Menuju konten utama

Daftar Pasal UU ITE yang Sering Menjerat Netizen di Medsos

Menurut SAFEnet, UU ITE kerap menjerat netizen di medsos. Sejak 2008-2020 ada puluhan kasus. Berikut daftar pasal yang dimaksud.

Daftar Pasal UU ITE yang Sering Menjerat Netizen di Medsos
Ilustrasi. FOTO/iStockphoto

tirto.id - UU ITE atau Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik kerap menjerat netizen di medsos. Southeast Asian Freedom of Expression Network (SAFEnet) mencatat puluhan kasus sejak 2008 hingga 2020.

Virtual Police menciduk seorang pria berinisial AM karena dituding menyebarkan hoaks terkait Wali Kota Surakarta, Gibran Rakabuming Rakaputra.

AM memberikan komentar: "Tau apa dia tentang sepak bola, taunya dikasih jabatan saja," di akun Instagram @garudarevolution. Komentar AM tersebut untuk menanggapi keinginan Gibran menggelar semifinal dan final piala Menpora di Kota Solo.

Komentar-komentar yang dianggap menyebar hoaks hingga mencemarkan nama baik di media sosial tak jarang menyebabkan netizen berurusan dengan pihak berwajib. Ada yang dijerat dengan UU ITE dan UU lainnya.

SAFEnet, lembaga nirlaba yang berfokus pada kebebasan berekspresi, mencatat puluhan kasus netizen yang terjerat UU ITE sejak 2008 hingga 2020.

Berikut Daftar Pasal yang sering digunakan untuk menjerat komentar dan unggahan netizen di media sosial berdasarakn data SAFEnet:

1. Pasal 27 ayat 1 dan ayat 3 UU ITE

Pasal 27 merupakan salah satu pasal yang banyak digunakan. Pasal 27 ini terdiri dari empat ayat yakni:

Ayat 1: "Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan."

Dalam UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “mendistribusikan” adalah mengirimkan dan/atau menyebarkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik kepada banyak Orang atau berbagai pihak melalui Sistem Elektronik.

Yang dimaksud dengan “mentransmisikan” adalah mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang ditujukan kepada satu pihak lain melalui Sistem Elektronik.

Sedangkan yang maksud dengan “membuat dapat diakses” adalah semua perbuatan lain selain mendistribusikan dan mentransmisikan melalui Sistem Elektronik yang menyebabkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dapat diketahui pihak lain atau publik.

Ayat 2: "Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan perjudian."

Ayat 3: "Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik."

Ketentuan pada ayat ini mengacu pada ketentuan pencemaran nama baik dan/atau fitnah yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), menurut penjelasan dalam UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE

Ayat 4: "Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/atau pengancaman."

Dalam UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE menjelaskan bahwa ketentuan pada ayat ini mengacu pada ketentuan pemerasan dan/atau pengancaman yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

2. Pasal 28 ayat 2 UU ITE

Selain pasal 27 UU ITE, warganet juga sering dijerang dengan pasal 28 ayat 2 UU ITE. Berikut isi pasal 28 UU ITE:

Ayat 1: "Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik."

Ayat 2: "Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)."

3. Pasal 29 UU ITE

Selain itu, netizen juga kerap terjerat pasal 29 UU ITE. Berikut isi pasal 29 UU ITE:

"Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan

secara pribadi."

Berdasarkan data SAFEnet, unggahan netizen di media sosial yang terjerat UU ITE itu mulai dari ujaran kebencian, pornografi hingga ancaman.

Media yang digunakan netizen mulai dari:

1. Blog;

2. E-mail;

3. Facebook (termasuk Pages);

4. Instagram (termasuk Instastory);

5. WhatsApp (termasuk WAstory),

6. Youtube;

7. Twitter;

8. Media Online (termasuk platform User Generated Content/UGC);

9. SMS.

Pelanggaran UU ITE Meningkat

Awalnya pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), selanjutnya direvisi melalui UU Nomor 19 Tahun 2016.

Kemudian Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo mengeluarkan Surat Edaran (SE) Nomor: SE/2/11/2021 tentang Kesadaran Budaya Beretika untuk Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, Sehat dan Produktif.

Surat Edaran bernomor SE/2/11/2021 itu ditandatangani langsung oleh Kapolri Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo pada Jumat, 19 Februari 2021.

Dalam SE tersebut, Kapolri mempertimbangkan perkembangan situasi nasional soal penerapan UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang dinilai kontradiktif dengan hak kebebasan berekspresi masyarakat melalui ruang digital.

