumentasi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Rozy Brilian memandang, situasi kebebasan berpendapat di Indonesia memang berangsur-angsur memburuk di era Jokowi. Hal ini, kata Rozy, dilegitimasi oleh sejumlah survei dan penelitian.

“Kami menuliskan bahwa misalnya freedom house kita adalah negara yang setengah bebas. Kalau setengah bebas berarti, kan, lima. Economist Intelligence Unit (EIU) juga menyatakan hal yang sama bahwa kita ada dalam demokrasi cacat,” kata Rozy saat dihubungi reporter Tirto, Rabu (20/9/2023).

Rozy tak sepakat dengan Parbowo dan Ganjar yang menyatakan kebebasan berpendapat di era Jokowi membaik. Sebab, dia menilai tak berbasis data dan hanya menggunakan perasaan serta pengalaman pribadi.

“Jangan dasarnya perasaan. Ada masyarakat yang kena UU ITE dan itu termasuk Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar,” ucap Rozy.

Rozy juga menyoroti aksi represi yang dilakukan di platform publik yang diserang buzzer, bahkan jurnalis menjadi korban. Karena itu, dia memandang, Indonesia dalam situasi yang sangat buruk soal kebebasan berekspresi.

“Bahkan di 2021 yang terburuk dalam 10 tahun terakhir. Jadi, memang di era kepemimpinan Jokowi tidak ada satu kenaikan signifikan dalam angka demokrasi,” kata Rozy.

Di sisi lain, Rozy menyoroti laporan dugaan penghinaan terhadap Jokowi yang diduga dilakukan Rocky Gerung. Sebab, yang melaporkan Rocky adalah sukarelawan Jokowi bahkan kader PDIP. Hal itu dinilai terkesan menciptakan konflik horisontal.

KontraS, kata Rozy, sangat menyayangkan hal itu. Sebab, bukannya menjaga iklim demokrasi agar tetap bebas, tapi justru laporan-laporan tersebut justru menggerus angka demokrasi itu sendiri.

“Karena memang perangkat hukumnya ada, dan kemudian berseberangan dengan pandangan oposisi, kemudian akhirnya melakukan menggunakan perangkat hukum untuk melaporkan atau menghukum orang yang kritik itu," tutup Rozy.

KontraS mencatat pada kurun waktu Januari 2022-Juni 2023, setidaknya terdapat 183 peristiwa pelanggaran hak terhadap kebebasan berekspresi, mulai dari serangan fisik, digital, penggunaan perangkat hukum, hingga intimidasi.

Sejumlah peristiwa tersebut telah menimbulkan setidaknya 272 korban luka-luka dan 3 lainnya tewas. Sementara itu, ragam peristiwa yang terjadi mengakibatkan 967 orang ditangkap. KontraS juga mencatat, kepolisian menjadi pelaku dominan dengan terlibat pada 128 peristiwa, diikuti unsur pemerintah lain dengan 27 peristiwa dan swasta (perusahaan) dengan 24 peristiwa.

Melihat sejumlah fenomena itu, Koalisi Masyarakat Sipil mendesak pemerintah dan DPR RI untuk segera mencabut pasal-pasal bermasalah dalam draf revisi kedua UU ITE. Koalisi menegaskan pencabutan pasal-pasal bermasalah dalam UU ITE ini penting agar memberikan jaminan kemerdekaan warga untuk menikmati hak kebebasan berekspresi dan berpendapat serta melindungi keamanan pembela hak asasi manusia.

Revisi kedua UU ITE saat ini sudah di tangan Panitia Kerja Komisi I DPR RI. Namun, koalisi yang terdiri atas 28 organisasi masyarakat sipil menilai, pembahasan tersebut dilakukan secara tergesa-gesa, tidak serius menjawab permasalahan (termasuk ancaman kriminalisasi/pembungkaman kebebasan berekspresi), tertutup dan minim partisipasi publik. Mereka memandang revisi beleid ini terkesan tertutup.

Menurut mereka, tertutupnya pembahasan revisi kedua UU ITE menyalahi prinsip negara demokrasi yang seharusnya membuka partisipasi bermakna bagi publik, sebuah prinsip di mana seharusnya masyarakat memiliki hak untuk didengarkan, hak untuk mendapatkan informasi, hak untuk dipertimbangkan masukannya, hak untuk mendapatkan penjelasan, serta hak untuk mengajukan komplain.

