tirto.id - Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Sukarelawan Sekretariat Nasional (Seknas) Jokowi di Bogor, Jawa Barat, Sabtu (16/9/2023), seakan-akan menjadi panggung penegasan bahwa Presiden Joko Widodo, bukan seorang pemimpin kaleng-kaleng. Dalam kesempatan tersebut, Jokowi mengaku memiliki data intelijen terkait arah dukungan partai politik pada Pilpres 2024.
Jokowi menegaskan dirinya mengetahui ‘jeroan’ parpol secara komplet dan mengerti ke mana arah parpol-parpol menuju. “Saya tahu dalamnya partai, saya tahu. Partai-partai seperti apa, saya tahu. Ini mereka menuju ke mana, saya ngerti. Informasi yang saya terima komplet,” kata Jokowi.
Ia mengaku mendapatkan aliran informasi tersebut dari lembaga intelijen seperti Badan Intelijen Negara (BIN), Intelijen Polri, serta Badan Intelijen Strategis (BAIS) TNI dan informasi dari sumber-sumber lain.
“Dari intel di Polri, ada. Dari intel TNI, saya ada BAIS. Dan info-info di luar itu. Angka data survei semuanya ada dan itu hanya milik presiden. Karena langsung ke saya,” tutur Jokowi.
Jokowi menyampaikan, pernyataan tersebut sebagai pengingat kepada sukarelawan pendukungnya, bahwa faktor kepemimpinan merupakan urgensi untuk memastikan Indonesia menjadi negara maju pada 2045. Ia berpesan agar tidak salah memilih pemimpin pada Pilpres 2024.
Pernyataan Jokowi tersebut sontak saja menimbulkan beragam reaksi. Bak bola salju yang membesar, sejumlah kalangan justru mencurigai adanya unsur penyalahgunaan kekuasaan di balik pengakuan Jokowi.
Seperti Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan, yang mengkritik pernyataan Jokowi bahwa dirinya memiliki data terkait arah dukungan partai politik dari intelijen.
Koalisi yang terdiri dari Imparsial, PBHI, Amnesty International, YLBHI, Kontras, Centra Initiative, Elsam, Walhi, ICW, HRWG, LBH Masyarakat, menilai pernyataan Jokowi merupakan masalah serius dalam kehidupan demokrasi di Indonesia.
“Tidak boleh dan tidak bisa dalam negara demokrasi, presiden beserta perangkat intelijen menjadikan partai politik sebagai objek dan target pemantauan intelijen,” kata Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur, salah satu anggota koalisi dikutip dari keterangan tertulis, Senin (18/9/2023).
Koalisi menilai, inteligensi merupakan aktor keamanan yang berfungsi memberikan informasi terutama kepada presiden.
Namun, informasi seharusnya terkait dengan musuh negara yaitu masalah keamanan nasional dan bukan terkait dengan politik, serta masyarakat sipil. Hal ini diatur sebagaimana dalam Pasal 1 angka 1 dan 2 UU No. 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara. Partai politik dan masyarakat sipil adalah elemen penting dalam demokrasi.
“Sehingga tidak pantas dan tidak boleh presiden memantau, menyadap, mengawasi kepada mereka dengan menggunakan lembaga intelijen demi kepentingan politik presiden,” tambah Isnur.
Berpotensi Mengancam Demokrasi
Lebih lanjut, koalisi memandang, pernyataan Jokowi mengindikasikan adanya penyalahgunaan kekuasaan terhadap alat-alat keamanan negara untuk melakukan kontrol dan pengawasan demi tujuan politiknya.
Isnur menilai, hal itu tidak bisa dibenarkan dan merupakan ancaman bagi kehidupan demokrasi dan HAM di Indonesia. Seperti UU Intelijen, UU HAM, serta UU Partai Politik.
Koalisi menegaskan, ini merupakan bentuk skandal politik dan menjadi masalah serius dalam demokrasi sehingga wajib untuk diusut tuntas.
Dihubungi terpisah, salah satu anggota koalisi, Direktur Eksekutif ELSAM, Wahyudi Djafar menyatakan, Presiden Jokowi harus mengklarifikasi pernyataannya soal memegang data intelijen terkait arah dukungan partai politik di Pilpres 2024.