Dalam SE itu disebutkan bahwa dalam melakukan penanganan dugaan pelanggaran UU ITE, penyidik Polri diminta memedomani hal-hal sebagai berikut:

  1. Mengikuti perkembangan pemanfaatan ruang digital yang terus berkembang dengan segala macam persoalannya;
  2. Memahami budaya beretika yang terjadi di ruang digital dengan menginventarisasi berbagai permasalahan dan dampak yang terjadi di masyarakat;
  3. Mengedepankan upaya preemtif dan preventif melalui virtual police dan virtual alert yang bertujuan untuk memonitor, mengedukasi, memberikan peringatan, serta mencegah masyarakat dari potensi tindak pidana siber;
  4. Dalam menerima laporan dari masyarakat, penyidik harus dapat dengan tegas membedakan antara kritik, masukan, hoaks, dan pencemaran nama baik yang dapat dipidana untuk selanjutnya menentukan langkah yang akan diambil;
  5. Sejak penerimaan laporan, penyidik berkomunikasi dengan para pihak terutama korban (tidak diwakilkan) dan memfasilitasi serta memberi ruang seluas-luasnya kepada para pihak yang bersengketa untuk melaksanakan mediasi;
  6. Melakukan kajian dan gelar perkara secara komprehensif terhadap perkara yang ditangani dengan melibatkan bareskrim/dittipidsiber (dapat melalui zoom meeting) dan mengambil keputusan secara kolektif kolegial berdasarkan fakta dan data yang ada;
  7. Penyidik berprinsip bahwa hukum pidana merupakan upaya terakhir dalam penegakan hukum (ultimatum remidium) dan mengedepankan restorative justice dalam penyelesaian perkara;
  8. Terhadap para pihak dan/atau korban yang akan mengambil langkah damai agar menjadi bagian prioritas penyidik untuk dilaksanakan restorative justice terkecuali perkara yang bersifat berpotensi memecah belah, SARA, radikalisme, dan separatisme;
  9. Korban yang tetap ingin perkaranya diajukan ke pengadilan, tapi bila tersangkanya telah sadar dan meminta maaf, terhadap tersangka tidak dilakukan penahanan dan sebelum berkas diajukan ke JPU agar diberikan ruang untuk mediasi kembali;
  10. Penyidik agar berkoordinasi dengan JPU dalam pelaksanaannya, termasuk memberikan saran dalam hal pelaksanaan mediasi pada tingkat penuntutan; dan
  11. Agar dilakukan pengawasan secara berjenjang terhadap setiap langkah penyidikan yang diambil dan memberikan reward serta punishment atas penilaian pimpinan secara berkelanjutan.

Pada hari yang sama, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md menyatakan, telah membentuk dua tim terkait polemik pasal-pasal karet dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Dua tim tersebut masing-masing bertugas membuat pedoman interpretasi dan mengkaji kemungkinan revisi UU ITE.

"Satu tim yang bertugas untuk membuat interpretasi yang lebih teknis dan membuat kriteria implementasi dari pasal-pasal yang selama ini sering dianggap pasal karet," kata Mahfud, dikutip dari indonesia.go.id.

Terlepas dari itu, pelanggaran UU ITE tercatat terus meningkat setiap tahun, menurut Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karo Penmas) Divisi Humas Polri Brigjen Rusdi Hartono, Kamis (11/3/2021).

"Pada tahun 2018 itu ada laporan polisi 4.360. Kemudian 2019 meningkat jadi 4.586. Kemudian 2020 meningkat lagi menjadi 4.790. Ini kecenderungannya laporan polisi terkait UU ITE meningkat," kata Rusdi, dikutip dari Antara.

Kasus pencemaran nama baik masih mendominasi laporan di kepolisian terkait UU ITE.

Pada 2018 terdapat 1.258 laporan, 2019 sebanyak 1.333 laporan dan pada 2020 menjadi 1.794 laporan polisi yang menyangkut pencemaran nama baik.

Urutan kedua ditempati ujaran kebencian sebanyak 238 laporan pada 2018, meningkat mencapai 247 laporan pada 2019 dan 223 laporan polisi pada 2020.

Selanjutnya terkait informasi hoaks atau kabar bohong juga mengalami hal serupa. "2018 itu 60 kasus, 2019 ada 97 kasus, dan 2020 menjadi 197 kasus yang menyangkut hoaks," ujar Rusdi.

Link Isi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

Link Isi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE

Baca juga artikel terkait UU ITE atau tulisan lainnya dari Yantina Debora

tirto.id - Hukum
Penulis: Yantina Debora
Editor: Abdul Aziz