Sidang kasus Haris Azhar dan Fatia

Terdakwa Direktur Lokataru Haris Azhar (tengah) bersama Koordinator Kontras Fatia Maulidiyanti (kanan) mendengarkan keterangan asisten bidang media Menko Marves Singgih Widyastono (kiri) di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Senin (12/6/2023). Sidang kasus pencemaran nama baik terhadap Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan tersebut beragenda mendengarkan keterangan dua orang saksi yang dihadirkan oleh jaksa penuntut umum (JPU). ANTARA FOTO/Fakhri Hermansyah/nym.

Pemerintah Klaim Hapus Pasal Karet UU ITE

Wakil Menteri Hukum dan HAM, Edward Omar Sharif Hiariej usai bertemu Presiden Jokowi di Istana Kepresidenan pada 28 November 2022, mengklaim pemerintah telah menghapus pasal pencemaran nama baik atau Pasal 27 dan Pasal 28 UU ITE dengan mengesahkan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP).

“KUHP ini dia menghapus pasal-pasal terkait pencemaran nama baik dan penghinaan yang ada di dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik,” kata Eddy kala itu.

Eddy menuturkan, penghapusan pasal tersebut adalah kabar baik demokrasi dan kebebasan berekspresi. Eddy beralasan, dia sudah memahami posisi media yang kerap menyampaikan kritik aparat yang kemudian terkesan 'dibalas' dengan penerapan UU ITE. Oleh karena itu, demi mencegah disparitas dan gap dalam pelaksanaan undang-undang, pemerintah memutuskan untuk memasukkan ketentuan dalam UU ITE pada RKUHP.

Akan tetapi, di tengah banyak desakan untuk mencabut UU ITE karena telah banyak makan korban, pemerintah memilih enggan mencabut beleid itu. Menko Polhukam Mahfud MD memandang, jika UU ITE dicabut Indonesia melakukan bunuh diri.

Menurut Mahfud, keputusan tidak mencabut UU ITE ini berdasar diskusi dengan sejumlah pihak. Pemerintah mengikutsertakan 50 orang yang terdiri dari akademisi, praktisi hukum, NGO, korban UU ITE, pelapor UU ITE, politikus, dan jurnalis dalam memutuskan ini.

Dia mengatakan, UU ITE ini sangat penting dan sudah hadir sejak 2008. Menurut Mahfud, undang-undang ini mengancam keamanan, kedaulatan, dan keutuhan bangsa di lingkungan digital.

Penjajakan penyusunan UU ITE sendiri dimulai di era Presiden Megawati, tepatnya pada 2003. Konon, dua buah RUU yakni Tindak Pidana Teknologi Informasi dan e-Commerce alias perdagangan elektronik dijadikan satu naskah RUU dan diserahkan ke DPR. Pembahasan UU ITE dibahas pada 2005 hingga 2007, dan disahkan era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 2008.

UU ITE memiliki beberapa bagian. Bagian pertama, terkait e-commerce yang mengatur soal marketplace. Selanjutnya di bagian kedua mengatur tentang tindak pidana teknologi informasi dengan sub bagian mulai dari konten ilegal, unggahan bernuansa SARA, kebencian, hoaks, penipuan, pornografi, judi, hingga pencemaran nama baik. Di sub bagian lainnya juga terdapat aturan soal akses ilegal seperti hacking, penyadapan, serta gangguan atau perusakan sistem secara ilegal.

Namun, bagian UU ITE yang kerap menjadi masalah di tengah masyarakat ialah di bagian kedua. Bagian yang tertuang dalam Pasal 27 hingga 29 ini terus menjadi perdebatan, dianggap bersifat karet, dan disebut menjadi alat membungkam kritik yang dilayangkan ke pemerintah.

Baca juga artikel terkait PEMILU 2024 atau tulisan lainnya dari Fransiskus Adryanto Pratama

tirto.id - News
Reporter: Fransiskus Adryanto Pratama
Penulis: Fransiskus Adryanto Pratama
Editor: Abdul Aziz