Wahyudi menilai, pernyataan Jokowi bisa diduga mengarah kepada penyalahgunaan kepentingan pertahanan dan keamanan intelijen untuk kepentingan politik pribadi presiden.
“Diduga ada pelanggaran (hukum). Maka dari itu, perlu ada proses klarifikasi menggunakan mekanisme pengawasan di DPR RI,” kata Wahyudi dihubungi reporter Tirto, Senin (18/9/2023).
Menurutnya, DPR RI memiliki sub-komisi yang mengawal kegiatan intelijen di Indonesia. Wakil rakyat berhak bertanya terkait pernyataan Presiden Jokowi, agar lembaga intelijen tidak disalahgunakan untuk kepentingan pribadi.
Di sisi lain, kata Wahyudi, DPR juga dapat menggunakan fungsinya sebagai pengawas eksekutif untuk bertanya langsung kepada Presiden Jokowi apa maksud dari pernyataannya tersebut.
“DPR berhak bertanya, arahnya seperti apa? Dan apa yang ingin disampaikan presiden sesungguhnya, dan sejauh mana keterlibatan dalam intelijen,” terang Wahyudi.
Ia mengingatkan, dibentuknya UU Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara justru untuk membatasi peran-peran intelijen negara agar tidak diintervensi untuk melanggengkan kekuasaan politik atau penyalahgunaan peran. Selain itu, jika membiarkan institusi intelijen digunakan untuk kepentingan pribadi presiden, bukan tidak mungkin praktik ini dipertahankan pada periode kekuasaan selanjutnya dan menjadi momok demokrasi.
Dalam negara demokrasi, kata Wahyudi, asupan informasi intelijen kepada kepala negara memang sah-sah saja selama digunakan untuk mengambil keputusan strategis negara. Sebaliknya, jika lembaga negara digunakan untuk tujuan politik tertentu presiden, justru ini menjadi hal yang problematis dalam suatu pemerintahan yang demokratis.
Wahyudi mengingatkan soal skandal di Amerika Serikat pada 1970-an, ketika Presiden AS kala itu, Richard Nixon mengundurkan diri, bahkan sempat hendak dimakzulkan, imbas pencurian data di kantor Komite Nasional Demokrat di Kompleks Watergate yang terkait dengan kampanye pemilihan umum.
“Itu juga saat sedang atmosfer pemilu, bahkan kongres meminta Nixon untuk mundur. Itulah bagaimana negara demokrasi bekerja,” tegas Wahyudi.
Tanggapan Sejumlah Parpol
Deputi Bappilu DPP Partai Demokrat, Kamhar Lakumani memastikan, pihaknya tidak merasa terganggu dengan pernyataan Presiden Jokowi yang menyebut memiliki data intelijen soal arah dukungan partai politik di Pilpres 2024.
Kamhar mengatakan, Demokrat memahami, sebagai presiden, Jokowi setiap hari menerima laporan intelijen. Ihwal informasi arah parpol yang disampaikan Jokowi, Demokrat menilai itu merupakan hasil analisis berdasarkan informasi intelijen saja.
Ia menyatakan, pihak Demokrat percaya informasi tersebut didapatkan presiden dengan tidak melanggar hukum.
“Bukan hasil intersepsi (penyadapan) terhadap keputusan atau dokumen partai yang bersifat konfidensial,” tutur Kamhar.
Hal senada diungkapkan Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) DPP PKS, Ahmad Fathul Bari. Ia menyatakan PKS tidak mempermasalahkan pernyataan Presiden Jokowi soal informasi ‘jeroan’ parpol.
Menurut Ai, sapaan akrabnya, tanpa presiden bicara pun, semua sudah paham bahwa Kepala Negara pasti memiliki data intelijen pribadi. PKS percaya, data itu akan digunakan sebaik mungkin untuk keamanan negara, karena itu menjadi tugas presiden sebagai Kepala Negara demi keutuhan NKRI.
“Kami yakin Presiden Jokowi tidak akan menggunakan data intelijen untuk melakukan intervensi politik, karena beliau Kepala Negara yang pasti memahami seluruh peraturan perundang-undangan, begitu pula tentang aturan rahasia intelijen yang secara spesifik telah diatur dalam UU No 17 tahun 2011,” ujar Ai kepada reporter Tirto, Senin (18/9/2023).
Potensi Penyalahgunaan Kekuasaan
Direktur Eksekutif Voxpol Center Research & Consulting, Pangi Syarwi Chaniago menilai, Jokowi pamer taji melalui pernyataanya soal mengantongi data ‘jeroan’ parpol dari intelijen. Ia menyayangkan sikap ini, karena dapat menimbulkan kegaduhan dan kebisingan di ruang publik.
“Kita juga paham semua informasi intelijen automatically menempel dan melekat sama presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, tentu presiden mendapat laporan semua dan tahu banyak hal terkait data informasi intelijen, namun apakah semua yang presiden tahu harus disampaikan ke publik?” ujar Ipang, sapaan akrabnya, dalam keterangan yang diterima reporter Tirto, Senin (18/9/2023).
Ipang menyampaikan, pernyataan tersebut bisa menjadi sinyal soal penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) demi kepentingan politik pragmatis pribadi. Data intelijen, menurutnya, tidak tepat dipakai untuk memata-matai ketua umum parpol, memonitor jeroan dan keputusan partai politik, atau pun operasi partai politik.
Menggunakan informasi intelijen untuk memantau atau memata-matai lawan politik dinilainya sebagai tindakan yang tidak bisa dibenarkan dan dapat merusak integritas sistem politik dan pemilu.
“Atau jangan sampai persepsi publik menangkap bahwa data intelijen dipakai untuk operasi partai politik, menakut-nakuti ketua umum parpol dalam rangka mempengaruhi intensitas dan arah koalisi? Seperti seolah-olah presiden terkesan jadi dealer partai politik,” jelas Ipang.
Ipang menegaskan, penyalahgunaan data intelijen bukan masalah sepele, ini adalah skandal politik yang sangat memalukan. Penting memahami bahwa penggunaan data intelijen dalam politik adalah isu yang sangat sensitif, semestinya data intelijen dipakai untuk politik negara bukan politik pemilu musiman 5 (lima) tahunan.
“Data intelijen seharusnya digunakan untuk kepentingan keamanan nasional dan bukan untuk tujuan politik kelompok dan golongan tertentu,” ungkapnya.
Di sisi lain, Ketua Communication & Information System Security Research Centre (CiSSReC) Pratama Persadha menilai, lembaga intelijen negara memang wajar saja menyalurkan informasi kepada presiden. Hal ini agar presiden mengetahui secara holistik apa yang sedang terjadi di Indonesia.
Polemik yang timbul, kata Pratama, adalah kekhawatiran masyarakat bahwa presiden menyalahgunakan wewenangnya untuk melakukan penyadapan tanpa izin kepada pemimpin atau pengurus partai politik. Pratama menilai, ini bukan merupakan perbuatan yang ilegal, selama penyadapan yang dilakukan untuk mengatasi suatu masalah yang dapat mengancam keselamatan, keamanan, dan kedaulatan nasional.
“Hal ini tentu akan berbeda jika penyadapan dilakukan untuk kepentingan pribadi atau kepentingan golongan, di mana hal tersebut adalah tindakan melanggar hukum yang dapat dikenakan sanksi hukuman seperti yang terdapat pada UU Telekomunikasi Pasal 56 dengan hukuman maksimal 15 tahun penjara, serta UU ITE Pasal 47 dengan hukuman maksimal penjara 10 tahun dan denda sebesar Rp8 juta,” terangnya kepada reporter Tirto, Senin (18/9/2023).
Respons Pemerintah
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menjelaskan, informasi intelijen yang dimiliki Presiden Jokowi tidak ada kaitannya dengan cawe-cawe dalam Pemilu 2024.
“Enggak urusan urusan cawe-cawe, itu tidak ada kaitannya. Ini presiden pasti punya intelijen, siapa politikus yang nakal, siapa politikus yang benar. Siapa yang punya kerja gelap, siapa yang punya kerja terang, itu punya presiden,” kata Mahfud di Jakarta, Minggu (17/9/2023).
Ia menepis tudingan yang menilai Jokowi menyalahgunakan data intelijen untuk tujuan politik pribadi. “Presiden wajib diberi laporan setiap saat oleh intelijen, itu ketentuan undang-undangnya. Apa gunanya ada intelijen kalau tidak boleh lapor ke presiden,” tegas Mahfud.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz